Minggu, 12 Januari 2020

Seri (5) Penguatan Budaya KailiHukum Adat Kaili Adat Kaili

Seri (5) Penguatan Budaya Kaili

Hukum Adat Kaili

       Hukum adat adalah norma-norma yang hidup yang disertai dengan sanksi dan jika perlu dapat dipaksakan oleh masyarakat atau badan-badan yang bersangkutan, agar ditaati dan dihormati oleh para warga masyarakat (Holleman).
       Pada masyarakat Kaili, penerapan hukum adat berkonsekwensi atas adanya sanksi adat yang diberikan kepada "terhukum"karena adanya pelanggaran norma atas nilai hidup masyarakat, sanksi adat dimaksudkan untuk membuat terhukum memiliki rasa bersalah sehingga dapat bertobat dan merubah perilakunya (Nivatiaka). Sanksi adat berupa "Givu" adalah denda adat berkatwhiei berat dan "Sompo" denda adat berkategori ringan. Pemberian sanksi adat bermakna sebagai "hukuman setimpal" dalam bentuknya dapat berupa "hukuman mati", pengasingan dari masyarakat, tebusan nyawa berwujud kematian yang terjadi melalui proses menukar nyawa manusia (terhukum) dengan mengorbankan kerbau dan kambing dimana tetes darah dua jenis binatang ini diyakini memiliki nilai yang dapat mengembalikan kehormatan atau harga diri seseorang ataupun mengembalikan harkat, martabat dan wibawa "kesatuan komunitas atau suku dalam kehidupan masyarakat. Pemberian sanksi adat lazim disertai dengan "NOPANAA" yaitu komitmen untuk melaksanakan perjanjian terakhir jika denda adat tidak dilaksanakan.
Pada masyarakat Kaili di kenal beberapa jenis hukuman adat yaitu :

1. NAKAPALI,
Dalam hukum adat, hal-hal yang terlarang disebut dengan "NAKAPALI" baik berupa kejahatan atau pelanggaran terkecuali kekhilafan. NAKAPALI berasal dari kata "Naka" berarti "nakajadi" (menjadi) dan "Rapali" berarti proses pengasingan atau diasingkan jadi Nakapali berarti seseorang (terhukum) yang diasingkan atau disingkirkan. Bahkan jika pelanggaran menjadi sangat berat hukuman pantangan yang di berikan dalam bentuk "pengasingan" yang bersifat seumur hidup yang bertujuan agar "terhukum" merasakan "tidak memiliki arti hidup lagi"
Kesalahan atau tindakan yang berkonsekwensi hukum dalam Nakapali biasanya pelanggaran norma yang dipicu oleh perilaku amoral yg disebut "Nasala Vati" (disorientasi perilaku karena kesalahan pendidikan keluarga).

2. SALAKANA,
Adalah Pelanggaran norma masyarakat yang berkategori "vaya mbaso" (malu besar) dalam bentuk tindak perzinahan (baik atas dasar suka sama suka maupun tidak) hubungan non marital atau incest taboo. Pada mayarakat kaili "vaya mbaso" dikategorikan sebagai perbuatan jahat yang dapat merendahkan derajat manusia pada tingkatan serendah-rendahnya dan bahkan dapat merusak dan menghancurkan hubungan kesatun komunitas serta dapat menimbulkan malapetaka bagi kehidupan sehingga sanksi yang diberikan harus berbentuk "givu mbaso" berupa hukuman mati " atau "paka putu tambolo" dan "ralabu" atau "nilabu" yang berarti dibuang kelaut. Malapetaka diyakini tidak akan terjadi jika terhukum dipisahkan secara fisik dengan ruang tempat tinggalnya. Pemberian sanksi "givu mbaso" dianggap dapat memberi efek jera dan memberi ketentraman hidup masyarakat.
Pelaksanaan sanksi hukum dalam Salakana adalah hukuman mati berjangka dimana berlaku ketentuan dapat mengganti nilai givu mbaso dengan sejumlah harta (subsider), disertai sanksi adat "Nopanaa" dengan kewajiban membayar givu oleh perempuan berupa :
1). Santina bengga besi sambei
ntambolo (seekor kerbau betina
pengganti leher)
2) Sanggayu Gandisi Raposompu
( satu kayu kain putih untuk
kafan
3) Samata Guma Posambale
( sebilah kelewang penyembelih)
4) Santonga Dula Potande Balengga
(sebuah dulang untuk tempat
kepala)
5) Santonga Tubu Putih Posonggo
Raa ( sebuah mangkok basi putih
untuk tempat darah
6) Doi sudaka (uang sedekah)

