Minggu, 06 September 2020

Serial IMAGINE OF POLITICAL...SEGREGASI POLA HEAD TO HEAD PADA PEMILIHAN GUBERNUR SULTENG, MUNGKINKAH?

Serial IMAGINE OF POLITICAL...

SEGREGASI POLA HEAD TO HEAD PADA PEMILIHAN GUBERNUR SULTENG, MUNGKINKAH?

Menarik meskipun tidak khas, penyuguhan pola head to head yang akan terjadi pada pemilihan Gubernur Sulawesi Tengah tahun 2020 kali ini sesungguhnya adalah pengulangan pola yang sama seperti pernah terjadi sebelumnya di tahun 2015. Pola head to head menjadi sebuah trend politik pada dua periodisasi pemilukada sejak tahun 2015, fenomena yang sama bahkan terjadi pada dua kali periodisasi Pilpres di Indonesia. Trend ini menunjukkan kecenderungan bahwa terjadi pergeseran fluktuatif atas pola formasi kontestan pilkada tahun 2005 dan tahun 2010 yang sebelumnya mampu menghadirkan melebihi dua pasangan calon.

Menilik berulangnya Pola head to head secara relatif mencerminkan bagaimana sistem kerja partai dalam mengorganisir dan mengkonsolidasi tujuan substantif partai politik sebagai sarana kontestasi politik. Partai politik tidak lebih hanya sekedar menjadi sarana formal dalam menjalankan mekanisme politik prosedural dengan mengikuti alur teknis yang harus dijalankan.

Dalam situasi ini sistim kontestasi berubah menjadi semakin "individualistis", dimana pengendalian partai politik bertumpu pada kekuatan "figur kunci" dalam mengelola bargaining politik dengan seluruh muatan kepentingan yang dikehendaki yang tentunya bersifat pragmatis. Dalam penentuan subyek kandidat yang siap bertarung, peran partai politik menjadi tereduksi dengan seluruh konsekwensi potensi kekuatan yang dimilikinya.
Peran partai politik berganti pada akumulasi pengaruh, kontrol ekonomi, penguasaan pada kelompok dan wilayah yang dimiliki oleh "figur kunci" dengan menjadikan "nilai tawar" sebagai penentu dalam proses bargaining politik yang dimainkan.

Pola head to head cenderung mengarah pada Zero Zum game (istilah yang dipopulerkan Lester Thurow, 1980) yaitu kondisi dimana keuntungan atau kemenangan yang diperoleh satu atau sekelompok orang akan mengakibatkan kerugian/kekalahan untuk orang/kelompok lain. Kalah menang adalah situasi yang dituju, dimana pemenang secara mutlak akan mendominasi nilai kemenangan tanpa menyisakan pada yang kalah meskipun yang kalah sesungguhnya memiliki nilai kemenangan walaupun nominalnya rendah.

Pada situasi dengan pola head to head , fungsi parpol menjadi sentralistik karena cenderung membatasi pilihan dan akses masyarakat untuk mengapresiasi dan memilih figur atau kandidat lain yang dipersepsikan memiliki keunggulan khusus dan dikhayalkan "pantas" menjadi kontestan. Bahkan pada situasi ini "figur kunci" pengendali partai memiliki andil dalam bermanuver menampilkan kekalahan samar, seolah telah terjadi sebuah "kegagalan" diawal laga kontestasi yang disebabkan oleh kelompok tertentu yang meredusir proses dukungan parpol terhadap subyek kontestan, meskipun sesungguhnya yang terjadi adalah kamuflase atas proses bargaining politik dalam rangka meraih keuntungan politik dengan menampilkan justifikasi telah terjadi "kegagalan" bertanding di awal laga kontestasi. Masyarakat diromantisasi melalui stigma adanya kandidat yang telah mengalami "diskriminasi" bahkan digerus oleh kekuatan "dominan". Terdapat gejala yang diarahkan untuk mengetuk fantasi banyak orang bahwa telah terjadi "penjungkir balikkan" kedaulatan Rakyat.

Pola head to head telah berlangsung tanpa bisa dinafikkan seolah sebagai proses mekanistik dalam pemilukada dan merupakan pola yang berlangsung secara wajar. Meskipun esensi Pilkada sebagai sarana penguatan demokrasi telah menampilkan posisi partai politik dalam situasi ambigu. Sebagai the backbone of democrazy, partai politik idealnya akan mampu memberikan proses pendidikan politik yang baik bagi masyarakat khususnya dalam implementasi kedaulatan rakyat, bukan sebaliknya mengebiri akses masyarakat dalam proses politik.
Wallahu alam bissawab...

"...Kesadaran Adalah Matahari
Kesabaran adalah Bumi
Keberanian menjadi Cakrawala
dan Perjuangan adalah Pelaksanaan Kata-Kata.."
(Rendra.1984)

#kesadarantidakmenghambapadakepentingan

Medio, September 2020
N I S B A H


Minggu, 26 April 2020

Seri (18) NAMBONGO, NAMBINGA, NAMBALA

Seri (18) Revitalisasi Budaya Kaili

NAMBONGO,
NAMBINGA,
NAMBALA,

"Nambongo"...,
"Nambinga"...,
"Nambala"...,
Adalah tiga diksi populer pada orang Kaili yang menunjuk pada tingkatan perilaku negatif berupa "ketidak patuhan" atas sebuah permintaan, instruksi atau perintah.
Perilaku"Nambongo, Nambinga dan Nambala" mewujud sebagai sikap "masa bodoh" seseorang dalam interaksi sosialnya atas sebuah obyek yang menjadi masalah. Wujud tindak perilaku ini lazim terjadi saat ada aksi dan reaksi antara seseorang dengan dua orang atau lebih dalam suatu situasi sosial.
Ketika "Nambongo, Nambinga dan Nambala" diucapkan dalam sebuah kalimat maka cenderung dipahami sebagai "makian yang merendahkan sikap dan perilaku negatif dalam merespon saran, nasehat, dan anjuran terhadap sesuatu hal yang idealnya harus dilaksanakan. Pemaknaan tiga diksi ini jika dijelaskan sesuai tingkatannya maka dimulai dari,

1. NAMBONGO,
adalah "makian" yang paling populer dan sering terdengar di kebanyakan telinga orang Palu. "Nambongo" merupakan tindak perilaku yang dilakukan oleh seseorang dengan tidak mau mendengarkan permintaan atau perintah atas suatu objek yang harus atau akan dilakukan. Sikap "tidak "mau mendengar" di tunjukkan dengan tidak melaksanakan bahkan tidak peduli meskipun dia memahami objek permintaan yang disampaikan.
Seseorang enggan melakukan perintah yang disampaikan karena menganggap objek yang diperintahkan tidak memberi manfaat apapun terhadap dirinya. Baginya permintaan dan perintah sebagai suatu hal yang tidak perlu dilaksanakan karena merupakan objek yang tidak dipahaminya bahkan perintah dianggap tidak mewakili kepentingannya.

2. NAMBINGA,
serupa dengan "Nambongo", diksi "Nambinga" dipahami setingkat lebih tinggi dari pada diksi "Nambongo". Diksi "Nambinga" bermakna pada tampilan perilaku atas reaksi seseorang dalam merespon permintaan atas suatu objek dan perintah dengan menampilkan sikap "tidak peduli" dan "masa bodoh".
"Nambinga" seolah mewujud sebagai "karakter" karena sikap negatif yang di tampilkan merefleksikan kurang minat terhadap hal-hal yang dianggapnya tidak penting. Sikap "acuh tak acuh" dan "tidak peduli" terhadap lingkungan sosial karena di pengaruhi rendahnya tingkat kesadaran dan pemahaman terhadap aspek penting yang terjadi dalam kehidupan sosialnya.

3. "NAMBALA"
"Nambala" adalah tingkatan ketiga dari sikap "ketidak Patuhan" yang ditampilkan dalam sikap dan perilaku seseorang. "Nambala" dimaknai sebagai perilaku "bebal" dimana reaksi sikap yang ditampilkan adalah sikap "tidak mau tahu". Jika "Nambala" di analogikan dengan "Bebal", maka sesuai dengan kamus Bahasa Indonesia dapat bermakna pada sikap dan perilaku yang mengarah pada kebodohan dan ketidakpedulian terhadap hal lain yang dekat dengan kehidupannya.
Analogi "Bebal" dalam menjelaskan sikap "Nambala" dapat mewujud sebagai perilaku yang didasari rasa kesengajaan karena ada dorongan sikap tidak mau berbuat dan bertindak sebagaimana mestinya. Bahkan lebih jauh "Nambala" bermakna pada sikap dan perilaku tidak mau mendengarkan dan menghargai orang lain. Terdapat sikap dan perilaku ketidak patuhan sebagai wujud reaksi bahwa situasi kehidupan diluar dirinya tidak menjadi bagian dari tanggung jawabnya.

Membahas perilaku dan sikap "Nambongo", "Nambinga" dan "Nambala", dapat menjadi sebuah refleksi atas reaksi kita terhadap situasi Pandemi Covids 19. Sikap Ketidak patuhan atas instruksi dan permintaan untuk membentuk "hubungan sosial berjarak" masih direspon oleh sebagian masyarakat dengan sikap dan perilaku ini.

Wujud perilaku dan sikap kita ketika situasi ruang interaksi sosial telah berada diambang kritis karena meluasnya penyebaran covids 19 secara relatif ditampilkan melaui sikap dan perilaku "Nambongo", "Nambinga dan bahkan "Nambala".
Fenomena pada tataran realita sosial menunjukan bahwa tingkat kesadaran masyarakat ketika diperhadapkan dengan situasi Pandemi covids 19, masih relatif kuat membentuk perilaku dan sikap ini, meskipun fakta telah menampilkan konsekuensi dari sikap dan perilaku yang tidak patuh akan serius memberi dampak pada kemungkinan tertular oleh covids 19.
Subhanallah....

Medio, 16 April 2020
N I S B A H
Pemerhati Sosial Budaya

Minggu, 12 April 2020

Seri (2) Revitalisasi Budaya Kaili Reproduksi kearifan lokal To Kaili pada Mitigasi Bencana Alam.

Seri (2) Revitalisasi Budaya Kaili   

Reproduksi kearifan lokal To Kaili pada Mitigasi Bencana Alam.

To Kaili yang bermukim di pesisir sepanjang teluk palu merupakan komunitas yang telah terbiasa menghadapi bencana alam, memperhatikan struktur geografis hunian komunitas suku kaili yang berada di pesisir maka beberapa penamaan atau penyebutan wilayah seringkali didasarkan atas beberapa peristiwa bencana alam yang telah dirasakan dan pernah terjadi di masa yang lampau, penamaan atau penyebutan ini di sebut dengan "To Po Nimi".

To Po Nimi akan dapat ditemui misalnya pada beberapa penamaan wilayah hunian seperti "Kaombona" (tanah runtuh), satu wilayah yang berada di timur teluk palu dengan kondisi area perbukitan. "Kaombona" dalam tutura adalah bekas tanah yang mengalami "runtuh" karena adanya "lingu mbaso" (gempa besar) tahun 1930. Saat ini wilayah "Kaombona" sudah menjadi wilayah hunian yang ramai dan masuk dalam teritori adminstrasi kelurahan Talise.

Penamaan kampung seperti "Birobuli, Biromaru, Jono Oge, sibalaya" merupakan hunian yang dulunya merupakan rawa yang banyak ditumbuhi sejenis tumbuhan liar yang populer disebut alang-alang atau daun silar, Biro, Jono dan sibalaya dalam bahasa kaili berarti alang-alang atau silar.

Balaroa adalah hunian masyarakat, yang dulunya residensinya hanya berada di pusat kampung di kaki bukit pegunungan Kambuno, seiring berkembangnya wilayah hunian maka di sisi Timur kampung Balaroa di bangun hunian baru (Perumnas) yang menurut tutura para "totua nungata" dulunya di tempat hunian baru tersebut adalah ladang dan tempat beternak hewan bagi para bangsawan. Di tempat tersebut terdapat satu kubangan seperti sumur besar yang diyakini terhubung dengan laut teluk palu karena menurut peristiwa yang terjadi jika air laut pasang akan terdengar suara gelombang air laut dan ketinggian air laut sedang pasang ikut naik pada kubangan tersebut, bahkan ada kisah ketika seekor sapi bangsawan yang di ternak di tempat tersebut hilang, akhirnya ditemukan berada di laut teluk palu.

Pada To Kaili Penuturan peristiwa bencana alam juga lazim dituturkan melalui Kayori, Dulua, dan Dade Ndate yaitu sastra lisan melalui proses penyampaian cerita dengan cara bertutur (tutura) yang diiringi dengan penggunaan serangkaian alat musik seperti kecapi, gimba dan gong serta alat musik lainnya.

Kayori merupakan cara pendahulu menyanyikan sesuatu utk mengingatkan generasi keturunannya bahwa terdapat peristiwa masa lalu menjadi pengingat untuk kehidupan masa sekarang. Kayori sesungguhnya adalah cara bertutur dengan syair-syair yang disampaikan sebagai rasa cinta dan pemujaan akan keagungan pada Pue Langi "To Manuru".

Kayori juga berisi petuah hidup yang baik untuk di jalani. Salah satu Kayori terkenal dalam bentuk pepatah To Kaili yang sangat terkenal yaitu “Agina Mainga, Ne Maonga”, dimana artinya adalah "lebih Baik berhati-hati dari pada tenggelam".

Kearifan Lokal tentang Mitigasi bencana, pada To Kaili tampil dalam berbagai bentuk pemaknaan, misalnya jika binatang yang kesehariannya dekat dengan kehidupan manusia mulai memperlihatkan pola tabiat yang berubah mulai dari isyarat suara burung, kokok ayam dan menghilangnya kucing di sekitar hunian tempat tinggal.

Tekhnologi pembuatan rumah pada To kaili juga berbasis pada tindak mitigasi Bencana Alam, To Kaili membuat Rumah panggung yang tiang penyangga masing-masing akan di lapisi dengan alas batu agar rumah terjaga keseimbangannya. Bahkan ketika rumah akan dibangun, kekuatan tanah akan diukur dengan cara menusukkan lidi atau parang ke dalam tanah secara berulang agar diketahui ke kekuatan tanah yang digunakan untuk menyangga bangunan rumah.

Pada masa lampau ketika tanda-tanda alam sudah memberi isyarat akan terjadi gempa besar, maka oleh "to tua nungata" (Orang Tua yang menjadi kepala Kampung) masyarakat di perintah untuk membuat semacam alat pengaman badan yang berbentuk seperti anak tangga yang digunakan ketika gempa terjadi. Pada alat tersebut masing-masing orang meletakan kepala sebatas leher pada lubang diantara anak tangga sehingga kontrol atas goyangan gempa dapat menjaga keseimbangan badan setiap orang secara bersama.

