Politik Ijon, Jerat atas Radikalisasi Korupsi yang tak Berakhir
Rumitnya penerapan sistim Pemilu serentak 2019 yang sementara berlangsung saat ini dan akan mencapai momentumnya pada saat pemungutan suara tanggal 17 April telah menampilkan fakta terpecahnya fokus dan konsentrasi masyarakat khusunya pemilih dalam menentukan pilihan terhadap para caleg yang akan dipilih, dalam kontestasi yang di gelar pada pemilu serentak 2019.
Sebagai "keserentakan" baru dan pertama dipraktekkan, tentunya banyak varian-varian yang akan muncul dan mempengaruhi pilihan masyarakat dalam menentukkan tingkat keterpilihan para caleg.
Praktek korupsi misalnya, dapat menjadi sebuah tindakan terselubung yang dengan mudah dapat terjadi secara tertutup. Praktek korupsi akan sangat kental mewarnai proses pemilihan legislatif yang dilaksanakan karena kontrol atas mekanisme kontestasi berjalan secara mekanistik tanpa deteksi dini yang ketat dimana perhatian masyarakat akan lebih fokus ke Pemilihan Presiden.
Secara tehnikal, mekanisme sistem pemilu legislatif yang rumit tentunya belum teriternalisasi secara baik kepada para caleg dan apalagi kepada masyarakat. Resiko yang harus diterima para caleg atas konsekwensi pelanggaran belum dipahami sebagai tindakan serius karena kemampuan berkelit akan lebih terkonsolidasi. Kemampuan caleg yang telah terlibat dalam siklus pemilu dan seringngkali keluar sebagai pemenang kontestasi menjadi pengalaman tersendiri bahkan orientasi para caleg yang bersifat Pragmatis terkesan menggampangkan raihan kemenangan dan tidak akan segan mencari celah untuk melakukan transaksi politik melalui praktek politik uang.
Politik uang (money politics) akan menjadi pilihan pragmatis yang paling realistis bagi masyarakat ketika mereka merasa bahwa para caleg tidak memiliki strategi yang mumpuni dalam memetakan kebutuhan mereka dan pilihan pragmatis ini menjadi kian empuk bagi para caleg dalam memenangkan keterpilihannya.
Frederic Schaffer (2007) mengatakan bahwa politik uang merupakan fenomena general dalam praktik pemilihan umum yang kompetitif. Politik uang akan menjadi pilihan strategis para caleg untuk mengarahakan pilihan politik pemilih terhadap figur yang ada.
Dalam situasi pemilih di perhadapkan dengan berbagai masalah sosial, resistensi untuk terjebak dalam politik uang dengan menggunakan cara "ijon" menjadi sangat mungkin dilakukan. Praktek politik uang dengan cara "ijon" terjadi secara tertutup dan sangat sulit terdeteksi apalagi secara formal mekanisme kontrol akan sulit memotret secara sistematis perilaku ini. Ketika terjadi transaksi politik yang mengatasnamakan "bantuan modal", "bantuan kemanusiaan"atau "investasi sosial" yang dalam proses pelaksanaannya tidak terbuka, pastilah akan terjadi kesulitan dalam kontrol terhadap kegiatan tersebut terutama jika transaksi antar pemilih dan caleg terjadi secara diam-diam. Operasi senyap yang biasanya menandai transaksi politik uang adalah fenomena yang sulit terpantau secara jeli dalam pelaksanaan rangkaian pemilu, terutama jika transaksi politik uang berlabel bantuan dan bergaransi imbalan yang harus diaktualisasi dalam wujud "perilaku terima kasih".
Politik ijon bukanlah fenomena baru, wajahnya selalu muncul dengan modus lama dan terkadang tampil dengan pola baru. Politik "ijon" dalam prakteknya lebih dahsyat dari sekedar poltik uang yang dilakukan secara dadakan (serangan fajar)i saat mendekati masa pemungutan suara, karena politikn "ijon" dillakukan dalam ikatan rangkaian siklus pemilu dengan masa waktu yang berjarak relatif lama dalam masa pra dan proses pemilu dilaksanakan. Pemilih dipaksa untuk memilih caleg secara tetap tanpa perlu membandingkan dengan caleg lain yang mungkin lebih berkualitas. Politik "ijon" mungkin sqja juga disertai "trik khusus" yang dilakukan secara rapi untuk memenangkan kontestasi.
Fenomena politik "ijon" dalam realitanya adalah praktek yang kasat mata namun "untouchable". Secara substansial bahaya politik "ijon" dapat menjadi jerat atas radikalisasi korupsi karena memberi andil atas terbentuknya tingkat kesadaran politik masyarakat yang rendah dan semu. Pendidikan politik idealnya sudah harus diarahkan pada pembentukan kualitas demokrasi yang dibarengi penguatan tingkat kesadaran masyarakat agar lebih baik, tentunya dengan meminimalisir tindakan pengkerdilan kesadaran masyarakat. Anasir-anasir jahat yang mendistorsi masyarakat dalam ketidak mengertian hendaknya mulai di hilangkan, sebab bukankah, kesadaran merupakan refleksi perilaku yang dipengaruhi oleh kekuatan pola pikir dalam memandang atau mendefenisikan situasi sosial politik.
