Seri 11 (Sebelas) Revitalisasi Budaya Kaili
Kita, Orang Palu (Kaili) dan Politik
Koentjaraningrat mengartikan klan sebagai suatu kelompok kekerabatan yang terdiri atas semua dari seseorang nenek moyang yang di perhitungkan melalui garis keturunan sejenis, yaitu keturunan marga laki-laki atau perempuan.
Pada masyarkat Kaili, Klan merupakan kelompok kekerabatan yang terbentuk dari gabungan beberapa keluarga luas yang disebut "sampesuvu" (kinship).
"Sampesuvu" melingkar dalam satuan kekerabatan yang disebut "Ntina" (kindred) sebagai satuan kekerabatan terus berkembang hingga membentuk klan dimana anggotanya diikat atau berasal dari satu nenek moyang yang sama. Klan pada masyarakat Kaili dapat ditelusuri berdasarkan garis keturunan ibu (matrilineal) maupun garis keturunan ayah (patrilineal). Untuk mengetahui klan seseorang dapat dikenali berdasarkan fam atau marga yang digunakan.
Saat ini di beberapa wilayah di Lembah Palu ditemukan beberapa kelompok masyarakat Kaili yang merupakan satuan klan dengan marga khusus dalam kesatuan "Ntina" bahkan sebagian warganya telah menyebar ke beberapa wilayah lain. Proses perkawinan antar sesama warga dalam kesatuan klan (Ntina)terjadi melalui adat "Nibolai/Nosibolai" yang menjadi sarana untuk mempererat tali persaudaraan sekaligus mengikat hubungan kekeluargaan agar semakin erat dan dekat. Hal ini sesuai dengan prinsip kekerabatan "Nillinggu mpo toboyo" yang berarti “menggulung pucuk labu yang telah menjalar jauh agar dapat kembali ke pohonnya”. Makna adagium ini adalah, jika jarak persaudaraan atau pertalian darah sudah agak jauh maka sebaiknya ditarik kembali mendekati satuan dasar kekerabatan melalui ikatan perkawinan. Dengan demikian hubungan kekerabatan semakin dekat dan erat. Pomeo lain yang ikut memperkuat prinsip kekerabatan adalah "belontona da ta no sampusuvu" yang berarti bahwa “sejahat-jahatnya bersaudara masih jauh lebih baik dari pada kebaikan orang lain”. Pomeo ini merupakan salah satu kunci kesatuan dan persatuan dalam kelompok kekerabatan masyarakat Kaili, sehingga dalam kesatuan kerabat sikap saling tolong menolong dan saling membantu (nosiala pale, notava) tetap terpelihara sebagai kekuatan dalam menyangga hubungan sosial terutama saling membantu dalam aktivitas sehari-hari dan bahkan mendukung dalam aktivitas politik.
Penanda bahwa jalinan kekerabatan pernah terbangun dibeberapa kerajaan Lembah Palu yang memperkuat hubungan kekerabatan melalui ikatan perkawinan antar "madika (bangsawan) melalui adat Nibolai/Nosibolai misalnya terjadi antara “Pue Nggari” dari kerajaan di Palu dengan “Pue Puti” dari kerajaan di Dolo, perkawinan antara “Vumbulangi” dari Kerajaan di Bangga dengan “ Mbavalemba” dari kerajaan Pakava, perkawinan antara anak raja di Tavaeli yang bernama “Ronjala” kawin dengan “Dae Mabela” dari kerajaan di Banawa, adapula anak raja Tavaeli “ Menukalui” kawin dengan “Tondinugo” dari kerajaan di Sigi, perkawinan antara anak Raja Sigi “Sairalie” yang kawin dengan “Intoviva” dari kerajaan Besoa serta perkawinan-perkawinan lainnya antara beberapa kerajaan yang ada menunjukan bahwa masyarakat Kaili di Lembah Palu terikat dalam satu rumpun kekerabatan sejak dahulu (Abdullah, 1975 : 39).
Perkawinan antar "madika" (bangsawan) menjelaskan garis genealogis beberapa klan (marga) seperti Djanggola, Parampasi, Djaelangkara, Lamakarate, Karandjalemba, Randalemba, Lamakampali, Lamarauna, Malonda, Pettalolo, Lembah, Yotolembah tetap terjaga eksistensinya hingga saat ini. Beberapa klen lainnya seperti Ponulele, Datu Palinge, Daeng Sute, Lapasere, Pakamundi, Latjambo, Tombolotutu, Sunusi juga dominan keberadaannya saat ini. Jika ditelusuri klan-klan ini memiliki asal muasal yang sama atau memiliki pertautan yang sama. Secara genealogis mereka terbentuk dari perkawinan yang terjadi diantara golongan Madika sebelumnya.
Klan-klan ini pada awalnya berasal dari satu kampung yang sama (residensi matrilokal/teritorial) yang berbentuk ngata (kampung). Bahkan penggunaan nama Fam “Lemba” pada beberapa klan disinyalir terkait dengan wilayah hunian awal(residensi teritorial,) dimana klan tersebut berasal.
Klan-klan tersebut secara terus menerus mengalami perluasan dengan terjadinya perkawinan antar madika dan turunan para "Magau" melaui adat Nibolai/Nosibolai). Pada tiap "ngata" terbentuk ikatan kekerabatan yang semakin erat diantara tiap-tiap klan sehingga jaringan hubungan kekerabatan berdasarkan genealogis semakin kuat.
Ikatan perkawinan telah menyatukan madika di lembah Palu bahkan membentuk klan-klan besar dengan status sosial tersendiri. Dalam perkawinan, klan-klan ini pada umumnya memelihara adat dengan sistem perkawinan endogamy. Seorang laki-laki dapat kawin dengan perempuan dari klennya sendiri minimal dalam derajat ke satu (sarasanggani) atau memilih perempuan di luar klen baik yang sederajat maupun yang tidak sederajat. Perkawinan endogamy dimaksudkan sebagai upaya memelihara dan menjaga kualitas dan kemurnian darah turunan dari keluarga bangsawan dalam klan yang sama. Bentuk lainnya adalah perkawinan "Positaka Taono" dan "Pongganti Ompa" bertujuan untuk mendekatkan pertalian darah dalam satuan kekerabatan disamping untuk menjaga agar "mbara-mbara nimana" (harta warisan keluarga/harta bersama) agar tidak jatuh terlalu jauh.
Dalam aktivitas politik dan aktivitas organisasi kemasyarakatan beberapa anggota Klan menguasai posisi strategis dalam proses politik. Sebut saja diantaranya Djanggola, Ponulele, Parampasi, Pettalolo, Lembah, Lamarauna, Yoto Lembah dan beberapa klan besar lainnya. Umumnya mereka berasal dari kesatuaan klan yang terkait hubungan kerabat seperti ana (anak), pinoana (kemenakan), sarasanggani (sepupu dalam derajat ke satu), sarara ruanggani (sepupu dalam derajat kedua), sarara talunggani (sepupu dalam derajat ketiga), mania (mantu), era (ipar), mangge (Paman), pinotina (Bibi) bahkan makumpu (cucu). Nama besar marga berdasarkan klan yang disandang seseorang seringkali menjadi dasar pertimbangan untuk dapat menduduki jabatan atau posisi tertentu dimasyarakat. Latar genealogis klan turut menentukan tingkat popularitas dan elektabilitas seorang anggota klan dalam aktivitas politik praktis. Sejalan dengan pendapat Koentjaraningrat bahwa salah satu dari empat fungsi klan adalah menjadi dasar dari organisasi politik.
Faktor genealogis Klan seringkali dijadikan pertimbangan untuk mendorong seorang anggota klan memasuki ruang-ruang politik, bahkan pelibatan dalam partai politik dapat terjadi karena alasan genealogis klan. Posisi sebagai anggota klan dengan latar belakang genealogis menjadi pertimbangan karena kekuatan lingkaran klan dapat menjadi penyangga bahkan menjadi barikade bagi tujuan-tujuan politik praktis.