Kearifan lokal pada To Kaili adalah sebuah reproduksi terhadap tindak Mitigasi Bencana alam, beberapa testimoni berdasarkan kearifan lokal atas bencana 28 September 2018 dapat menjadi pedoman guna mengurangi resiko bencana yang terjadi.
Insya Allah Manfaat.

Medio, 23 Januari 2019
NISBAH
Pengamat Budaya

Seri (17) Revitalisasi Budaya Kaili N I P A L I

Seri (17) Revitalisasi Budaya Kaili

"N I P A L I"

Fenomena merebaknya Pandemi Covids 19 dengan daya paksa membentuk pola hubungan sosial berjarak (distancing social) dalam ruang interaksi sosial menjadi sebuah keniscayaan.
Pola hubungan sosial berjarak bahkan diikuti dengan kebijakan "karantina wilayah" (lockdown) telah "meruntuhkan" sejenak prinsip dan cara hidup manusia sebagai makhluk sosial.
Fenomena ini menjadi situasi umum terutama ketika diperhadapkan pada kondisi darurat dimana kehidupan sosial mengalami ancaman wabah dalam bentuk penyakit menular.

Di Sulawesi Tengah, jejak kehidupan masyarakat yang mengalami ancaman wabah seperti halnya Covids 19 bukanlah kali pertama menyerang. Banyak catatan sejarah tentang penyakit menular dimasa lalu disampaikan baik lewat dokumen Kolonial dan
koran nasional ketika peristiwa tersebut terjadi.
Laman historia.id   mencatat diantara berbagai jenis penyakit menular sekitar tahun 1658 penyakit cacar pernah melanda Sulawesi Tengah (Midden Celebes). Selain itu terjadi juga serangan Flu Spanyol tahun 1918-1919 yang menjadi pandemi saat itu. Sekitar 500 juta penduduk dunia terinfeksi, dengan korban meninggal sekitar 50 juta orang di seluruh dunia. Virus ini lebih mematikan ketimbang perang dunia pertama yang berakhir pada tahun itu.

Dokumen Historia Sulteng dan catatan seorang Sejarwan Mohamad Herianto yang dimuat di Sulteng Post, mengurai tentang wabah Flu Mao di Kota Palu, tahun 1970.
Wabah penyakit di lembah Palu terdokumentasikan dalam beberapa arsip seperti koran.
Mewabahnya "Jua Lele" atau penyakit menular akibat Flu Spanyol tahun 1920-an di tepi danau Poso mengakibatkan banyak orang meninggal dunia ketika itu.
Wabah Kolera yang disebut sebagai "Rumpa Datu"bahkan sempat menyerang tahun-tahun sebelumnya di Lembah Palu. Wabah Kolera ini terjadi karena cara hidup tidak bersih dan kotoran hewan yang ditemukan disembarang tempat.
Di Lembah Palu pada tahun 1942, juga pernah di serang wabah penyakit Kusta (Lepra) atau populer bagi orang Kaili disebut "Lampa Vau (Dua Oge)", akibatnya sejumlah wilayah pun harus di isolir karena penyakit tersebut. Bahkan Pemerintah Kolonial Belanda membangun gedung isolasi penderita Lepra yang disebut Lepratoruim di Desa Vatusampu. Kondisi berkepanjangan yang di akibatkan penyakit Lepra memaksa pemerintah harus membangun Sanatorium di Kapopo sebuah wilayah perbatasan antara Petobo dan Kavatuna.

Fenomena kondisi virus Pandemi dan penyakit mewabah ini bahkan didokumentasikan dengan apik oleh seorang seniman Kaili bernama Hasan Bahasuan, melalui lagu yang mengisahkan legenda seorang Putri Raja bernama Randa Ntovea yang harus "NIPALI RI TANA JAMBALI" ( diasingkan di tempat khusus) akibat menderita satu penyakit (Dua Da).

" Nipali" bermakna pada sebuah proses pengasingan terhadap seseorang yang terjangkiti suatu penyakit menular dan mewabah. Bagi masyarakat Kaili
Ketika itu, terdapat keyakinan bahwa bagi anggota masyarakat yang terkena wabah penyakit menular dianggap sebagai mendapat kutukan. Arwah manusia yang terjangkiti wabah tidak akan diterima di surga. Bahkan ketika ada salah satu anggota masyarakat pada sebuah kampung di kerajaan terkena wabah, maka seluruh kampung diyakini telah terkena kutukan. Karenanya, siapapun yang terkena wabah harus diasingkan atau "NIPALI". 
Pengasingan ini dilakukan karena penderita dianggap membawa sial dan tidak diterima di sorga. Bahkan, mereka yang mengalami penyakit dan tidak sembuh dimungkinkan untuk dikeluarkan dari lingkungan tempat tinggalnya.

"Nipali" adalah sebuah proses yang telah dilakukan oleh para leluhur di Tanah Kaili sejak dulu. Proses "Nipali" menunjukkan sebuah ketaatan terhadap nilai hidup dalam sebuah lingkungan sosial tempat tinggal atau "Ngata". Tabunya penderita suatu penyakit untuk tetap berada dalam lingkungan sosialnya justeru dianggap sebagai "sebuah pelanggaran" terhadap prinsip hidup bersama yang harus menularkan kebaikan dan keselamatan. "Nipali" memberi inspirasi terhadap kita saat ini ketika diperhadapkan dengan fenomena pandemi Covids 19, bahwa harus ada ketaatan terhadap " pembatasan hubungan sosial berjarak (distancing social) dan bahkan terhadap adanya "karantina wilayah" (Lockdown). Perilaku ketaatan atas Prinsip hubungan sosial berjarak dan karantina wilayah merupakan sebuah kearifan untuk menjaga lingkungan sosial kita sekaligus masa depan pada ruang sosial dimana kita berada. Bahwa yang kita butuh adalah toleransi untuk saling menjaga agar kehidupan dibumi dapat tetap lestari.... Insya Allah.
#marijagajarakuntukkehidupanselanjutnya.

Medio, 7 April 2020
N I S B A H
Pemerhati Budaya





TIDAK ADA "SEBUAH KEBETULAN"



Edisi Kontemplasi....

TIDAK ADA "SEBUAH KEBETULAN"

Covids-19 atau yang lebih populer di sebut corona virus telah mengguncang kehidupan seluruh manusia di dunia saat ini. Pengaruhnya membuat beberapa negara bahkan harus memunculkan kebijakan "karantina wilayah" (lockdown) dan "hubungan sosial berjarak" (distancing social) atas situasi kehidupan masyarakat.
Fenomena virus ini telah membentuk "momok" terhadap masyarakat atas seluruh dampak sosial yang di timbulkanya.
Pembatasan interaksi fisik secara langsung membuat hubungan silaturahmi ikut-ikutan berjarak, bahkan lebih jauh ikut mempengaruhi aktivitas sosial beribadah, birokrasi, jasa, lembaga pendidikan dan berbagai aktivitas sosial lainnya.
Adanya kebijakan dan seruan untuk pembatasan ruang interaksi berjarak diyakini akan mampu meminimalisir penyebaran virus pendemi ini secara masif dan memungkinkan terhadap berkurangnya penyebaran virus ini. Propaganda pendemi covids-19 terinternalisasi dahsyat membentuk asumsi setiap orang bahwa setiap yang terpapar secara fisik terutama jika perilaku sehat kita "tidak disiplin" pasti akan terkontaminasi dan bisa berdampak pada kematian.
Realitas pendemi covids-19 bahkan mampu merenggangkan relasi sosial antar individu sebagai makhluk sosial. Esensi manusia sebagai makhluk sosial yang harus tetap menerapkan prinsip relasional seolah telah kalah oleh "seonggok" organisme sel yang bernama virus corona.
Menilik fenomena kedahsyatan covids-19, tentulah kita diperhadapkan pada sebuah "Takdir", seolah saat ini kita berada pada realitas "takdir buruk" yang menggiring mindset kita berada pada situasi kepanikan bahkan ketakutan. Andaipun ini sebuah "takdir", apakah tidak mungkin ini sebuah "takdir baik" ... wallahu alam bissawab, bukankah dalam hidup "tidak ada peristiwa" sebagai "sebuah kebetulan".
"Takdir" jika baik dan buruk tentulah "kendali Tuhan" atas kehidupan, jika seketika kita berada dalam kelompok yang terpapar dan berujung pada "kematian"pastilah merupakan ajal atas takdir yang telah di kendalikan oleh-NYA, sehingga adanya korban bahkan yang berujung pada "kematian" maka pastilah bukan sebuah peristiwa secara "kebetulan".
Bahkan secara jelas Al-Qur'an menegaskan bahwa :
Katakanlah: Tidak akan menimpakan kami kecuali apa yang Allah telah tuliskan untuk kami. Dialah pelindung kami dan hanya kepada Allah bertawakal orang-orang yang beriman.” (QS. At-Taubah[9]: 51).
Ketika bumi tetap berputar pada porosnya, maka seluruhnya tetap berada pada kendali Allah,...
Semoga kita tetap dalam lindungan-Nya dan tetap berada dalam kendali Takdirnya..
Barakallah

Medio, 20 Maret 2020
N I S B A H
"

Covids-19 atau yang lebih populer di sebut corona virus telah mengguncang kehidupan seluruh manusia di dunia saat ini. Pengaruhnya membuat beberapa negara bahkan harus memunculkan kebijakan "karantina wilayah" (lockdown) dan "hubungan sosial berjarak" (distancing social) atas situasi kehidupan masyarakat.
Fenomena virus ini telah membentuk "momok" terhadap masyarakat atas seluruh dampak sosial yang di timbulkanya.
Pembatasan interaksi fisik secara langsung membuat hubungan silaturahmi ikut-ikutan berjarak, bahkan lebih jauh ikut mempengaruhi aktivitas sosial beribadah, birokrasi, jasa, lembaga pendidikan dan berbagai aktivitas sosial lainnya.
Adanya kebijakan dan seruan untuk pembatasan ruang interaksi berjarak diyakini akan mampu meminimalisir penyebaran virus pendemi ini secara masif dan memungkinkan terhadap berkurangnya penyebaran virus ini. Propaganda pendemi covids-19 terinternalisasi dahsyat membentuk asumsi setiap orang bahwa setiap yang terpapar secara fisik terutama jika perilaku sehat kita "tidak disiplin" pasti akan terkontaminasi dan bisa berdampak pada kematian.
Realitas pendemi covids-19 bahkan mampu merenggangkan relasi sosial antar individu sebagai makhluk sosial. Esensi manusia sebagai makhluk sosial yang harus tetap menerapkan prinsip relasional seolah telah kalah oleh "seonggok" organisme sel yang bernama virus corona.
Menilik fenomena kedahsyatan covids-19, tentulah kita diperhadapkan pada sebuah "Takdir", seolah saat ini kita berada pada realitas "takdir buruk" yang menggiring mindset kita berada pada situasi kepanikan bahkan ketakutan. Andaipun ini sebuah "takdir", apakah tidak mungkin ini sebuah "takdir baik" ... wallahu alam bissawab, bukankah dalam hidup "tidak ada peristiwa" sebagai "sebuah kebetulan".
"Takdir" jika baik dan buruk tentulah "kendali Tuhan" atas kehidupan, jika seketika kita berada dalam kelompok yang terpapar dan berujung pada "kematian"pastilah merupakan ajal atas takdir yang telah di kendalikan oleh-NYA, sehingga adanya korban bahkan yang berujung pada "kematian" maka pastilah bukan sebuah peristiwa secara "kebetulan".
Bahkan secara jelas Al-Qur'an menegaskan bahwa :
Katakanlah: Tidak akan menimpakan kami kecuali apa yang Allah telah tuliskan untuk kami. Dialah pelindung kami dan hanya kepada Allah bertawakal orang-orang yang beriman.” (QS. At-Taubah[9]: 51).
Ketika bumi tetap berputar pada porosnya, maka seluruhnya tetap berada pada kendali Allah,...
Semoga kita tetap dalam lindungan-Nya dan tetap berada dalam kendali Takdirnya..
Barakallah

Medio, 20 Maret 2020
N I S B A H

Jumat, 06 Maret 2020

Seri (16) Revitalisasi Budaya Kaili "SAMBULU""

Seri (16) Revitalisasi Budaya Kaili

"SAMBULU"

Pada masyarakat Kaili, "Sambulu" secara harfiah merupakan bahan rempah yang terdiri dari daun sirih, pinang, Gambir, tembakau, kapur yang masing-masing dibungkus kertas minyak sebagai penghias ( dulunya dibungkus daun tertentu) berwarna kuning dan ditempatkan di dulang berkaki. Untuk daun sirih masing-masing dilipat dengan teknik dan bentuk khusus. Masing-masing bahan rempah ini lazim disediakan dalam jumlah ganjil misalnya tujuh, lima dan sembilan dimana jumlah tersebut merupakan makna dari simbol status sosial pelaku atau subjek yang menggunakannya serta saat mana "sambulu" dugunakan. 
Pemaknaan terhadap komponen "sambulu" masing-masing dapat diartikan sebagai :
1. Sirih melambangkan "urat" 
     yang berarti "ikatan 
      kekerabatan".
2. Pinang melambangkan 
     "daging" yang berarti 
     "penyempurnaan raga".
3. Gambir melambangkan 
     "darah" yang berarti 
     "semangat".
4. Kapur melambangkan "tulang" 
     yang berarti " keuatan".
5. Tembakau melambangkan 
     "bulu roma" yang berarti 
     "perasaan" atau 
     "keikhlasan". 

Sambulu secara simbolik merupakan syarat untuk memulai prosesi adat yang lazim dilaksanakan pada tradisi perkawinan atau membuka lahan persawahan serta ladang yang telah siap di tanami. 
Penyediaan sambulu dalam sebuah prosesi adat dimaknai sebagai sebuah ritual pembuka acara sekaligus menjadi penanda syarat sahnya sebuah prosesi adat dapat dimulai dan dilaksanakan.