Sementara bagi laki-laki membayar givu berupa :
1) Sampomawa Bengga sambei
Tambolo (seekor kerbau jantan
pengganti leher)
2) Santonga Dula Potande Balengga
(sebuah dulang untuk tempat
kepala)
3) Santonga Tubu Putih Posonggo
Raa ( sebuah mangkok basi putih
untuk tempat darah
4) Doi sudaka (uang sedekah)
            Apabila denda adat tidak dibayar pada waktunya sesuai ketentuan peradilan adat maka keselamatan jiwa terhukum tetap terancam dimana peradilan adat tidak dapat menjamin jika terjadi tindak balas dendam.namun jika seluruh sanksi adat telah dilaksanakan dengan membayar denda maka ketua peradilan adat dapat mendamaikan pihak-pihak yang terkait dengan pelanggaran adat.
Pelanggaran adat ringan "Mosompo" pada salakana juga dimungkinkan dilakukan jika pelanggaran adat di lakukan dengan sengaja terhadap perempuan sementara perempuan tidak menghendakinya. "Novaya Nebaga Mombine" yaitu
        Penyerangan secara kasar dengan maksud melecehkan atau merendahkan derajat perempuan yang dilakukan dirumah atau dijalanan, Novaya Nosimpalaisaka ( kawin lari), Novaya Neduku ( perempuan dengan sengaja mendatangi rumah laki-laki untuk minta dikawini) adalah pelanggaran adat yang di kenai sanksi "Mosompo/Nisompo".
Pada pelanggaran adat salakana ringan yang berkonsekwensi pada "Mosompo" dengan kejahatan berupa "salakana-novaya nobaga mombine" sanksi adat yang dikenakan berupa :
1) Ruamba Tovau ( dua ekor
kambing)
2) Samata guma ( sebilah kelewang)
3) Sapulu Ntonga Pingga( sepuluh
buah piring)

3. SALABABA atau SALAMPALE
Pelanggaran adat karena perbuatan yang bertentangan dengan kesopanan dan kehormatan orang lain karena didasari rasa jahil dan nakal seta bermaksud menggoda dengan sengaja terutama jika dilakukan terhadap perempuan.
"Salababa" merupakan pelanggaran adat yang bermakna adanya gangguan pada perempuan "Nompejomu" yaitu kebiasaan perempuan menggunakan "Buya Salele" atau "buya pobaba" berupa kain sarung yang digunakan menutup atau membungkus badan perempuan ketika keluar rumah, jika sarung di sentuh oleh laki-laki telah terjadi pelanggaran adat yang berkonsekwensi pada sanksi adat berupa pembayaran denda adat "sompo" yang terdiri   dari :
1) Sambaa Bengga ( seekor kerbau)
2) Limantonga Pingga (lima buah
piring)
Denda adat dibayarkan pada perbendaharaan negeri atau ketua preadilan adat disertai sanksi adat "Nopanaa".

4. SALAMBIVI
Pelanggaran adat "Novaya Salambivi" terjadi karena seseorang secara sengaja menyampaikan dan mengeluarkan ucapan tidak senonoh atau tidak wajar sehingga menimbulkan keonaran, kegusaran bahkan kemàrahan orang lain karena tersinggung kehormatannya, terhina dan merasa diejek sehingga ada sikap keberatan. Kata-kata yang diucapkan dapat menyinggung harga diri, aib, bergurau di depan umum melebihi batas kewajaran, mempermalukan dengan memaki atau mengeluarkan kata-kata yang tidak sopan serta menyebarkan berita bohong yang dapat mencermakan nama baik seseorang.
Konsekwensi atas sanksi adat berupa pembayaran denda adat "sompo" yang terdiri dari :
1) sampomava Tovau Besi ( seekor
kambing jantan)
2) Limantonga Pingga (lima buah
piring)
Denda adat dibayarkan pada perbendaharaan negeri atau ketua preadilan adat disertai sanksi adat "Nopanaa".

5. SALABALAKI
Pelanggaran adat "Novaya Salabalaki" merupakan perbuatan seseorang secara sengaja melampaui batas kesopanan sehingga menyinggung kehormatan dan dianggap bertentangan dengan kebiasaan baik yang berlaku misalnya dengan sengaja "Netatopo atau Netadilo Mombine Nandiu" (mengintip perempuan mandi), Nanteke Ntengiri ( batuk kecil sambil ketawa mengejek), Netevelusi (meludah jijik ketika seseorang lewat).
Konsekwensi atas sanksi adat berupa pembayaran denda adat "sompo" yang terdiri dari :
1) Sabala Gandisi ( empat yard kain
putih)
2) Taluntonga Pingga (lima buah
piring)
Denda adat dibayarkan pada perbendaharaan negeri atau ketua preadilan adat disertai sanksi adat "Nopanaa".
Ketentuan tentang hukum adat pada masyarakat kaili sesungguhnya bertujuan pada keamanan dan ketentraman hidup agar terbentuk sikap saling menghargai dan menghormati.


Boyaoge, 9 september 2019
Pemerhati Budaya Kaili
N I S B A H

Tidak ada komentar:

Posting Komentar