Mendapat kedudukan dalam jabatan dan kekuasaan politik memberi penjelasan tentang karakter kekuasaan adat yang melekat pada pemimpin masyarakat Kaili ketika zaman kerajaan masih berlangsung di Lembah Palu. Para pemimpin masyarakat mendapat wewenang secara adat untuk mengelola kehidupan bersama, menjaga, memelihara kepentingan rakyat yang dipimpinnya, serta mempertahankan wilayah kekuasaan adat dari perebutan wilayah antar penguasa pada masing-masing wilayah kerajaan. Namun para pemimpin masyarakat dalam kedudukannya dipersyaratkan memiliki sifat jujur, adil, bijaksana, berpandangan jauh kedepan, amanah, berwibawa, ahli dan cakap dapat menjadi teladan serta berpengaruh dalam masyarakat.
Puncak-puncak status sosial lapis Madika (bangsawan) merupakan perkembangan lanjut perubahan sosial ketika lembaga-lembaga kekuasaan yang baru lahir menggantikan fungsi kekuasaan adat, maka dominasi kedudukan dalam sistem kekuasaan adat mengalami transformasi ke dalam puncak-puncak status sosial yang diteruskan atau diperankan oleh anggota klan dominan berdasarkan hubungan kekerabatan Madika.
Pergeseran status Kedudukan yang melekat pada Magau dan Madika ketika pemerintahan adat masih berlaku berubah menjadi status sosial bergengsi bagi anggota klan dominan yang notabene adalah keturunan Magau dan Madika dalam hubungan sosial khususnya dalam proses politik yang terjadi, perubahan status ini memperkuat terhadap bertahannya dominasi mereka dalam proses politik yang terjadi. Olehnya superioritas klan dominan dengan simbol-simbol adat menandai strata masyarakat Kaili masih tetap eksis meski terkadang tampil dalam bentuk yang berbeda. Eksistensi kedudukan dan jabatan merupakan faktor determinan akan munculnya anggota klan dominan yang diyakini memiliki kekuatan pengaruh pada masyarakat Kaili.
Saat ini melanggengkan Kedudukan berarti memposisikan klan dominan dalam struktur sosial terutama pada puncak-puncak strata sosial masyarakat Kaili yang berada pada golongan Madika. Dominasi klan dominan berlangsung dalam kehidupan politik, meskipun terkadang tidak harus menjadi pemimpin puncak pada suatu organisasi kemasyarakatan atau pada lembaga politik, namun memegang posisi strategis dalam organisasi kemasyarakatan atau bahkan memiliki kekuatan tawar menawar yang tinggi dalam pengambilan keputusan politik.
Garis kontinum ini ditandai dengan pelabelan simbol-simbol adat dengan idiom kharismatik seperti "tomalanggai" dan "tadulako" yang dilekatkan pada personifikasi anggota klan agar tetap ekdis dalam aktivitas politik. Eksisnya hubungan primordial dalam penataan peran-peran sosial yang menempatkan posisi anggota klan dominan sebagai representasi sumberdaya terpilih oleh karena kekuatan status sosial yang melatar belakangi dalam proses politik dan pemerintahan.
Untuk menempati kedudukan tertentu biasanya akan diperhitungkan berdasarkan pada status sosial yang dimiliki. Seperti menduduki jabatan pemimpin dalam masyarakat baik di lembaga politik, organisasi kemasyarakatan, dan pemerintahan senantiasa akan disesuaikan pada status sosial yang melatar belakangi. Kedudukan dalam status sosial seseorang akan berpengaruh pada jabatan yang di emban terutama pada pandangan orang lain terhadapnya, setidaknya kedudukan dalam jabatan atau pelibatan dalam aktivitas politik dilandasi status sosial Madika yang memberi prestise berbeda dengan yang bukan golongan Madika.
Kita, Orang Palu (Kaili) dan Politik
Koentjaraningrat mengartikan klan sebagai suatu kelompok kekerabatan yang terdiri atas semua dari seseorang nenek moyang yang di perhitungkan melalui garis keturunan sejenis, yaitu keturunan marga laki-laki atau perempuan.
Pada masyarkat Kaili, Klan merupakan kelompok kekerabatan yang terbentuk dari gabungan beberapa keluarga luas yang disebut "sampesuvu" (kinship).
"Sampesuvu" melingkar dalam satuan kekerabatan yang disebut "Ntina" (kindred) sebagai satuan kekerabatan terus berkembang hingga membentuk klan dimana anggotanya diikat atau berasal dari satu nenek moyang yang sama. Klan pada masyarakat Kaili dapat ditelusuri berdasarkan garis keturunan ibu (matrilineal) maupun garis keturunan ayah (patrilineal). Untuk mengetahui klan seseorang dapat dikenali berdasarkan fam atau marga yang digunakan.
Saat ini di beberapa wilayah di Lembah Palu ditemukan beberapa kelompok masyarakat Kaili yang merupakan satuan klan dengan marga khusus dalam kesatuan "Ntina" bahkan sebagian warganya telah menyebar ke beberapa wilayah lain. Proses perkawinan antar sesama warga dalam kesatuan klan (Ntina)terjadi melalui adat "Nibolai/Nosibolai" yang menjadi sarana untuk mempererat tali persaudaraan sekaligus mengikat hubungan kekeluargaan agar semakin erat dan dekat. Hal ini sesuai dengan prinsip kekerabatan "Nillinggu mpo toboyo" yang berarti “menggulung pucuk labu yang telah menjalar jauh agar dapat kembali ke pohonnya”. Makna adagium ini adalah, jika jarak persaudaraan atau pertalian darah sudah agak jauh maka sebaiknya ditarik kembali mendekati satuan dasar kekerabatan melalui ikatan perkawinan. Dengan demikian hubungan kekerabatan semakin dekat dan erat. Pomeo lain yang ikut memperkuat prinsip kekerabatan adalah "belontona da ta no sampusuvu" yang berarti bahwa “sejahat-jahatnya bersaudara masih jauh lebih baik dari pada kebaikan orang lain”. Pomeo ini merupakan salah satu kunci kesatuan dan persatuan dalam kelompok kekerabatan masyarakat Kaili, sehingga dalam kesatuan kerabat sikap saling tolong menolong dan saling membantu (nosiala pale, notava) tetap terpelihara sebagai kekuatan dalam menyangga hubungan sosial terutama saling membantu dalam aktivitas sehari-hari dan bahkan mendukung dalam aktivitas politik.
Penanda bahwa jalinan kekerabatan pernah terbangun dibeberapa kerajaan Lembah Palu yang memperkuat hubungan kekerabatan melalui ikatan perkawinan antar "madika (bangsawan) melalui adat Nibolai/Nosibolai misalnya terjadi antara “Pue Nggari” dari kerajaan di Palu dengan “Pue Puti” dari kerajaan di Dolo, perkawinan antara “Vumbulangi” dari Kerajaan di Bangga dengan “ Mbavalemba” dari kerajaan Pakava, perkawinan antara anak raja di Tavaeli yang bernama “Ronjala” kawin dengan “Dae Mabela” dari kerajaan di Banawa, adapula anak raja Tavaeli “ Menukalui” kawin dengan “Tondinugo” dari kerajaan di Sigi, perkawinan antara anak Raja Sigi “Sairalie” yang kawin dengan “Intoviva” dari kerajaan Besoa serta perkawinan-perkawinan lainnya antara beberapa kerajaan yang ada menunjukan bahwa masyarakat Kaili di Lembah Palu terikat dalam satu rumpun kekerabatan sejak dahulu (Abdullah, 1975 : 39).