Antropolog Anthony Reid bahkan mencatat pada beberapa masyarakat menggunakan sekapur sirih mulai
dari ritual kelahiran, inisiasi kedewasaan, perkawinan, hingga kematian serta praktik penyembuhan, hingga ritual persembahan kepada roh leluhur.
Demikian halnya pada masyarakat kaili seperangkat sambulu lazim dan populer disiapkan pada acara perkawinan. Sambulu dalam rangkaian acara perkawinan bahkan sudah disiapkan sejak awal proses peminangan dilakukan. 
Pada prosesi peminangan, jika musyawarah atau pembicaraan adat akan dimulai atau niat hendak disampaikan, maka pihak peminang (laki-laki) harus membawa "sambulu garo" yang merupakan komponen sambulu yang harus disertai "tai ganja pombeka nganga" yaitu "sambulu berjantung" disimbolkan dengan "emas adat". Ketika pembicaraan dari dua belah pihak terjadi dengan baik maka kedua belah pihak akan memakan sirih secara bersama-sama, jika pihak calon mempelai perempuan tidak menunjukan respon yang baik dengan tidak memakan sirih atau menyentuh "sambulu" maka sikap tersebut dimaknai sebagai sikap penolakan terhadap niat yang disampaikan (alasan penolakan biasanya terjadi karena tidak adanya "tai ganja pombeka nganga"). Setelah acara peminangan selesai seperangkat "sambulu garo" dapat dibawa pulang oleh pihak peminang (laki-laki) sebagai tanda bahwa peminangan berjalan baik dan pinangan diterima. 

Adapun "Sambulu Gana" adalah sepereangkat "sambulu" yang dibawa ketika prosesi perkawinan akan dilaksanakan, "Sambulu Gana" terdiri dari daun sirih, pinang, Gambir, tembakau, kapur yang ditempatkan di dulang berkaki, yang disertai "Gana" berupa satu ekor kambing dan "unto" sebentuk cincin emas. "Sambulu Gana"merupakan syarat adat yang harus disertakan ketika perkawinan akan dilaksanakan dan merupakan penanda bahwa ikatan kekerabatan telah terjalin, pada beberapa kelompok masyarakat pemaknaan atas
berpadunya sirih dan pinang menjadi simbol persetubuhan atau pernikahan. Buah pinang dianggap merepresentasikan unsur "panas" dan daun sirih merepresentasikan unsur "dingin".

Saat prosesi pembukaan lahan persawahan dan perladangan akan dilaksanakan, maka lazim di awali dengan penyiapan "sambulu" yang diserahkan kepada "Punggava"(penghulu tanah) untuk "nompanga" (memakan pinang) kemudian barulah "punggava" dapat menyemaikan bibit yang selanjutnya akan diikuti oleh para perempuan menyemai bibit sekaligus membersihkan rumput di lahan yang akan ditanami. Peran perempuan penting dalam prosesi pembukaan lahan dimana perempuan disimbolkan sebagai sumber atas kesuburan. Pentingnya "sambulu" dalam pembukaan lahan persawahan dan perladangan untuk menegaskan bahwa manusia telah memulai hubungan simbolik terhadap alam yang menyediakan kesuburan atas tanaman.

Simbolisasi "sambulu" dalam pemaknaannya adalah sebagai bentuk penghormatan dan penyambutan terhadap tamu ataupun orang yang dituakan atau bahkan menjadi penanda syarat sahnya sebuah peristiwa sosial yang mengandung penguatan terhadap nilai lokal dan sejatinya  dipahami secara baik dalam fungsi dan tujuannya bagi kesatuan sosial.

Boyaoge, 27 Pebruari 2020,
N I S B A H
Pemerhati Budaya Kaili

Seri (15) Revitalisasi Budaya Kaili "SUNDA"

Seri (15) Revitalisasi Budaya Kaili 

"SUNDA"

"Sunda" berarti "mahar" pada masyarkat Kaili. "Sunda" adalah "sejumlah harta" yang diberikan oleh pihak keluarga calon mempelai laki-laki kepada pihak keluarga calon mempelai perempuan ketika akan dilangsungkan prosesi perkawinan. Nilai harta yang diberikan didasarkan pada status sosial yang dimiliki keluarga penerima. 

Mahar atau mas kawin secara sosio-antropologis seringkali dijelaskan sebagai bentuk lain dari transaksi jual beli atas terjadinya perkawinan dan merupakan kompensasi atas kerugian yang diderita pihak keluarga perempuan atau sebaliknya pihak keluarga laki-laki karena kehilangan beberapa faktor pendukung dalam keluarga seperti kehilangan tenaga kerja, dan berkurangnya tingkat fertilitas dalam kelompok yang selanjutnya harus diganti dalam bentuk imbalan properti berdasarkan prinsip matrilineal dan patrilineal.
Mahar juga terkadang diartikan sebagai pengganti atas biaya atas kompensasi terhadap proses pengajaran ilmu ataupun kesaktian dari seorang guru  kepada orang lain pada kelompok masyarakat yang meyakini bahwa ilmu yang diajarkan memberi manfaat bagi kelompok masyarakat tersebut.

Pada masyarakat kaili yang menganut prinsip bilineal, pemberian mahar berupa "sunda" diatur berdasarkan status sosial keluarga perempuan dimana nilai "sunda" ditentukan berdasarkan "anggu nu vati" yaitu status sosial perempuan dalam masyarakat.
Menilik ketentuan nilai "sunda" pada masarakat kaili berdasarkan hirarki status sosial memiliki penggolongan dan jenis berbeda. Meskipun "sunda" sudah mengalami pergeseran nilai, tapi acuan penetapannya lazim mengacu pada penggolongan yang terbagi atas:
1. Golongan raja dan keturunannya (Vati Nu Madika) berlaku adat "Pitumpole" yang terdiri dari tujuh ekor kerbau, tujuh buah emas berbentuk kepiting, tujuh lembar kain mbesa , tujuh buah dulang berkaki, tujuh buah piring adat, tujuh buah mangkuk sayur berwana putih, dan tujuh piring bermotif daun.
2. Golongan bangsawan (Vati Nu Oge) berlaku adat "Patampole atau Limampole" yang terdiri dari lima ekor kerbau, lima buah emas berbentuk kepiting, lima kain mbesa, lima buah dulang berkaki, dan lima buah piring besar. 
3. Golongan masyarakat biasa ( Vati Nto Dea) berlaku adat "Sanjasio" yang terdiri dari satu ekor kerbau (tidak wajib), Sembilan kain mbesa, Sembilan buah piring besar, Sembilan mangkok sayur putih dan Sembilan dulang dapat ditambah dengan sebidang tanah dan kebun kelapa.
Syarat ketentuan harus disertai "mbesa" berupa kain tradisional karena diyakini kain ini memiliki nilai tinggi sebagai penanda status sosial. 

Pada masyarakat hukum adat kulawi, "sunda" atau mahar bahkan merupakan hak properti keluarga besar yang bersifat matrilinieal ( harta menjadi warisan ibu atau perempuan secara turun temurun) yang harus dibayarkan jika sudah diikrarkan dalam kesepakatan keluarga ketika terjadi perkawinan, jika tidak disanggupi untuk di bayar tunai maka menjadi hutang yang harus dibayarkan oleh keluarga mempelai laki-laki dikemudian hari.

Pada masyarakat Kaili, "Sunda" sebagai Hak properti keluarga besar yang bersifat matrilineal. "Sunda" memberi makna terhadap posisi dan kedudukan perempuan dalam standar nilai derajat sosial keluarga besar dan klan-klan tertentu.
"Sunda" sebagai pengikat hubungan sosial karena telah menjadi penentu fase jalinan hubungan sosial dalam ikatan antar keluarga. 
"Sunda" menjadi sebuah pengesahan atas sebuah hubungan yang bermakna pada penghormatan nilai kemanusiaan .
"Sunda" menjadi penegasan bahwa ikatan relasi sosial pada kelompok masyarakat terbentuk tidak hanya berdasar karena adanya kebutuhan antar individu dalam pertukaran perilaku, tapi secara esensi "Sunda" bahkan memberi garansi bahwa relasi sosial memiliki kekuatan makna yang mengikat terhadap kesatuan sosial agar fungsi-fungsi sosial terpelihara.

Terminologi "sunda" dalam konteks ini tentunya jauh melampaui sekedar istilah "mahar" yang akhir-akhir ini secara ambigu sering digunakan dalam kontestasi politik.

Boyaoge, 9 Pebruari 2020,
N I S B A H
Pemerhati Budaya Kaili

Kamis, 30 Januari 2020

Kenapa China?

Kenapa China?
Judul tulisan ini terinspirasi perdebatan/kontroversial pada salah satu group Whaats Up dimana saya menjadi anggotanya. Perdebatan melingkar seputar keberadaan negara china dengan sikap baik vs buruk, superioritas vs inferioritas, kuat vs lemah, komunis vs kapitalis yang dibumbui segala justifikasi dan pelabelan tentang china yang tentu saja di pandang sebagai negara "zalim", "sarkas" dan bahkan pelaku invasi ekonomi dan penetrasi budaya sejak berabad-abad lamanya.
Kehebatan china bahkan menjadi paradoksal dengan penegasan secara khusus dalam salah satu hadits yang menyatakan "Tuntutlah Ilmu walau sampai ke negeri China". Penegasan ini disinyalir sebagai pernyataan Nabi muhammad SAW yang menyiratkan kehebatan china dalam soal kemajuan ilmu pengetahuan (meskipun hadits ini diragukan kesahihannya di kalangan para ulama).
Menyoal China menjadi trending topic yang mencuat tajam pada dekade ini seiring terjadinya persaingan ekonomi dan perdagangan yang memicu perang dingin antara china dengan negara adidaya Amerika Serikat dan bahkan sebagian besar negara di asia tenggara mengecam invasi china yang luar biasa pada pengelolaan aset tambang di beberapa wilayah negara asia tenggara sebagai bentuk kejahatan yang beresonansi terhadap kejahatan kemanusiaan.
Bahkan informasi terakhir adanya fakta pada satu wilayah china tentang penyebaran virus mematikan dengan tingkat resistensi yang luar biasa serius.
Apa yang salah dengan "china" sehingga mampu merangsang rasa adrenalin untuk menolak dan melawan kehadiran china yang sesungguhnya telah ada dan eksis seiring perkembangan kehidupan masyarakat di belahan dunia.
Eksistensi Peradaban dunia hampir sebagian besar terbentuk oleh pengaruh kebudayan china yang luar biasa. Hampir seluruh wilayah Asia dan bahkan beberapa negara eropa timur tidak ternafikkan dengan pengaruh china. Pada hampir belahan dunia manapun china secara relatif menjadi kelompok masyarakat nomaden yang mendiami wilayah-wilayah hunian baru atau pada wilayah yang telah dihuni masyarakat lokal, persentuhan dan adaptasi dengan kehidupan masyarakat lokal bahkan mampu melahirkan perpaduan wajah tradisi lokal dan tradisi china yang luar biasa.
Kemampuan adaptasi dan asimilasi sebagai sukubangsa, komunitas, dan negara tentulah menjadi alasan bahwa china adalah sebuah entitas yang menampilkan kejayaan dan keunggulan karena telah teruji dalam beberapa dekade sejarah perkembangan masyarakat, sehingga dapat dikatakan bahwa china adalah imperium yang mampu menaklukan dunia.
Kenapa china selalu di sorot dan dipersoalkan ?
Bukankah tanpa sadar interaksi sosial kita tidak dapat si lepaskan dari keberadaan mereka, secara ekonomi, perdagangan, tekhnologi, china harus diakui, strategi berdagang china yang mampu menembus sekat pasar internasional. Penetrasi budaya china tanpa kendali pada sebagian komunitas mampu terasimilasi dan terpelihara secara baik.
Terlepas soal pro-kontra suka tidak suka, setuju atau tidak yang pasti ruang kehidupan kita telah masuk dalam lingkarannya.
Keterjebakan ideologis, dunia perdagangan bisa jadi hanyalah sisa dari propaganda politik dunia yang ingin merebut kendali atas entitas kita di dunia ketiga yang sedang menapaki jalan terjal dalam rangka mencapai penguatan ekonomi utk kehidupan yang lebih stabil..

Medio, 28 januari 2019
Nisbah
Pemerhati Budaya.

Seri (13) Revitalisasi Budaya Kaili Kita, Orang Palu (Kaili) dan Politik Klan

Seri (13) Revitalisasi Budaya Kaili Kita, Orang Palu (Kaili) dan Politik Klan


Koentjaraningrat mengartikan klan sebagai suatu kelompok kekerabatan yang terdiri atas semua dari seseorang nenek moyang yang di perhitungkan melalui garis keturunan sejenis, yaitu keturunan marga laki-laki atau perempuan.

Pada masyarkat Kaili, Klan merupakan kelompok kekerabatan yang terbentuk dari gabungan beberapa keluarga luas yang disebut "sampesuvu" (kinship).
"Sampesuvu" melingkar dalam satuan kekerabatan yang disebut "Ntina" (kindred) sebagai satuan kekerabatan terus berkembang hingga membentuk klan dimana anggotanya diikat atau berasal dari satu nenek moyang yang sama. Klan pada masyarakat Kaili dapat ditelusuri berdasarkan garis keturunan ibu (matrilineal) maupun garis keturunan ayah (patrilineal). Untuk mengetahui klan seseorang dapat dikenali berdasarkan fam atau marga yang digunakan.

Saat ini di beberapa wilayah di Lembah Palu ditemukan beberapa kelompok masyarakat Kaili yang merupakan satuan klan dengan marga khusus dalam kesatuan "Ntina" bahkan sebagian warganya telah menyebar ke beberapa wilayah lain. Proses perkawinan antar sesama warga dalam kesatuan klan (Ntina)terjadi melalui adat "Nibolai/Nosibolai" yang menjadi sarana untuk mempererat tali persaudaraan sekaligus mengikat hubungan kekeluargaan agar semakin erat dan dekat. Hal ini sesuai dengan prinsip kekerabatan "Nillinggu mpo toboyo" yang berarti “menggulung pucuk labu yang telah menjalar jauh agar dapat kembali ke pohonnya”. Makna adagium ini adalah, jika jarak persaudaraan atau pertalian darah sudah agak jauh maka sebaiknya ditarik kembali mendekati satuan dasar kekerabatan melalui ikatan perkawinan. Dengan demikian hubungan kekerabatan semakin dekat dan erat. Pomeo lain yang ikut memperkuat prinsip kekerabatan adalah "belontona da ta no sampusuvu" yang berarti bahwa “sejahat-jahatnya bersaudara masih jauh lebih baik dari pada kebaikan orang lain”. Pomeo ini merupakan salah satu kunci kesatuan dan persatuan dalam kelompok kekerabatan masyarakat Kaili, sehingga dalam kesatuan kerabat sikap saling tolong menolong dan saling membantu (nosiala pale, notava) tetap terpelihara sebagai kekuatan dalam menyangga hubungan sosial terutama saling membantu dalam aktivitas sehari-hari dan bahkan mendukung dalam aktivitas politik.