Rumitnya penerapan sistim Pemilu serentak 2019 yang sementara berlangsung saat ini dan akan mencapai momentumnya pada saat pemungutan suara tanggal 17 April telah menampilkan fakta terpecahnya fokus dan konsentrasi masyarakat khusunya pemilih dalam menentukan pilihan terhadap para caleg yang akan dipilih, dalam kontestasi yang di gelar pada pemilu serentak 2019.
Sebagai "keserentakan" baru dan pertama dipraktekkan, tentunya banyak varian-varian yang akan muncul dan mempengaruhi pilihan masyarakat dalam menentukkan tingkat keterpilihan para caleg.
Praktek korupsi misalnya, dapat menjadi sebuah tindakan terselubung yang dengan mudah dapat terjadi secara tertutup. Praktek korupsi akan sangat kental mewarnai proses pemilihan legislatif yang dilaksanakan karena kontrol atas mekanisme kontestasi berjalan secara mekanistik tanpa deteksi dini yang ketat dimana perhatian masyarakat akan lebih fokus ke Pemilihan Presiden.
Secara tehnikal, mekanisme sistem pemilu legislatif yang rumit tentunya belum teriternalisasi secara baik kepada para caleg dan apalagi kepada masyarakat. Resiko yang harus diterima para caleg atas konsekwensi pelanggaran belum dipahami sebagai tindakan serius karena kemampuan berkelit akan lebih terkonsolidasi. Kemampuan caleg yang telah terlibat dalam siklus pemilu dan seringngkali keluar sebagai pemenang kontestasi menjadi pengalaman tersendiri bahkan orientasi para caleg yang bersifat Pragmatis terkesan menggampangkan raihan kemenangan dan tidak akan segan mencari celah untuk melakukan transaksi politik melalui praktek politik uang.
Politik uang (money politics) akan menjadi pilihan pragmatis yang paling realistis bagi masyarakat ketika mereka merasa bahwa para caleg tidak memiliki strategi yang mumpuni dalam memetakan kebutuhan mereka dan pilihan pragmatis ini menjadi kian empuk bagi para caleg dalam memenangkan keterpilihannya.
Frederic Schaffer (2007) mengatakan bahwa politik uang merupakan fenomena general dalam praktik pemilihan umum yang kompetitif. Politik uang akan menjadi pilihan strategis para caleg untuk mengarahakan pilihan politik pemilih terhadap figur yang ada.
Dalam situasi pemilih di perhadapkan dengan berbagai masalah sosial, resistensi untuk terjebak dalam politik uang dengan menggunakan cara "ijon" menjadi sangat mungkin dilakukan. Praktek politik uang dengan cara "ijon" terjadi secara tertutup dan sangat sulit terdeteksi apalagi secara formal mekanisme kontrol akan sulit memotret secara sistematis perilaku ini. Ketika terjadi transaksi politik yang mengatasnamakan "bantuan modal", "bantuan kemanusiaan"atau "investasi sosial" yang dalam proses pelaksanaannya tidak terbuka, pastilah akan terjadi kesulitan dalam kontrol terhadap kegiatan tersebut terutama jika transaksi antar pemilih dan caleg terjadi secara diam-diam. Operasi senyap yang biasanya menandai transaksi politik uang adalah fenomena yang sulit terpantau secara jeli dalam pelaksanaan rangkaian pemilu, terutama jika transaksi politik uang berlabel bantuan dan bergaransi imbalan yang harus diaktualisasi dalam wujud "perilaku terima kasih".
Politik ijon bukanlah fenomena baru, wajahnya selalu muncul dengan modus lama dan terkadang tampil dengan pola baru. Politik "ijon" dalam prakteknya lebih dahsyat dari sekedar poltik uang yang dilakukan secara dadakan (serangan fajar)i saat mendekati masa pemungutan suara, karena politikn "ijon" dillakukan dalam ikatan rangkaian siklus pemilu dengan masa waktu yang berjarak relatif lama dalam masa pra dan proses pemilu dilaksanakan. Pemilih dipaksa untuk memilih caleg secara tetap tanpa perlu membandingkan dengan caleg lain yang mungkin lebih berkualitas. Politik "ijon" mungkin sqja juga disertai "trik khusus" yang dilakukan secara rapi untuk memenangkan kontestasi.
Fenomena politik "ijon" dalam realitanya adalah praktek yang kasat mata namun "untouchable". Secara substansial bahaya politik "ijon" dapat menjadi jerat atas radikalisasi korupsi karena memberi andil atas terbentuknya tingkat kesadaran politik masyarakat yang rendah dan semu. Pendidikan politik idealnya sudah harus diarahkan pada pembentukan kualitas demokrasi yang dibarengi penguatan tingkat kesadaran masyarakat agar lebih baik, tentunya dengan meminimalisir tindakan pengkerdilan kesadaran masyarakat. Anasir-anasir jahat yang mendistorsi masyarakat dalam ketidak mengertian hendaknya mulai di hilangkan, sebab bukankah, kesadaran merupakan refleksi perilaku yang dipengaruhi oleh kekuatan pola pikir dalam memandang atau mendefenisikan situasi sosial politik.
Medio 28 Januari 2019
Nisbah
Pemerhati Pemilu.
Nisbah
Pemerhati Pemilu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar