Seri (11) Revitalisasi Budaya Kaili
"SUNDA"
"Sunda" berarti "mahar" pada masyarkat Kaili. "Sunda" adalah "sejumlah harta" yang diberikan oleh pihak keluarga calon mempelai laki-laki kepada pihak keluarga calon mempelai perempuan ketika akan dilangsungkan prosesi perkawinan. Nilai harta yang diberikan didasarkan pada status sosial yang dimiliki keluarga penerima.
Mahar atau mas kawin secara sosio-antropologis seringkali dijelaskan sebagai bentuk lain dari transaksi jual beli atas terjadinya perkawinan dan merupakan kompensasi atas kerugian yang diderita pihak keluarga perempuan atau sebaliknya pihak keluarga laki-laki karena kehilangan beberapa faktor pendukung dalam keluarga seperti kehilangan tenaga kerja, dan berkurangnya tingkat fertilitas dalam kelompok yang selanjutnya harus diganti dalam bentuk imbalan properti berdasarkan prinsip matrilineal dan patrilineal.
Mahar juga terkadang diartikan sebagai pengganti atas biaya atas kompensasi terhadap proses pengajaran ilmu ataupun kesaktian dari seorang guru kepada orang lain pada kelompok masyarakat yang meyakini bahwa ilmu yang diajarkan memberi manfaat bagi kelompok masyarakat tersebut.
Pada masyarakat kaili yang menganut prinsip bilineal, pemberian mahar berupa "sunda" diatur berdasarkan status sosial keluarga perempuan dimana nilai "sunda" ditentukan berdasarkan "anggu nu vati" yaitu status sosial perempuan dalam masyarakat.
Menilik ketentuan nilai "sunda" pada masarakat kaili berdasarkan hirarki status sosial memiliki penggolongan dan jenis berbeda. Meskipun "sunda" sudah mengalami pergeseran nilai, tapi acuan penetapannya lazim mengacu pada penggolongan yang terbagi atas:
1. Golongan raja dan keturunannya (Vati Nu Madika) berlaku adat "Pitumpole" yang terdiri dari tujuh ekor kerbau, tujuh buah emas berbentuk kepiting, tujuh lembar kain mbesa , tujuh buah dulang berkaki, tujuh buah piring adat, tujuh buah mangkuk sayur berwana putih, dan tujuh piring bermotif daun.
2. Golongan bangsawan (Vati Nu Oge) berlaku adat "Patampole atau Limampole" yang terdiri dari lima ekor kerbau, lima buah emas berbentuk kepiting, lima kain mbesa, lima buah dulang berkaki, dan lima buah piring besar.
3. Golongan masyarakat biasa ( Vati Nto Dea) berlaku adat "Sanjasio" yang terdiri dari satu ekor kerbau (tidak wajib), Sembilan kain mbesa, Sembilan buah piring besar, Sembilan mangkok sayur putih dan Sembilan dulang dapat ditambah dengan sebidang tanah dan kebun kelapa.
Syarat ketentuan harus disertai "mbesa" berupa kain tradisional karena diyakini kain ini memiliki nilai tinggi sebagai penanda status sosial.
Pada masyarakat hukum adat kulawi, "sunda" atau mahar bahkan merupakan hak properti keluarga besar yang bersifat matrilinieal ( harta menjadi warisan ibu atau perempuan secara turun temurun) yang harus dibayarkan jika sudah diikrarkan dalam kesepakatan keluarga ketika terjadi perkawinan, jika tidak disanggupi untuk di bayar tunai maka menjadi hutang yang harus dibayarkan oleh keluarga mempelai laki-laki dikemudian hari.
Pada masyarakat Kaili, "Sunda" sebagai Hak properti keluarga besar yang bersifat matrilineal. "Sunda" memberi makna terhadap posisi dan kedudukan perempuan dalam standar nilai derajat sosial keluarga besar dan klan-klan tertentu.
"Sunda" sebagai pengikat hubungan sosial karena telah menjadi penentu fase jalinan hubungan sosial dalam ikatan antar keluarga.
"Sunda" menjadi sebuah pengesahan atas sebuah hubungan yang bermakna pada penghormatan nilai kemanusiaan .
"Sunda" menjadi penegasan bahwa ikatan relasi sosial pada kelompok masyarakat terbentuk tidak hanya berdasar karena adanya kebutuhan antar individu dalam pertukaran perilaku, tapi secara esensi "Sunda" bahkan memberi garansi bahwa relasi sosial memiliki kekuatan makna yang mengikat terhadap kesatuan sosial agar fungsi-fungsi sosial terpelihara.
Terminologi "sunda" dalam konteks ini tentunya jauh melampaui sekedar istilah "mahar" yang akhir-akhir ini secara ambigu sering digunakan dalam kontestasi politik.
Boyaoge, 9 Pebruari 2020,
N I S B A H
Pemerhati Budaya Kaili
Tidak ada komentar:
Posting Komentar