Penanda bahwa jalinan kekerabatan pernah terbangun dibeberapa kerajaan Lembah Palu yang memperkuat hubungan kekerabatan melalui ikatan perkawinan antar "madika (bangsawan) melalui adat Nibolai/Nosibolai misalnya terjadi antara “Pue Nggari” dari kerajaan di Palu dengan “Pue Puti” dari kerajaan di Dolo, perkawinan antara “Vumbulangi” dari Kerajaan di Bangga dengan “ Mbavalemba” dari kerajaan Pakava, perkawinan antara anak raja di Tavaeli yang bernama “Ronjala” kawin dengan “Dae Mabela” dari kerajaan di Banawa, adapula anak raja Tavaeli “ Menukalui” kawin dengan “Tondinugo” dari kerajaan di Sigi, perkawinan antara anak Raja Sigi “Sairalie” yang kawin dengan “Intoviva” dari kerajaan Besoa serta perkawinan-perkawinan lainnya antara beberapa kerajaan yang ada menunjukan bahwa masyarakat Kaili di Lembah Palu terikat dalam satu rumpun kekerabatan sejak dahulu (Abdullah, 1975 : 39).

Perkawinan antar "madika" (bangsawan) menjelaskan garis genealogis beberapa klan (marga) seperti Djanggola, Parampasi, Djaelangkara, Lamakarate, Karandjalemba, Randalemba, Lamakampali, Lamarauna, Malonda, Pettalolo, Lembah, Yotolembah tetap terjaga eksistensinya hingga saat ini. Beberapa klen lainnya seperti Ponulele, Datu Palinge, Daeng Sute, Lapasere, Pakamundi, Latjambo, Tombolotutu, Sunusi juga dominan keberadaannya saat ini. Jika ditelusuri klan-klan ini memiliki asal muasal yang sama atau memiliki pertautan yang sama. Secara genealogis mereka terbentuk dari perkawinan yang terjadi diantara golongan Madika sebelumnya.

Klan-klan ini pada awalnya berasal dari satu kampung yang sama (residensi matrilokal/teritorial) yang berbentuk ngata (kampung). Bahkan penggunaan nama Fam “Lemba” pada beberapa klan disinyalir terkait dengan wilayah hunian awal(residensi teritorial,) dimana klan tersebut berasal.
Klan-klan tersebut secara terus menerus mengalami perluasan dengan terjadinya perkawinan antar madika dan turunan para "Magau" melaui adat Nibolai/Nosibolai). Pada tiap "ngata" terbentuk ikatan kekerabatan yang semakin erat diantara tiap-tiap klan sehingga jaringan hubungan kekerabatan berdasarkan genealogis semakin kuat.

Ikatan perkawinan telah menyatukan madika di lembah Palu bahkan membentuk klan-klan besar dengan status sosial tersendiri. Dalam perkawinan, klan-klan ini pada umumnya memelihara adat dengan sistem perkawinan endogamy. Seorang laki-laki dapat kawin dengan perempuan dari klennya sendiri minimal dalam derajat ke satu (sarasanggani) atau memilih perempuan di luar klen baik yang sederajat maupun yang tidak sederajat. Perkawinan endogamy dimaksudkan sebagai upaya memelihara dan menjaga kualitas dan kemurnian darah turunan dari keluarga bangsawan dalam klan yang sama. Bentuk lainnya adalah perkawinan "Positaka Taono" dan "Pongganti Ompa" bertujuan untuk mendekatkan pertalian darah dalam satuan kekerabatan disamping untuk menjaga agar "mbara-mbara nimana" (harta warisan keluarga/harta bersama) agar tidak jatuh terlalu jauh.

Dalam aktivitas politik dan aktivitas organisasi kemasyarakatan beberapa anggota Klan menguasai posisi strategis dalam proses politik. Sebut saja diantaranya Djanggola, Ponulele, Parampasi, Pettalolo, Lembah, Lamarauna, Yoto Lembah dan beberapa klan besar lainnya. Umumnya mereka berasal dari kesatuaan klan yang terkait hubungan kerabat seperti ana (anak), pinoana (kemenakan), sarasanggani (sepupu dalam derajat ke satu), sarara ruanggani (sepupu dalam derajat kedua), sarara talunggani (sepupu dalam derajat ketiga), mania (mantu), era (ipar), mangge (Paman), pinotina (Bibi) bahkan makumpu (cucu). Nama besar marga berdasarkan klan yang disandang seseorang seringkali menjadi dasar pertimbangan untuk dapat menduduki jabatan atau posisi tertentu dimasyarakat. Latar genealogis klan turut menentukan tingkat popularitas dan elektabilitas seorang anggota klan dalam aktivitas politik praktis. Sejalan dengan pendapat Koentjaraningrat bahwa salah satu dari empat fungsi klan adalah menjadi dasar dari organisasi politik.

Faktor genealogis Klan seringkali dijadikan pertimbangan untuk mendorong seorang anggota klan memasuki ruang-ruang politik, bahkan pelibatan dalam partai politik dapat terjadi karena alasan genealogis klan. Posisi sebagai anggota klan dengan latar belakang genealogis menjadi pertimbangan karena kekuatan lingkaran klan dapat menjadi penyangga bahkan menjadi barikade bagi tujuan-tujuan politik praktis.
Mendapat kedudukan dalam jabatan dan kekuasaan politik memberi penjelasan tentang karakter kekuasaan adat yang melekat pada pemimpin masyarakat Kaili ketika zaman kerajaan masih berlangsung di Lembah Palu. Para pemimpin masyarakat mendapat wewenang secara adat untuk mengelola kehidupan bersama, menjaga, memelihara kepentingan rakyat yang dipimpinnya, serta mempertahankan wilayah kekuasaan adat dari perebutan wilayah antar penguasa pada masing-masing wilayah kerajaan. Namun para pemimpin masyarakat dalam kedudukannya dipersyaratkan memiliki sifat jujur, adil, bijaksana, berpandangan jauh kedepan, amanah, berwibawa, ahli dan cakap dapat menjadi teladan serta berpengaruh dalam masyarakat.

Puncak-puncak status sosial lapis Madika (bangsawan) merupakan perkembangan lanjut perubahan sosial ketika lembaga-lembaga kekuasaan yang baru lahir menggantikan fungsi kekuasaan adat, maka dominasi kedudukan dalam sistem kekuasaan adat mengalami transformasi ke dalam puncak-puncak status sosial yang diteruskan atau diperankan oleh anggota klan dominan berdasarkan hubungan kekerabatan Madika.
Pergeseran status Kedudukan yang melekat pada Magau dan Madika ketika pemerintahan adat masih berlaku berubah menjadi status sosial bergengsi bagi anggota klan dominan yang notabene adalah keturunan Magau dan Madika dalam hubungan sosial khususnya dalam proses politik yang terjadi, perubahan status ini memperkuat terhadap bertahannya dominasi mereka dalam proses politik yang terjadi. Olehnya superioritas klan dominan dengan simbol-simbol adat menandai strata masyarakat Kaili masih tetap eksis meski terkadang tampil dalam bentuk yang berbeda. Eksistensi kedudukan dan jabatan merupakan faktor determinan akan munculnya anggota klan dominan yang diyakini memiliki kekuatan pengaruh pada masyarakat Kaili.

Saat ini melanggengkan Kedudukan berarti memposisikan klan dominan dalam struktur sosial terutama pada puncak-puncak strata sosial masyarakat Kaili yang berada pada golongan Madika. Dominasi klan dominan berlangsung dalam kehidupan politik, meskipun terkadang tidak harus menjadi pemimpin puncak pada suatu organisasi kemasyarakatan atau pada lembaga politik, namun memegang posisi strategis dalam organisasi kemasyarakatan atau bahkan memiliki kekuatan tawar menawar yang tinggi dalam pengambilan keputusan politik.
Garis kontinum ini ditandai dengan pelabelan simbol-simbol adat dengan idiom kharismatik seperti "tomalanggai" dan "tadulako" yang dilekatkan pada personifikasi anggota klan agar tetap ekdis dalam aktivitas politik. Eksisnya hubungan primordial dalam penataan peran-peran sosial yang menempatkan posisi anggota klan dominan sebagai representasi sumberdaya terpilih oleh karena kekuatan status sosial yang melatar belakangi dalam proses politik dan pemerintahan.
Untuk menempati kedudukan tertentu biasanya akan diperhitungkan berdasarkan pada status sosial yang dimiliki. Seperti menduduki jabatan pemimpin dalam masyarakat baik di lembaga politik, organisasi kemasyarakatan, dan pemerintahan senantiasa akan disesuaikan pada status sosial yang melatar belakangi. Kedudukan dalam status sosial seseorang akan berpengaruh pada jabatan yang di emban terutama pada pandangan orang lain terhadapnya, setidaknya kedudukan dalam jabatan atau pelibatan dalam aktivitas politik dilandasi status sosial Madika yang memberi prestise berbeda dengan yang bukan golongan Madika.

Boyaoge, 9 Januari 2020
Pemerhati Budaya
N I S B A H

Seri (14) Revitalisasi Budaya Kaili "NATUARI "

Seri (14)Revitalisasi Budaya Kaili  

" NATUARI "

"Natuari", Sebuah diksi lokal, popular dalam bahasa Kaili yang menggambarkan pola perilaku seseorang dalam lingkungan pergaulan dengan sikap "serba segalanya", sok tahu, sok pintar, sok jago, pandir, yang disertai perilaku tidak menghargai batasan senioritas dan batasab umur. Pola perilaku"Natuari" sering muncul dalam ruang interaksi pergaulan dan ruang interaksi politik dengan mengabaikan aspek etika bergaul atau adab kesopanan maupun kesantunan.
"menyepelekan lawan bicara", "memandang subjektif orang lain", tidak menghargai senior yang lebih tua, bahkan mengganggap rendah wawasan orang lain yang diikuti rasa percaya diri berlebih karena merasa memiliki kelas sosial tinggi, memiliki kemampuan ekonomi yang baik, bahkan diikuti perilaku "over acting" dengan dominasi personal pada tuang unteraksi.
Pada masyarakat Kaili, tampilan perilaku "Natuari" menjadi ukuran terhadap penerimaan seseorang dalam pergaulan bahkan dapat menjadi indikator seseorang dapat diterima dalam satu kelompok atau komunitas pergaulan. Seorang berperilaku "Natuari" biasanya juga sukses melakukan panjat sosial dan butuh pengakuan diri sebagai penegasan terhadap status sosial yang dinapakinya.
Perilaku "Natuari" jika ditampilkan oleh seseorang dalam interaksi pergaulan akan cenderung membuat risih anggota kelompok kepentingan internal apalagi jika muncul sikap "sok tahu" maka anggota kelompok kepentingan internal diyakini akan menjaga jarak dan membentuk polarisasi hubungan disharmoni.
Adab kesantunan dan kesopanan pergaulan pada "To Kaili" ditentukan dari cara seseorang menghargai dan merespon tindak perilaku seseorang, jika seseorang yang menampilkan perilaku "Natuari" muncul, maka mudah baginya di jauhi dalam lingkup pergaulan kelompok. Seorang yang "Natuari" dengan cepat akan di jauhi dan dianggap tidak memiliki rasa penghargaan kepada sesama anggota kelompok.
Gejala perilaku "Natuari" secara relatif memiliki kecenderungan kuat muncul dalam suasana kontestasi politik, bisa tampil sebagai kontestan, pendukung kontestan, dan tim eforia kontestan. Mereka tampil sebagai aktor yang seolah menguasai informasi atas issu politik yang aktual dan popular karena justifikasi latar sosial yang dimiliki yang menjadi kekuatannya (bisa gelar, kelas sosial, kekuatan ekonomi).
Perilaku "Natuari" terkadang bermetamorfosis menjadi pecundang dan oportunis karena rasa percaya diri "over dosis" menjadi modal dan kekuatan dalam interaksi pergaulan...

Medio, 30 januari 2020
N I S B A H
Pemerhati sosial-budaya.

Minggu, 12 Januari 2020

Edisi Kontemplasi KEBAYA, KONDE dan HARI IBU

KEBAYA, KONDE dan HARI IBU

Jelang 22 Desember menjadi momentum sejarah yang menandai semangat perjuangan perempuan Indonesia. Meskipun perayaan "HARI IBU" yang diperingati setiap tanggal 22 Desember dilaksanakan dalam "kesemarakan" yang "riuh rendah" namun terasa perempuan masih terikat dalam suasana profan dan penuh romantisasi kedirian yang tidak berbanding lurus dengan peran substansial perempuan dalam wilayah domestik dan publik.
Personifikasi perempuan dengan potensi kedirian dan nilai peran yang dimiliki bahkan seringkali menjadi tereduksi untuk menjalankan peran-peran karitatif. Peran dan fungsi perempuan seolah sekedar tampilan yang di simbolisasi dengan kewajiban memakai "kebaya dan konde".

Tampilan "kebaya dan konde" menjadi ciri komersialisasi perempuan secara manipulatif di setiap momentum "Hari IBU". Simbolisasi hari Ibu bahkan mampu mengaburkan nilai peran dan kontribusi riil perempuan dalam ruang sosial tertentu khususnya Perjuangan perempuan dalam mengatasi kebutuhan hidup sehari-hari. Bahkan ketika Hari IBU 22 Desember dirayakan sebagai penanda untuk menegaskan bahwa peran perempuan sebagai isteri pengasuh anak, pengelola Rumah Tangga dan pendamping suami menjadi sangat penting dan strategis untuk menopang kesatuan sosial yang bernama "keluarga" agar tetap terkendali dalam harmoni.

Paradoksal "Kebaya dan Konde" menegaskan bahwa kesejatian semangat hari ibu tidaklah di bentuk dari tampilan fisik, bahwa terdapat semangat perjuangan gagasan dan ide yang disertai tindakan perlawanan atas situasi perempuan yg mengalami ketidak adilan dan diskriminasi, sehingga semangat perlawanan perlu dimaknai secara mendalam.
Pada Hari Ibu "konde dan kebaya" masih menandai tampilan perempuan sebagai simbol selebrasi, tampilan karitatif ini justeru menjadi jebakan hadirnya sikap sentimentil perempuan untuk mengelus-ngelus rasa emosional perempuan agar "sebisanya" dapat tampil cantik, modis, bergaya dengan trendy mode berbusana. Perempuan sangat mudah muncul dengan tampilan ini karena perempuan dalam perspektif gender digambarkan akan dengan mudah membentuk situasi ini sebagai konsekwensi dari dari konstruksi sosial atas ruang kehidupan perempuan.

Saatnya memaknai Hari Ibu dengan semangat untuk memberi penguatan terhadap perempuan agar memiliki pilihan terhadap situasi sosial berdasarkan kesadaran yang dilandasi otoritas nilai kedirian.
Saatnya perempuan melepaskan diri dari keterjebakan kepentingan pragmatis dalam kendali otoritas diluar kediriannya.
Saatnya melepas ikatan eforia selebrasi Hari Ibu sebagai"tampilan karitatif" dengan hanya sekedar menghadirkan "kebaya dan konde" tanpa pemaknaan substansial peran fungsi perempuan yang lebih hakiki....
 

Perempuan harus Kuat, harus Berani, bersama menuju keterbebasan dari penindasan...
Selamat Hari Ibu....


Boyaoge, 22 Desember 2019
Pemerhati Budaya & Perempuan
N I S B A H

PERILAKU ASUSILA VS GENDER MAAINSTREAM

01.19 13:01
PERILAKU ASUSILA VS GENDER MAAINSTREAM

Menyoal Tindak Asusila dalam Gender Mainstream Kasus "prostitusi" Vanessa Angel yang lagi viral di media sosial cenderung menjadi obyek candaan dengan respon beragam dan sikap "under estimate" yang menempatkan posisi vanessa Angel sebagai pihak yang "serasa wajar" melakukan perilaku tersebut diikuti sikap masyarakat yang "serasa layak" untuk menghujat. Justifikasi hitam putih, baik buruk, benar-salah lazim berlaku dalam situasi seperti ini. Sebagian" kita" dengan superioritas maskulin akan dengan entengnya melekatkan lebel amoral kepada pelaku "pekerja seks komersial" (jelas-jelas perempuan) bahwa perilaku yang ditampilkan adalah buruk, salah dan tidak sesuai dengan norma masyarakat. Disisi lain pelaku objek amoral lainnya (jelas-jelas laki-laki) terbebas dari pelabelan apapun seolah layak dan wajar melakukan tindak dan perilaku tersebut dan dibebaskan dari defenisi amoral. Dalam perspektif masyarakat, perilaku "pantas"dan "tidak pantas" dalam tindakan asusila terbentuk dan diletakkan pada gender mainstream, spontanitas kita menilai bahwa perilaku asusila seolah sebuah lelucon yang wajar untuk ditertawakan karena lunturnya nilai dan moral pelaku yang dilekatkan pada perempuan. Kita melepas pandangan bahwa peristiwa asusila dapat terjadi karena kemauan dan keinginan dua subjek sekaligus objek. Posisi laki-laki sebagai obyek pelaku sengaja disembunyikan bahkan ditutupi sebagai sebuah kepantasan. Status dan keddudukan laki-laki akan selalu terlindungi dalam kepentingan terselubung, entah karena dia tokoh, pejabat, pengusaha yang berjenis kelamin laki-laki...

Medio 8 januari 2019
Nisbah
Pemerhati Perempuan dan Budaya

#tolakperilakuluasusila 
#tolaklabelgendermainstream 
#mariberlakuadil

Politik Ijon, Jerat atas Radikalisasi Korupsi yang tak Berakhir

Politik Ijon, Jerat atas Radikalisasi Korupsi yang tak Berakhir

Rumitnya penerapan sistim Pemilu serentak 2019 yang sementara berlangsung saat ini dan akan mencapai momentumnya pada saat pemungutan suara tanggal 17 April telah menampilkan fakta terpecahnya fokus dan konsentrasi masyarakat khusunya pemilih dalam menentukan pilihan terhadap para caleg yang akan dipilih, dalam kontestasi yang di gelar pada pemilu serentak 2019.
 

Sebagai "keserentakan" baru dan pertama dipraktekkan, tentunya banyak varian-varian yang akan muncul dan mempengaruhi pilihan masyarakat dalam menentukkan tingkat keterpilihan para caleg.
Praktek korupsi misalnya, dapat menjadi sebuah tindakan terselubung yang dengan mudah dapat terjadi secara tertutup. Praktek korupsi akan sangat kental mewarnai proses pemilihan legislatif yang dilaksanakan karena kontrol atas mekanisme kontestasi berjalan secara mekanistik tanpa deteksi dini yang ketat dimana perhatian masyarakat akan lebih fokus ke Pemilihan Presiden.
 

Secara tehnikal, mekanisme sistem pemilu legislatif yang rumit tentunya belum teriternalisasi secara baik kepada para caleg dan apalagi kepada masyarakat. Resiko yang harus diterima para caleg atas konsekwensi pelanggaran belum dipahami sebagai tindakan serius karena kemampuan berkelit akan lebih terkonsolidasi. Kemampuan caleg yang telah terlibat dalam siklus pemilu dan seringngkali keluar sebagai pemenang kontestasi menjadi pengalaman tersendiri bahkan orientasi para caleg yang bersifat Pragmatis terkesan menggampangkan raihan kemenangan dan tidak akan segan mencari celah untuk melakukan transaksi politik melalui praktek politik uang.
Politik uang (money politics) akan menjadi pilihan pragmatis yang paling realistis bagi masyarakat ketika mereka merasa bahwa para caleg tidak memiliki strategi yang mumpuni dalam memetakan kebutuhan mereka dan pilihan pragmatis ini menjadi kian empuk bagi para caleg dalam memenangkan keterpilihannya.
 

Frederic Schaffer (2007) mengatakan bahwa politik uang merupakan fenomena general dalam praktik pemilihan umum yang kompetitif. Politik uang akan menjadi pilihan strategis para caleg untuk mengarahakan pilihan politik pemilih terhadap figur yang ada.
Dalam situasi pemilih di perhadapkan dengan berbagai masalah sosial, resistensi untuk terjebak dalam politik uang dengan menggunakan cara "ijon" menjadi sangat mungkin dilakukan. Praktek politik uang dengan cara "ijon" terjadi secara tertutup dan sangat sulit terdeteksi apalagi secara formal mekanisme kontrol akan sulit memotret secara sistematis perilaku ini. Ketika terjadi transaksi politik yang mengatasnamakan "bantuan modal", "bantuan kemanusiaan"atau "investasi sosial" yang dalam proses pelaksanaannya tidak terbuka, pastilah akan terjadi kesulitan dalam kontrol terhadap kegiatan tersebut terutama jika transaksi antar pemilih dan caleg terjadi secara diam-diam. Operasi senyap yang biasanya menandai transaksi politik uang adalah fenomena yang sulit terpantau secara jeli dalam pelaksanaan rangkaian pemilu, terutama jika transaksi politik uang berlabel bantuan dan bergaransi imbalan yang harus diaktualisasi dalam wujud "perilaku terima kasih".
 

Politik ijon bukanlah fenomena baru, wajahnya selalu muncul dengan modus lama dan terkadang tampil dengan pola baru. Politik "ijon" dalam prakteknya lebih dahsyat dari sekedar poltik uang yang dilakukan secara dadakan (serangan fajar)i saat mendekati masa pemungutan suara, karena politikn "ijon" dillakukan dalam ikatan rangkaian siklus pemilu dengan masa waktu yang berjarak relatif lama dalam masa pra dan proses pemilu dilaksanakan. Pemilih dipaksa untuk memilih caleg secara tetap tanpa perlu membandingkan dengan caleg lain yang mungkin lebih berkualitas. Politik "ijon" mungkin sqja juga disertai "trik khusus" yang dilakukan secara rapi untuk memenangkan kontestasi.
 

Fenomena politik "ijon" dalam realitanya adalah praktek yang kasat mata namun "untouchable". Secara substansial bahaya politik "ijon" dapat menjadi jerat atas radikalisasi korupsi karena memberi andil atas terbentuknya tingkat kesadaran politik masyarakat yang rendah dan semu. Pendidikan politik idealnya sudah harus diarahkan pada pembentukan kualitas demokrasi yang dibarengi penguatan tingkat kesadaran masyarakat agar lebih baik, tentunya dengan meminimalisir tindakan pengkerdilan kesadaran masyarakat. Anasir-anasir jahat yang mendistorsi masyarakat dalam ketidak mengertian hendaknya mulai di hilangkan, sebab bukankah, kesadaran merupakan refleksi perilaku yang dipengaruhi oleh kekuatan pola pikir dalam memandang atau mendefenisikan situasi sosial politik.
Medio 28 Januari 2019
Nisbah
Pemerhati Pemilu.

Seri (12) Revitalisasi Budaya Kaili Sintuvu Posarara. Posarara.

Seri (12) Revitalisasi Budaya Kaili

Sintuvu Posarara.

Salah satu konsep penting tentang hubungan masyarakat di tanah Kaili adalah konsep "Sintuvu Posarara" yang mengatur hubungan antara sesama manusia khususnya hubungan kekeluargaan dalam satuan kekerabatan termasuk kekerabatan "santina" (klen). Konsep ini menjelaskan esensi hidup yang baik harus didasarkan pada rasa persaudaraan. Di dalam konsep ini terkandung pengertian bahwa segala sesuatu yang dilakukan dalam kehidupan harus berorientasi pada kebaikan dan didasarkan atas kerjasama dan tolong menolong yang didorong oleh rasa kekeluargaan, kebersamaan, dan persekutuan hidup dalam satuan keluarga, kerabat dan juga masyarakat luas yang diikat oleh nilai hidup yang berkembang dalam masyarakat.

"Sintuvu Posarara" sebagai konsep hubungan antara manusia merupakan karakteristik masyarakat Kaili yang berfungsi sebagai perekat dalam kehidupan bermasyarakat. Konsep ini juga menegaskan tentang sikap masyarakat Kaili yang selalu terbuka dan menerima keberadaan masyarakat lainya dengan tidak membedakan baik ideologi, sub etnis, dan agama.

Nilai-nilai dari konsep "Sintuvu Posarara" diketengahkan secara arif untuk dijadikan sebagai semboyan dinamis dalam menata kehidupan bermasyarakat. Konsep terpelihara dalam kehidupan masyarakat karena nilai kesatuan yang dikandungnya merupakan semangat yang tetap tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat.

Ikatan hubungan perkawinan antar keluarga dalam satuan kekerabatan menjadi penegasan akan adanya konep "Sintuvu Posarara". Adat "Nosibolai"atau "Nibolai"pada golongan Madika yang menjalin hubungan pada golongan "madika" (bangsawan) dan melalui prrkawinan dengan adat "Neduta" pada golongan "To Dea" (masyarakat biasa) memperlihatkan bahwa ikatan perkawinan diharapkan dapat mempererat hubungan persaudaraan dalam satuan kekerabatan khususnya pada beberapa satuan klen tertentu (santina). Perkawinan antar klen bertujuan untuk mempertahankan status sosial sekaligus menunjukkan bentuk keberhasilan konsolidasi antar satuan kekerabatan dalam klen dalam mempertegas status sosial pada masing-masing "Vati" (status) yang ada .

Dalam konsep "Sintuvu Posarara" juga ditanamkan suatu nilai yang dapat menunjukkan kesetiakawanan atau solidaritas antar sesama yaitu nilai gotong royong yang disebut dengan "Nolunu". Nilai hidup ini merupakan realisasi kebersamaan mereka dalam menghadapi suatu kerja, yang manifestasinya dapat terlihat dalam segala aktivitas hidup sehari-hari, seperti bantu-membantu dalam suatu pekerjaan besar yang membutuhkan banyak tenaga kerja, memberi pertolongan kepada keluarga yang sedang dirundung musibah, serta kegiatan-kegiatan lainnya yang akan lebih cepat terselesaikan jika dikerjakan bersama-sama seperti pada upacara siklus hidup. Demikian halnya pada konsep "Nosiala pale" yang menegaskan kegotong royang dimana pemaknaannya bahkan mencapai pada relasi sosial pada semua aspek kehidupan.

Bagi masyarakat Kaili, menerima terhadap siapa saja yang berasal dari luar asalkan memiliki sikap dan prilaku yang baik menjadi sebuah keharusan, bahkan bagi penduduk pendatang dapat dianggap sebagai saudara maupun keluarga jika menampilkan perilaku baik. Demikian sebaliknya bagi penduduk pendatang diharapkan dapat beradaptasi dan harus mengangap orang Kaili sebagai saudara mereka sehingga rasa persatuan dan kebersamaan di dalam kehidupan bermasyarakat dapat terjalin dengan baik. Kenyataan sosial seperti ini dalam bahasa kaili biasa disebut dengan “ belo bo belo mosi dekei belo”.

Dalam konsep Sintuvu Posarara terdapat ungkapan :Nosarara Nosabatutu" yang merupakan sebuah adagium mengenai pandangan tentang kebersamaan hidup yang di dalamnya mengandung nilai-nilai persaudaraan, persatuan dan kesatuan, kebersamaan dan kekeluargaan, rasa senasib sepenanggungan, saling menghormati, menjaga kerahasiaan dan kehati-hatian untuk kepentingan bersama. Meskipun "Nosara Nosabatutu" hanyalah adagium dari rangkaian konsep kesatuan hidup yang dikontestualisasi pada kehidupan masyarakat kaili saat ini, namu adagium ini menjadi upaya menselaraskan kehidupan masysrakat, terdapat kandungan makna yang secara esensial menjelaskan kesatuan hidup masyarakat.

Pemaknaan ungkapan ^Nosarara Nosabatutu" kaitannya dengan konsep "Sintuvu Posarara" dapat dijelaskan sebagai berikut :

1.    Nilai Sintuvu (Kebersamaan) adalah semangat kebersamaan yang tumbuh pada setiap anggota masyarakat sejak dahulu, adanya kelompok-kelompok masyarakat yang hidup berdampingan dengan kelompok masyarakat lainya sehingga tercipta kebersamaan dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah. Semangat kebersamaan akan melahirkan rasa persatuan dan kesatuan dalam kehidupan bermasyarakat.

2.    Nilai Posarara (persaudaraan) adalah nilai yang tertanam pada setiap orang bahwa seluruh masyarakat harus merasa satu keluarga besar yang bersaudara sekandung olehnya harus hidup saling mencintai, memperhatikan dan menghargai diantara sesamanya. Kehidupan bersaudara yang terbentuk akan mendorong dengan sendirinya rasa kebersamaan dan persaudaraan.

3.    Nilai Sangulara/sangurara (Persatuan Dan Kesatuan) yang memberi arti bahwa persatuan dan kesatuam merupakan kekuatan yang diperlukan untuk menuju kehidupan yang lebih baik, untuk mewujudkan hal itu perlu menyatukan pikiran dan pandangan terhadap sesuatu yang menjadi keinginan masyarakat sehingga tidak ada hambatan dalam melaksanaan pembangunan.

4.    Nilai "Simpotove" (saling menyayangi) merupakan suasana dimana masyarakat dapat hidup saling mencintai, saling memperhatikan, saling mendukung, saling menghargai dan akhirnya saling memperkuat dalam kehidupan yang tentram dan damai.

Konsep "Sintuvu Posarara" memiliki makna yang sangat dalam bagi kehidupan bermasyarakat Kaili. Realitas kehidupan masyarakat Kaili memiliki etika serta prinsip untuk saling menghargai, menghormati dan saling menjaga milik bersama. Prinsip ini menekankan bahwa penyatuan jiwa solidaritas dapat terjadi secara normal yang diawali dengan sikap saling menghormati dan menghargai.

Masyarakat Kaili selalu berupaya mewujudkan apa yang menjadi makna dari "Sintuvu Posarara", karena konsep ini telah menjadi bagian dari kehidupan turun-temurun dan telah dilakukan oleh para pendahulu-pendahulu sebelumnya. Dalam implentasinya konsep ini tampak jelas diaktualisasikan dalam anggota satuan kekerabatan "santina" (klen) dominan dalam kehidupan masyarakat.

Boyaoge, 24 Oktober 2019,
Nisbah
Pemerhati Budaya Kaili

Seri (11) Revitalisasi Budaya Kaili TADULAKO

Seri (11) Revitalisasi Budaya Kaili

TADULAKO

Secara harfiah kata "Tadulako" berarti pemimpin perang. "Tadulako" adalah personifikasi figur, tokoh, subyek yang memiliki semangat, keberanian, kekuatan, yang terpancar dari kharisma dan kewibawaan. Pada beberapa kagaua (kerajaan) di tanah kaili keberadaan figur "Tadulako" dalam struktur "Libu Nu Madika" niscaya selalu ada dan bertindak sebagai menteri pertahanan dan keamanan.

Sosok "Tadulako" harus memiliki keberanian sebagai sifat utama, keberanian merupakan sifat dan perilaku yang dibentuk berdasarkan faktor genealogis dalam satuan kekerabatannya. Dengan tampilan maskulinitas positif, "Tadulako" bahkan mewarisi nilai kepemimpinan dari "Tomalanggai" sebagai "tobaraka" dan merupakan cikal bakal pemimpin pada suku Kaili.

"Tadulako" memiliki kewenangan yang harus di jalankan untuk menjaga keamanan kerajaan (negeri), jika terjadi peperangan atau pemberontakan terhadap otoritas "kagaua". Tadulakolah yang pertama kali maju kedepan arena pertempuran sebagai pemimpin Prajurit/Pasukan.

Secara fungsional dalam struktur kelembagaan "Libu Nu Madika" Tadulakolah yang memiliki dan menjalani prosesi tersendiri dalam menjalankan tugasnya dibandingkan anggota "Libu Mu Madika" lainnya, jika terjadi peperangaan, atas perintah "Magau", Tadulako mengumpulkan pasukannya diawali dengan "tinti gabara ribaruga" ( gendang yang dibunyikan di baruga dengan irama tertentu) sebagai tanda bahwa persiapan perang segera dimulai, prosesi ini sekaligus sebagai pengumuman dan isyarat kepada "To dea" (masyarakat) agar waspada dan mengikhlaskan para prajurit untuk pergi berjuang di medan perang. Dengan dipimpin "Tadulako", para pasukan lalu berkumpul di "Bantaya" (rumah adat tempat bermusyawarah) dengan mempersiapkan alat kelengkapan perang berupa "Sinjulo" (pakaian perang dari kulit kayu berwarna hitam), "Songko Vaja" (berbahan kayu) yang dikebatkan sepasang tanduk kerbau khusus dikenakan Tadulako), "Tokotampi" (tombak yang menggunakan ekor kuda diujung tangkainya), "Kaliavo" (perisai), "Guma" (keliwang) yang sarung pembungkusnya digantungi "Banggula" yaitu giring-giring terbuat dari kuningan sehingga suara yang ditampilkan pasukan terdengar gemerincing jika berjalan.
 
Setelah persiapan alat kelengkapan perang telah dilakukan dengan dibantu sepenuhnya oleh seluruh masyarakat, maka
Peperangan siap dihadapi, lalu para ahli perang diantaranya "Tadulako" dan sebagian "To Tua Nungata" melaksanakan "Nondolu" berupa nyanyian yang berisi sugesti mental kepada prajurit guna mempertinggi daya tempur, sekaligus menanamkan arti dan nilai kematian bagi prajurit dalam membela kagaua atau negeri. Saat "Tadulako" "Nerenggemo" (pekikan penyemangat) sudah di lontarkan maka pasukan bersama "Tadulako" telah bergerak menuju peperangan.

Dalam seluruh prosesi peperangan yang dilaksanakan, menempatkan Tadulako sebagai simbol kekuatan inti pembela negeri. Pemaknaan dalam simbolisasi Tadulako menegaskan eksistensi pemimpin perang yang siap dan rela mati membela tanah air.
Tadulako, Sebelum Turun Berperang, akan melakukan gerakan "Notampadu Tana Pade Nolako" ( menghentakan kaki yang bertumpu pada tumit ke Tanah sebagai simbol injakan ke bumi sebelum Melangkah dan sebagai simbol pamit Pada Bumi untuk menuju tujuan, makna filosofinya bahwa Bumi tempat bepijak Dan satu tujuan Hidup Adalah Mati, Maka ketika Mati seorang Tadulako berada dalam Perjuangan Di jalan kebenaran.
Dengan semangat dan jiwa pengorbanan "Tadulako" mempertaruhkan jiwa untuk siap melindungi "Kagaua" dan seluruh negeri, penanda semangat dan keberanian "Tadulako" tergambar jelas pada semboyan "Malei Raa Mabubu, Ma Puti Buku Ra Timbe, Kana Kupomate Ngataku" ( Merah darah ditumpahkan, putih tulang di potong, siap mati untuk untuk negeriku).


Boyaoge, 18 Oktober 2019,
N I S B A H
Pemerhati Budaya Kaili

Seri (10) Revitalisasi Budaya Kaili BULONGGO.

Seri (10) Revitalisasi Budaya Kaili

BULONGGO.

Secara etimologi kata "Bulonggo" dalam bahasa Kaili berarti "tulang punggung". Analogi kata "bulonggo" sebagai "tulang punggung" lahir dari falsafah yang memandang bahwa kehidupan ini dimisalkan sebagai sistem kesatuan tubuh, maka tubuh pasti terdiri dari bagian-bagian tertentu yang satu sama lain saling menunjang. "Tulang punggung" yang merupakan salah satu bagian penting dari komposisi tubuh memiliki fungsi tersendiri yakni sebagai penyangga keseimbangan tubuh agar tetap seimbang, lurus dan tegak serta dapat berfungsi sesuai kegunaannya. Fungsi tulang punggung bagi tubuh bahkan sangat vital, karena tanpa adanya tulang punggung manusia tidak dapat berjalan dan melakukan gerakan motorik lainnya.

Dari falsafah tentang "Tulang punggung" inilah masyarakat Kaili mendefenisikan "bulonggo" sebagai sebuah pranata mengenai peran dan kedudukan perempuan dalam kehidupan keluarga, demikian juga peran pemimpin dalam kehidupan masyarakat.
Sebagai sebuah pranata mengenai peran perempuan, "Bulonggo" memberi makna akan kedudukan perempuan sebagai pusat dan inti kehidupan. Pandangan ini terlihat jelas dalam sistem uxorilokal dan residensi matrilineal pada masyarakat Kaili. Kedudukan perempuan menjadi penunjang dan penyangga dalam mempertahankan kelangsungan kehidupan keluarga sebagai kesatuan sistem. Pranata "bulonggo" selanjutnya menjadi dasar dalam proses pembentukan peran perempuan dalam sistem sosial khususnya dalam kepemilikan dan pengaturan harta dan warisan keluarga.
 

Dalam struktur kehidupan keluarga yang berhak menjadi "bulonggo" adalah anak perempuan pertama meskipun ia bukan anak tertua. Sebagai contoh dalam sebuah keluarga memiliki lima orang anak yang terdiri dari tiga orang anak laki-laki dan dua orang anak Perempuan, maka anak perempuan pertamalah yang menjadi "bulonggo" sungguhpun usianya lebih muda.
 

Sementara bagi anak laki-laki khususnya yang masih lajang berkewajiban untuk senantiasa menambah jumlah harta atau warisan yang ada melalui penghasilannya.
Demikian halnya dalam pelaksanaan sistem "notava" (sistem pemanfaatan secara bergilir sumber-sumber ekonomi berbentuk " mbara-mbara nimana" ) dimana pengelolaannya berada pada "bulonggo" untuk mengatur tata urutan pemanfaatannya.


Sebagai tanda satuan kekerabatan dalam "koyo puse" (keluarga batih) tetap terjalin dalam ikatan persaudaran maka setiap anggotanya harus mengenal dan terikat pada "bulonggo"-nya sebagai pusat lingkar kerabatnya terutama jika menjalankan fungsi keadatan dalam kerabat luas (sarara) atau dalam melaksanakan upacara daur hidup. Posisi "bulonggo" menjadi sangat penting karena peran "bulonggo" sebagai wadah pemersatu secara eksplisit mengejawantah pada fungsi perempuan sebagai subyek "tina nu mbara-mabara" sekaligus sebagai pusat jalinan kekerabatan seperti tersirat dari adagium to kaili "Ni linggu Mpotoboyo" bahwa kesatuan "sarara" harus tetap saling mengenal dan berkumpul.

Pranata Bulonggo juga menegaskan tentang peran dan fungsi pemimpin dalam kehidupan masyarakat. Ketika wilayah keadatan masih berada dalam sistem "Pitunggota dan Patanggota Ngata Kaili", Para "Totua Nu Ngata" yang berada pada tiap-tiap "soki" merupakan personifikasi "Bulonggo Nu Ada", dengan peran dan fungsi menjaga, memelihara dan mengelola tradisi dan adat istiadat yang masih di pedomani.
Eksistensi pemimpin dalam kehidupan masyarakat pada kesatuan adat tanah kaili menempatkan pemimpin berada pada satuan kekerabatan yang menjalankan fungsi sosial.
Kekuatan adat menjadi simpul yang mengikat kesatuan hidup masyarakat dimana peran "Bulonggo Nu Ada" menjadi penting untuk mengatur dan mengendalikan siklus kehidupan yang bertumpu pada nilai-nilai hidup yang berkembang di masyarakat.
 

Para pemimpin selain menjalankan fungsi eksekutif dan legilslatif kiranya mampu menerjemahkan dan mengimplementasikan nilai-nilai adat sebagai pedoman dalam mengatur kehidupan masyarakat. Nilai-nilai adat masih adaptif sebagai pengendali alternatif selain hukum positif. Peran pemimpin dalam menjalanksn fungsinya sekaligus sebagai "Bulonggo Nu Ada" dapat menjadi penyangga kehidupan masyarakat. Symbiosis peran formal dan informal yang dijalankan pemimpin tentunya akan menjadi kekuatan dalam mengatur kehidupan masyarakat sehingga rasa terlindungi dan terayomi dapat dirasakan sebagai cara untuk mengatasi dan mengisi ruang kosong yang dirasakan masyarakat sejauh ini.
Insya Allah....


Boyaoge, 11 Oktober 2019,
N I S B A H
Pemerhati Budaya Kaili

Seri (9) Penguatan Budaya Kaili TOMALANGGAI

Seri (9) Penguatan Budaya Kaili

 TOMALANGGAI

"Tomalanggai" adalah sebuah diksi yang mengurai prinsip kepemimpinan pada masyarakat kaili, Diksi ini merupakan penggalan kata "toma" yang berarti "bapak atau ayah" dan "langgai" yang berarti laki-laki sehingga secara harfiah "Tomalanggai" berarti bapak laki-laki.
 
"Tomalanggai" adalah ciri peran patriarkat yang menjadi acuan sikap dan perilaku yang menandai tampilan seorang pemimpin pada masyarakat Kaili.
Secara psikologis, "Tomalanggai" menggambarkan kualitas personal pada sikap dan perilaku yang menampilkan semangat, keberanian, kekuatan, yang terpancar dari kharisma dan kewibawaan berdasarkan ciri maskulinitas yang kuat.
Bagi To Kaili, terdapat keyakinan bahwa jika seorang yang memegang kekuasaan tertinggi atau menjadi pemimpin masyarakat harus menampilkan semangat, keberanian, kekuatan, yang terpancar dari kharisma, sehingga segala masalah yang terkait kepentingan masyarakat dapat digantungkan kepadanya.

Dalam mitologi To Kaili, "Tomalanggai" awalnya merupakan penyebutan atau gelar yang di sematkan pada seorang pemimpin suku dalam satuan kehidupan kelompok teritori kekerabatan yang memiliki keberanian dalam mengalahkan orang atau kelompok lain. Dengan keberanian dan kekuatan yang dimiliki maka seluruh pengikut atau masyarakat tunduk dan taat kepadanya . Kemampuan dalam mengalahkan kelompok lain juga membentuk sikap kediktatoran dalam pelaksanaan kepemimpinan, namun dengan terjadinya perkawinan "Tomalanggai" dengan "Tomanuru" mempengaruhi terhadap perubahan perilaku maupun sikap "Tomalanggai" yang semula diktator berubah menjadi bijaksana. "Tomanuru" yang diyakini sebagai penjelmaan seorang dewi yang keluar dari "Bolo Vatu Mbulava" (bambu kuning emas) ditakdirkan menjadi isteri "Tomalanggai" diyakini memberi pengaruh dalam perubahan sikap dan karakter "tomalanggai" seiring bertambah pula kemampuan ilmu adi daya dan kesaktian yang dimiliki sehingga "Tomalanggai"di gelari "Tobaraka" ( Pemimpin yang disegani dan sakti).

Secara genealogis Keberanian dan kesaktian "Tomalanggai" kemudian menurun pada generasi penerusnya yang menjadi pemimpin dan berkuasa di tanah Kaili. Pelanjut Kepemimpinan "tomalanggai" bahkan ada yang bergelar "Tobaraka" yang diyakini mewarisi sifat-sifat Tomalanggai dengan sifat bijaksana, pemberani dan sakti.
Sifat-sifat ini menjadi dasar dan karakter kepemimpinan dalam membentuk Kehidupan masyarakat sehingga keadaan rakyat semakin mengalami kemajuan. Besarnya kepercayaan dan pengaruh kepemimpinan tersebut didalam kehidupan masyarakat membuat "Tomalanggai" memiliki pengaruh luas di masyarakat.

Pengangkatan seorang pemimpin masyarakat harus berada dalam kerangka untuk melindungi dan mengayomi semua anggota kelompoknya. Prinsip kepemimipinan "Tomalanggai" inilah yang secara turun temurun menjadi prinsip kepemimpinan dalam masyarakat kaili. Demikian juga keberadaan "Tadulako" yang dikenal sebagai panglima perang dalam dalam sistem pemerintahan adat dianggap mewarisi prinsip kepemimpinan "Tomalanggai"dalam menjalankan perannya.

Prinsip kepemimpinan "Tomalanggai" bagi masyarakat Kaili diyakini terdapat pada setiap diri calon pemimpin masyarakat yang dikodratkan menjadi pemimpin seperti halnya "Tadulako". Sifat berani dan berwibawa menjadi syarat utama yang harus dimiliki seseorang yang ditetapkan sebagai pemimpin masyarakat di tanah Kaili. Pemimpin masyarakat dengan jiwa keperkasaan idealnya mampu mengadopsi prinsip kepemimpinan "Tomalanggai" yang harus memiliki keberanian, kewibawaan, kesatria bahkan kesaktian. Dengan demikian perilaku "Tomalanggai" adalah prinsip yang ditanamkan dan harus dimiliki oleh seorang calon pemimpin.

Seorang pemimpin dalam masyarakat yang memiliki prinsip kepemimpinan "tomalanggai" dipastikan dapat menerapkan nasehat atau petuah ketika menjalankan kepemimpinannya. Nasehat atau petuah dari para "To Tua Nungata" adalah penjabaran prinsip kepemimpinan dari perilaku "Tomalanggai" yang senantiasa harus ditampilkan seorang pemimpin dalam masyarakat terutama dalam menjaga mata, telinga, mulut, hati, dan otak. Pemaknaan prinsip kepemimpinan tersebut tersirat pada nasehat bagi seorang calon pemimpin yaitu:
1. "Pakanoto Mata Mangantoaka", artinya seorang pemimpin harus membaca keadaan dengan penglihatan mata kepala, mana yang tidak baik, mana yang baik dan mana yang lebih baik yang akan dilaksanakan untuk perbaikan kehidupan masyarakat serta sebagai bahan untuk membuat aturan.
2. "Pakanasa Talinga Mangepe", artinya segala sesuatu yang didengar oleh telinga, harus dicermati dengan jelas dan nyata, apakah suatu berita yang didengar benar adanya atau tidak, harus dicari tahu kejelasannya agar tidak menimbulkan fitnah bagi orang lain serta bisa menimbulkan konflik, karena tidak ada kepastian dan kebenaran yang didengar.
3. "Pakabelo Sumba Mojarita", artinya berkata sejujur-jujurnya, tidak boleh menyinggung perasaan orang lain, berbohong, menghina, menghujat, memfitnah. Berkata jujur dan menjaga perkataan yang baik akan dapat menciptakan persatuan dan kesatuan demi terwujudnya perdamaian dan kerukunan didalam masyarakat.
 
Prinsip yang didasari keberanian dan kewibawaan menjadi syarat penentu bagi seorang pemimpin di masyarakat. Dalam setiap proses pergantian kepemimpinan baik di organisasi kemasyarakatan, lembaga politik, eksekutif maupun legislatif selalu di tandai dengan masuknya calon-calon pemimpin yang di nilai layak karena kualitas personal harus dapat mewarisi prinsip kepemimpinan "Tomalanggai". Pemahaman yang tertanam kuat tentang prinsip kepemimpinan "Tomalanggai" pada masyarakat Kaili, menjadi kriteria tersendiri yang harus dimiliki seorang pemimpin, karena persepsi masyarakat dalam menilai kriteria pemimpin masyarakat dapat menjadi bagian dari pembentukan pemahaman nilai-nilai kepemimpinan yang terinternalisasi seiring dengan perubahan zaman.
Semoga....

Boyaoge, 2 oktober 2019,
NISBAH
Pemerhati Budaya Kaili

Seri (8) Penguatan Budaya Kaili"TINAKU, TINA NGATA"

Seri (8) Penguatan Budaya Kaili

"TINAKU, TINA NGATA"

"Tinaku" sebuah diksi yang lazim didengar dan diucapkan dalam penyebutan lokal to kaili.
Diksi "tinaku" terdiri dari dua unsur kata yakni "tina" dan "ku" dimana kata "tina" berasal dari unsur kata "ina" (tunggal) yang di tambahkan huruf "T" yang berarti "dia adalah ibu dari satu orang atau lebih sementara kata "ku" yang menyertainya merupakan penggalan dari ujung kata "yaku" yang berarti "saya", maka arti "Tinaku" bagi "to kaili" adalah "Ibuku".
Penyebutan "Ina" atau "tina"yang berarti "ibu" juga dikenal pada beberapa suku atau komunitas lokal, tapi bagi "to kaili" kata " Tina" menguraikan sebuah pesan ttg peran dan posisi perempuan sbg pusat atau inti kehidupan pada satuan kekerabatan.

 Pada "To Kaili" penyebutan satuan awal lingkar kekerabatan di sebut sebagai "santina" secara analogi konsep ini menjelaskan jaringan kekerabatan secara matrilokal yang menghubungkan satu keluarga batih (koyo puse) dengan keluarga batih lainnya yang melingkar dan membentuk keluarga luas/besar (sarara) hingga mencapai "santina" (kindred). "Santina" melingkar pada satuan kekerabatan mulai dari residensi matrilokal hingga membentuk "Ngata". Konsep ini juga sebagai penegasan adanya pranata "bulonggo" yang menguraikan peran "tina" (perempuan) sebagai subyek pengelola sistem nilai hidup dan sumber-sumber ekonomi kekerabatan.

 "Tinaku" adalah "Tina Ngata", secara etimologi "Tina Ngata" adalah dua unsur kata yaitu "Tina" berarti Ibu atau perempuan dan "Ngata" berarti kampung. "Tina Ngata" dimaknai sebagai peran sentral perempuan sebagai pemimpin dan menjadi kekuatan penyangga kehidupan. Peran perempuan strategis dalam mengendalikan kehidupan sosial, menjaga lingkungan, dan memperkuat nilai-nilai kolektivitas kelompok masyarakat. "Tina Ngata" secara substansi dipahami sebagai basis bagi pengakuan dan partisipasi sekaligus akar penghormatan peran perempuan dalam masyarakat. Kuatnya peran "tinaku" yang mengejawantah pada konsep "tina ngata" bermakna pada adanya kekuatan dari pusat dan inti kehidupan dalam satuan makro kosmos. Bahwa "tinaku" adalah sumber kehidupan, bahwa "tinaku" menjadi nafas kehidupan, bahwa tinaku adalah penyambung, penjaga sekaligus pengendali kehidupan.

Melalui konsep "tinaku, tina ngata" menginspirasi pergerakan kita untuk selalu meyakini bahwa tumpuan kehidupan berada pada nafas dan semangat perempuan...
Sukses "tinaku, tina ngata" atas kerja dan pengabdian tanpa pengorbanan.
Tulisan ini secara khusus saya persembahkan bagi perempuan-perempuan tangguh yang hadir dan berada pada ruang sosial,
wabil khusus bagi mereka yang di legitimasi di lembaga perwakilan rakyat.

Boyaoge, 25 september 2019,
Pemerhati budaya kaili
N I S B A H

Seri (7) Penguatan Budaya Kaili Hukum Adat Kaili Adat Kaili

Seri (7) Penguatan Budaya Kaili

Hukum Adat Kaili

       Hukum adat adalah norma-norma yang hidup yang disertai dengan sanksi dan jika perlu dapat dipaksakan oleh masyarakat atau badan-badan yang bersangkutan, agar ditaati dan dihormati oleh para warga masyarakat (Holleman).
       Pada masyarakat Kaili, penerapan hukum adat berkonsekwensi atas adanya sanksi adat yang diberikan kepada "terhukum"karena adanya pelanggaran norma atas nilai hidup masyarakat, sanksi adat dimaksudkan untuk membuat terhukum memiliki rasa bersalah sehingga dapat bertobat dan merubah perilakunya (Nivatiaka). Sanksi adat berupa "Givu" adalah denda adat berkategori berat dan "Sompo" denda adat berkategori ringan. Pemberian sanksi adat bermakna sebagai "hukuman setimpal" dalam bentuknya dapat berupa "hukuman mati", pengasingan dari masyarakat, tebusan nyawa berwujud kematian yang terjadi melalui proses menukar nyawa manusia (terhukum) dengan mengorbankan kerbau dan kambing dimana tetes darah dua jenis binatang ini diyakini memiliki nilai yang dapat mengembalikan kehormatan atau harga diri seseorang ataupun mengembalikan harkat, martabat dan wibawa "kesatuan komunitas atau suku dalam kehidupan masyarakat. Pemberian sanksi adat lazim disertai dengan "NOPANAA" yaitu komitmen untuk melaksanakan perjanjian terakhir jika denda adat tidak dilaksanakan.
Pada masyarakat Kaili di kenal beberapa jenis hukuman adat yaitu :

1. NAKAPALI,
Dalam hukum adat, hal-hal yang terlarang disebut dengan "NAKAPALI" baik berupa kejahatan atau pelanggaran terkecuali kekhilafan. NAKAPALI berasal dari kata "Naka" berarti "nakajadi" (menjadi) dan "Rapali" berarti proses pengasingan atau diasingkan jadi Nakapali berarti seseorang (terhukum) yang diasingkan atau disingkirkan. Bahkan jika pelanggaran menjadi sangat berat hukuman pantangan yang di berikan dalam bentuk "pengasingan" yang bersifat seumur hidup yang bertujuan agar "terhukum" merasakan "tidak memiliki arti hidup lagi"
Kesalahan atau tindakan yang berkonsekwensi hukum dalam Nakapali biasanya pelanggaran norma yang dipicu oleh perilaku amoral yg disebut "Nasala Vati" (disorientasi perilaku karena kesalahan pendidikan keluarga).

2. SALAKANA,
Adalah Pelanggaran norma masyarakat yang berkategori "vaya mbaso" (malu besar) dalam bentuk tindak perzinahan (baik atas dasar suka sama suka maupun tidak) hubungan non marital atau incest taboo. Pada mayarakat kaili "vaya mbaso" dikategorikan sebagai perbuatan jahat yang dapat merendahkan derajat manusia pada tingkatan serendah-rendahnya dan bahkan dapat merusak dan menghancurkan hubungan kesatun komunitas serta dapat menimbulkan malapetaka bagi kehidupan sehingga sanksi yang diberikan harus berbentuk "givu mbaso" berupa hukuman mati " atau "paka putu tambolo" dan "ralabu" atau "nilabu" yang berarti dibuang kelaut. Malapetaka diyakini tidak akan terjadi jika terhukum dipisahkan secara fisik dengan ruang tempat tinggalnya. Pemberian sanksi "givu mbaso" dianggap dapat memberi efek jera dan memberi ketentraman hidup masyarakat.
Pelaksanaan sanksi hukum dalam Salakana adalah hukuman mati berjangka dimana berlaku ketentuan dapat mengganti nilai givu mbaso dengan sejumlah harta (subsider), disertai sanksi adat "Nopanaa" dengan kewajiban membayar givu oleh perempuan berupa :
1). Santina bengga besi sambei
ntambolo (seekor kerbau betina
pengganti leher)
2) Sanggayu Gandisi Raposompu
( satu kayu kain putih untuk
kafan
3) Samata Guma Posambale
( sebilah kelewang penyembelih)
4) Santonga Dula Potande Balengga
(sebuah dulang untuk tempat
kepala)
5) Santonga Tubu Putih Posonggo
Raa ( sebuah mangkok basi putih
untuk tempat darah
6) Doi sudaka (uang sedekah)

Sementara bagi laki-laki membayar givu berupa :
1) Sampomawa Bengga sambei
Tambolo (seekor kerbau jantan
pengganti leher)
2) Santonga Dula Potande Balengga
(sebuah dulang untuk tempat
kepala)
3) Santonga Tubu Putih Posonggo
Raa ( sebuah mangkok basi putih
untuk tempat darah
4) Doi sudaka (uang sedekah)
            Apabila denda adat tidak dibayar pada waktunya sesuai ketentuan peradilan adat maka keselamatan jiwa terhukum tetap terancam dimana peradilan adat tidak dapat menjamin jika terjadi tindak balas dendam.namun jika seluruh sanksi adat telah dilaksanakan dengan membayar denda maka ketua peradilan adat dapat mendamaikan pihak-pihak yang terkait dengan pelanggaran adat.
Pelanggaran adat ringan "Mosompo" pada salakana juga dimungkinkan dilakukan jika pelanggaran adat di lakukan dengan sengaja terhadap perempuan sementara perempuan tidak menghendakinya. "Novaya Nebaga Mombine" yaitu
        Penyerangan secara kasar dengan maksud melecehkan atau merendahkan derajat perempuan yang dilakukan dirumah atau dijalanan, Novaya Nosimpalaisaka ( kawin lari), Novaya Neduku ( perempuan dengan sengaja mendatangi rumah laki-laki untuk minta dikawini) adalah pelanggaran adat yang di kenai sanksi "Mosompo/Nisompo".
Pada pelanggaran adat salakana ringan yang berkonsekwensi pada "Mosompo" dengan kejahatan berupa "salakana-novaya nobaga mombine" sanksi adat yang dikenakan berupa :
1) Ruamba Tovau ( dua ekor
kambing)
2) Samata guma ( sebilah kelewang)
3) Sapulu Ntonga Pingga( sepuluh
buah piring)

3. SALABABA atau SALAMPALE
Pelanggaran adat karena perbuatan yang bertentangan dengan kesopanan dan kehormatan orang lain karena didasari rasa jahil dan nakal seta bermaksud menggoda dengan sengaja terutama jika dilakukan terhadap perempuan.
"Salababa" merupakan pelanggaran adat yang bermakna adanya gangguan pada perempuan "Nompejomu" yaitu kebiasaan perempuan menggunakan "Buya Salele" atau "buya pobaba" berupa kain sarung yang digunakan menutup atau membungkus badan perempuan ketika keluar rumah, jika sarung di sentuh oleh laki-laki telah terjadi pelanggaran adat yang berkonsekwensi pada sanksi adat berupa pembayaran denda adat "sompo" yang terdiri   dari :
1) Sambaa Bengga ( seekor kerbau)
2) Limantonga Pingga (lima buah
piring)
Denda adat dibayarkan pada perbendaharaan negeri atau ketua preadilan adat disertai sanksi adat "Nopanaa".

4. SALAMBIVI
Pelanggaran adat "Novaya Salambivi" terjadi karena seseorang secara sengaja menyampaikan dan mengeluarkan ucapan tidak senonoh atau tidak wajar sehingga menimbulkan keonaran, kegusaran bahkan kemàrahan orang lain karena tersinggung kehormatannya, terhina dan merasa diejek sehingga ada sikap keberatan. Kata-kata yang diucapkan dapat menyinggung harga diri, aib, bergurau di depan umum melebihi batas kewajaran, mempermalukan dengan memaki atau mengeluarkan kata-kata yang tidak sopan serta menyebarkan berita bohong yang dapat mencermakan nama baik seseorang.
Konsekwensi atas sanksi adat berupa pembayaran denda adat "sompo" yang terdiri dari :
1) sampomava Tovau Besi ( seekor
kambing jantan)
2) Limantonga Pingga (lima buah
piring)
Denda adat dibayarkan pada perbendaharaan negeri atau ketua preadilan adat disertai sanksi adat "Nopanaa".

5. SALABALAKI
Pelanggaran adat "Novaya Salabalaki" merupakan perbuatan seseorang secara sengaja melampaui batas kesopanan sehingga menyinggung kehormatan dan dianggap bertentangan dengan kebiasaan baik yang berlaku misalnya dengan sengaja "Netatopo atau Netadilo Mombine Nandiu" (mengintip perempuan mandi), Nanteke Ntengiri ( batuk kecil sambil ketawa mengejek), Netevelusi (meludah jijik ketika seseorang lewat).
Konsekwensi atas sanksi adat berupa pembayaran denda adat "sompo" yang terdiri dari :
1) Sabala Gandisi ( empat yard kain
putih)
2) Taluntonga Pingga (lima buah
piring)
Denda adat dibayarkan pada perbendaharaan negeri atau ketua preadilan adat disertai sanksi adat "Nopanaa".
Ketentuan tentang hukum adat pada masyarakat kaili sesungguhnya bertujuan pada keamanan dan ketentraman hidup agar terbentuk sikap saling menghargai dan menghormati.


Boyaoge, 9 september 2019
Pemerhati Budaya Kaili
N I S B A H

Seri (6) Penguatan Budaya Kaili VATI Stratifikasi Sosial Masyarakat Kaili.

Seri (6) Penguatan Budaya Kaili

"VATI"
Stratifikasi Sosial Masyarakat Kaili.

       Stratifikasi sosial atau pelapisan sosial adalah tempat atau kedudukan dalam hirarki tatanan masyarakat (Manheim, 1996). Stratifikasi atau pelapisan sosial menunjukkan adanya perbedaan kedudukan atau status individu dalam masyarakat yang didasarkan pada kelas-kelas sosial yang bertingkat dengan wujud lapisan tinggi, sedang, dan rendah.
Stratifikasi sosial pada masyarakat Kaili didasarkan pada kriteria yang ditentukan oleh keturunan, keaslian, dan kekuasaan adat yang dimiliki. Secara umum zaman dahulu hingga kini pada masyarakat Kaili ditemukan empat tingkatan stratifikasi/pelapisan sosial yaitu :
1. Magau (Raja)
2. Maradika (madika) atau to
tua nungata (Bangsawan).
3. Rakyat kebanyakan (to dea)
4. Budak (batua)
        Status dan kedudukan seseorang pada masyarakat Kaili disebut dengan Vati. Vati terkait dengan tingkatan adat yang melekat dan dimiliki seseorang dan diyakini dapat mempengaruhi pembentukan watak dan perilaku yang ditampilkan berdasarkan norma-norma yang berlaku. Setiap orang diharuskan untuk memelihara Vati yang dimiliki agar terhindar dari perilaku menyimpang, karena jika terjadi penyimpangan perilaku yang disebut dengan Nasalavati, maka dapat terjadi malapetaka. Tingkatan Vati yang melekat pada lapisan sosial terbagi atas :
1.Vati Nu Madika (berlaku bagi golongan Magau dan keturunannya)
2.Vati Nu Oge (berlaku pada golongan Madika dan To Tua Nungata keluarganya)
3.Vati Nto Dea (berlaku bagi To Dea).

           Magau (Raja) berdasarkan keturunannya diyakini adalah turunan dari to manuru. To Manuru yang berarti perempuan yang menjelma secara tiba-tiba. Masyarakat Kaili mempercayai bahwa raja secara turun temurun merupakan keturunan langsung dari dewa. Bangsawan adalah kelompok masyarakat penduduk asli yang mempunyai kedudukan sosial lebih tinggi dari rakyat kebanyakan dan berdasarkan silsilahnya masih keturunan Magau (Raja) atau bahkan memiliki ikatan/hubungan kekerabatan dengan Magau (raja).
Rakyat kebanyakan adalah golongan penduduk biasa yang tidak mempunyai pertalian darah dengan kelompok bangsawan atau bukan keturunan raja. Saat ini golongan pendatang yang bukan suku Kaili dikategorikan dalam lapisan masyarakat kebanyakan. Adapun budak merupakan kelompok masyarakat masyarakat lapisan bawah, mereka merupakan kelompok masyarakat yang berfungsi melayani kebutuhan dan keperluan hidup sehari-hari golongan bangsawan atau raja. Saat ini kelompok masyarakat budak tidak tampak secara nyata dalam kehidupan masyarakat namun masih diakui bahwa lapisan masyarakat budak ini pernah ada.
            Pelapian sosial menciptakan perlakuan berbeda bagi setiap anggota masyarakat. Bagi golongan madika atau keturunannya akan memiliki kekhususan tersendiri yang berbeda dari lapisan masyarakat bawah. Madika atau Maradika adalah gelar atau sebutan bagi golongan yang memegang kekuasaan adat atau memiliki keturnan darah biru dan masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Magau. Bagi Madika yang tidak memiliki kekuasaan adat atau hanya merupakan keturunan darah biru disebut dengan Madika Kadi, sementara bagi Madika yang memiliki kekuasaan di sebut dengan Madika Mbaso. Pemberian nama seseorang yang berada pada golongan Madika juga berbeda golongan biasa. Umumnya nama-nama keturunan Madika menggunakan gelar khusus di awal namanya seperti “Andi”, “Dae”, dan “Intje”, sementara panggilan terhadap mereka sering disebut “Pua".

             Atribut yang dipergunakan pada lapisan Madika berupa rumah yang bentuknya lebih besar yaitu Sou Raja bagi Magau, Kataba dan Palava bagi golongan Madika dan To Dea. Jenis pakaian bagi Magau dan To Dea juga dibedakan dari ragam perhiasan corak dan warna pakaian yang dikenakan . Penggunaan simbol dengan instrumen ulo-ulo dalam upacara kelahiran, perkawinan, dan kematian menunjukkan bahwa atribut,dan simbol pada golongan madika tidak sama dengan masyarakat biasa.
Rangkaian upacara kelahiran yang dilalui ketika menjelang proses kelahiran dimulai dengan upacara Nolengga yang dilakukan ketika kandungan genap berusia tujuh bulan kemudian setelah lahir dilakukan upacara Nokeso/Noloso dan Nosombebulua. Rangkaian upacara ini lazim dilaksanakan pada golongan Madika. Pada upacara perkawinan terdapat perbedaan antara golongan keturunan Magau dan Madika dengan rakyat biasa. Pakaian yang dikenakan adalah pakaian adat dengan corak dan kualitas kain yang baik. Biasanya pengantin pada lapisan ini akan menggunakan pakaian dan asesoris adat yang telah disimpan lama secara turun temurun yang terbuat dari emas murni.
           Pada masa pra Islam terdapat upacara pengobatan atau penyembuhan orang yang sakit dimana ada perbedaan antara upacara yang di berlakukan bagi Magau yang disebut Balia Maloso, sementara bagi masyarakat biasa berlaku Balia Bone Biasa. Perbedaan antara upcara kedua golongan ini ditandai pada kualitas dan kuantitas atribut yang digunakan.
Pada upacara kematian, perbedaan dengan golongan masyarakat biasa dengan golongan Madika (bangsawan) atau turunan Magau (raja) tampak pada peti jenazah yang di usung dalam keranda yang dihiasi dengan kain warna-warni (Tabere) dan ditandu dengan bambu kuning. Selain itu pada golongan ini prosesi pelaksanaan upacara kematian yang dilalui sangat banyak. Atribut golongan bangsawan (Madika) cirinya relatif sama dengan golongan Magau namun tidak boleh melampaui milik Magau, baik kualitas, jumlah, isi serta makna yang berbeda.
           Perkawinan pada golongan keturunan Magau dan Madika disebut dengan adat Nosibolai/Nibolai sementara bagi golongan Ntodea atau rakyat biasa disebut dengan Nosiduta. Upacara perkawinan pada masyarakat Kaili ditentukan pada nilai mahar adat yang disebut Sunda. Adapun penentuan nilai mahar adat didasarkan pada status dan kedudukan sosial atau Anggu Nu Vati (Abdullah, 1975).
           Nilai mahar baik kualitas, kauntitas dan jenisnya harus sesuai dengan status dan kedudukan serta keturunan seorang perempuan dalam lapisan tertentu. Dalam masyarakat ini dikenal ketentuan nilai mahar berdasarkan aturan adat yang berlaku yaitu :

1. Bagi raja dan keturunannya (Vati Nu Madika) berlaku adat pitumpole yang terdiri dari : tujuh ekor kerbau, tujuah buah emas berbentuk kepiting, tujuh lembar kain mbesa , tujuh buah dulang berkaki, tujuah buah piring adat, tujuh buah mangkuk sayur berwana putih, dan tujuh piring bermotif daun. 2. Bagi golongan bangsawan (Vati Nu Oge) berlaku adat Patampole atau Limampole yang terdiri dari : lima ekor kerbau, lima buah emas berbentuk kepiting, lima kain mbesa, liba buah dulang berkaki, dan lima buah piring besar.
3. Bagi golongan masyarakat biasa ( Vati Nto Dea) berlaku adat Sanjasio yang terdiri dari : satu ekor kerbau (tidak wajib), Sembilan kain mbesa, Sembilan buah piring besar, Sembilan mangkok sayur putih dan Sembilan dulang dapat ditambah dengan sebidang tanah dan kebun kelapa.
4. Bagi golongan budak (Vati Nu Batua) tidak diatur berdasarkan ketentuan adat.

Ketentuan mahar tersebut merupakan syarat yang wajib disertakan untuk melengkapi Sambulugana (kepala mahar adat). Sambulugana ini merupakan syarat pertama yang harus disiapkan ketika terjadi peminangan pada semua tingkatan masyarakat baik raja dan keturunannya, bangsawan maupun golongan biasa. Adapun Sambulugana terdiri dari :
1. Sebuah tempat sirih (Sambulu) dari emas lengkap dengan isinya berupa sirih, pinang, gambir, kapur sirih, tembakau, yang setiap jumlahnya disesuaikan dengan tingkatan strata sosialnya. 2. Seekor domba atau kambing sebagai kepala (Balengga nu sambulugana).
3. Sebentuk cincin emas sebagai inti (Unto Nu Sambulugana).
4. Seperangkat pakaian perempuan lengkap dengan perhiasannya.
5. Buah-buahan yang jenisnya disesuaikan dengan tingkatan stratanya.
           Kemungkinan terjadinya perkawinan dari golongan berbeda dapat saja terjadi dimana turunan magau atau golongan madika kawin dengan golongan To Dea. Melakukan perkawinan dengan turunan magau atau golongan madika menjadi satu kebanggaan karena derajat dan status sosial akan naik dan berada pada lapisan atas. Meskipun mereka yang telah terikat oleh hubungan darah karena terjadinya perkawinan antar lapisan, namun tetap ada pembedaan dalam pergaulan sehari-hari pada zaman dulu.
       Hubungan antar lapisan pada masyarakat Kaili terbangun melalui hubungan kekerabatan, hubungan bertetangga, hubungan pekerjaan, dan hubungan kemasyarakatan. Hubungan kekerabatan dapat terjalin erat melalui pertalian darah dan perkawinan. Hubungan ini menegaskan adanya hubungan kuat yang terikat oleh perkawinan dapat menjadi ikatan keluarga yang satu. Tolong menolong dengan prinsip sintuvu posara menunjukkan adanya hubungan yang erat. Hubungan dalam bertetangga terjalin sangat akrab terutama jika berasal dari lapisan status sosial misalnya antara golongan sesama Madika yang sama namun hal ini tidak mengganggu hubungan yang terjalin dengan masyarakat biasa, karena lapisan sosial ini biasanya yang paling sering memberikan pertolongan jika ada pekerjaan yang diselesaikan.
         Hubungan pekerjaan yang terjalin antar lapisan sosial berbeda pada masa pemerintahan kerajaan masih berlaku memperlihatkan hubungan yang berbeda. Hal ini terjadi karena lapisan masyarakat budak menjadi pekerja yang mengurus seluruh sawah, ladang dan peternakan milik Magau atau Madika. Golongan masyarakat biasa kadangkala juga memberikan bantuan kepada Magau atau Madika jika pelaksanaan upacara daur hidup dilaksanakan. Hal ini dilakukan sebagai simbol pengabdian dan rasa tolong menolong yang mendasari hubungan tersebut.
          Pada masyarakat kebanyakan (To dea) juga terdapat pelapisan sosial samar yaitu kedudukan dan status sosial yang dimiliki seseorang atau sekelompok orang didasarkan pada keahlian dan keberanian yang dimiliki. Pada masyarakat Kaili keberadaan Sando atau Pagane (dukun atau ahli mantera) memiliki status sosial tersendiri dalam masyarakat. Dengan keahliannya yang dapat mengobati penyakit dan juga menentukan hari baik dan buruk untuk melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari. Sando atau Pagane dapat menentukan dimana dan saat mana sebaiknya membangun rumah, dan menempatinya. Demikian pula kapan saatnya untuk memulai masa tanam dan masa panen. Peranan Sando atau Pagane pada masa lalu sangat menonjol dan diakui masyarakat karena dapat menuntun kelompok masyarakat melakukan aktivitasnya.
         Demikian pula halnya dengan seseorang yang diberi julukan Tadulako akan memiliki status sosial tersendiri dalam masyarakat. Hal ini terjadi karena seseorang yang memiliki julukan Tadulako dianggap memiliki keberanian dan kesaktian, ilmu kebal, dan pengetahuan akan ilmu bela diri serta keterampilan menggunakan alat perang. Mereka dihargai dan dihormati oleh masyarakat dan terkadang mereka diangkat sebagai pemimpin komunitas atau kelompok secara tidak resmi.
            Gambaran mengenai stratifikasi sosial berdasarkan faktor keturunan dalam upacara siklus hidup, saat ini tidak lagi dominan dalam kehidupan masyarakat Kaili khususnya pada masyarakat biasa meskipun pada klan-klan yang notabene adalah keturunan raja (madika) atau golongan bangsawan prosesi dengan simbol-simbol ini masih dapat ditemui dengan jelas.
           Seiring terjadinya perubahan dalam kehidupan sosial yang ditandai dengan makin heterogennya kehidupan masyarakat, maka pelapisan sosial tidak lagi semata-mata didasarkan pada faktor keturunan, keaslian maupun kekuasaan yang dimiliki seseorang tetapi juga dengan memperhatikan jabatan kepangkatan dalam pemerintahan, tingkat pendidikan baik formal dan non formal seperti intelektual, ulama, tokoh-tokoh adat maupun profesi lainnya dalam bidang pengetahuan. Namun jika seseorang yang memiliki kelebihan-kelebihan tersebut berasal golongan bangsawan dan masih keturunan raja maka kedudukan dan status sosialnya akan semakin tinggi.


Boyaoge, 6 september 2019
Pemerhati Budaya Kaili
NISBAH