Perkawinan antar "madika" (bangsawan) menjelaskan garis genealogis beberapa klan (marga) seperti Djanggola, Parampasi, Djaelangkara, Lamakarate, Karandjalemba, Randalemba, Lamakampali, Lamarauna, Malonda, Pettalolo, Lembah, Yotolembah tetap terjaga eksistensinya hingga saat ini. Beberapa klen lainnya seperti Ponulele, Datu Palinge, Daeng Sute, Lapasere, Pakamundi, Latjambo, Tombolotutu, Sunusi juga dominan keberadaannya saat ini. Jika ditelusuri klan-klan ini memiliki asal muasal yang sama atau memiliki pertautan yang sama. Secara genealogis mereka terbentuk dari perkawinan yang terjadi diantara golongan Madika sebelumnya.
Klan-klan ini pada awalnya berasal dari satu kampung yang sama (residensi matrilokal/teritorial) yang berbentuk ngata (kampung). Bahkan penggunaan nama Fam “Lemba” pada beberapa klan disinyalir terkait dengan wilayah hunian awal(residensi teritorial,) dimana klan tersebut berasal.
Klan-klan tersebut secara terus menerus mengalami perluasan dengan terjadinya perkawinan antar madika dan turunan para "Magau" melaui adat Nibolai/Nosibolai). Pada tiap "ngata" terbentuk ikatan kekerabatan yang semakin erat diantara tiap-tiap klan sehingga jaringan hubungan kekerabatan berdasarkan genealogis semakin kuat.
Ikatan perkawinan telah menyatukan madika di lembah Palu bahkan membentuk klan-klan besar dengan status sosial tersendiri. Dalam perkawinan, klan-klan ini pada umumnya memelihara adat dengan sistem perkawinan endogamy. Seorang laki-laki dapat kawin dengan perempuan dari klennya sendiri minimal dalam derajat ke satu (sarasanggani) atau memilih perempuan di luar klen baik yang sederajat maupun yang tidak sederajat. Perkawinan endogamy dimaksudkan sebagai upaya memelihara dan menjaga kualitas dan kemurnian darah turunan dari keluarga bangsawan dalam klan yang sama. Bentuk lainnya adalah perkawinan "Positaka Taono" dan "Pongganti Ompa" bertujuan untuk mendekatkan pertalian darah dalam satuan kekerabatan disamping untuk menjaga agar "mbara-mbara nimana" (harta warisan keluarga/harta bersama) agar tidak jatuh terlalu jauh.
Dalam aktivitas politik dan aktivitas organisasi kemasyarakatan beberapa anggota Klan menguasai posisi strategis dalam proses politik. Sebut saja diantaranya Djanggola, Ponulele, Parampasi, Pettalolo, Lembah, Lamarauna, Yoto Lembah dan beberapa klan besar lainnya. Umumnya mereka berasal dari kesatuaan klan yang terkait hubungan kerabat seperti ana (anak), pinoana (kemenakan), sarasanggani (sepupu dalam derajat ke satu), sarara ruanggani (sepupu dalam derajat kedua), sarara talunggani (sepupu dalam derajat ketiga), mania (mantu), era (ipar), mangge (Paman), pinotina (Bibi) bahkan makumpu (cucu). Nama besar marga berdasarkan klan yang disandang seseorang seringkali menjadi dasar pertimbangan untuk dapat menduduki jabatan atau posisi tertentu dimasyarakat. Latar genealogis klan turut menentukan tingkat popularitas dan elektabilitas seorang anggota klan dalam aktivitas politik praktis. Sejalan dengan pendapat Koentjaraningrat bahwa salah satu dari empat fungsi klan adalah menjadi dasar dari organisasi politik.
Faktor genealogis Klan seringkali dijadikan pertimbangan untuk mendorong seorang anggota klan memasuki ruang-ruang politik, bahkan pelibatan dalam partai politik dapat terjadi karena alasan genealogis klan. Posisi sebagai anggota klan dengan latar belakang genealogis menjadi pertimbangan karena kekuatan lingkaran klan dapat menjadi penyangga bahkan menjadi barikade bagi tujuan-tujuan politik praktis.
Mendapat kedudukan dalam jabatan dan kekuasaan politik memberi penjelasan tentang karakter kekuasaan adat yang melekat pada pemimpin masyarakat Kaili ketika zaman kerajaan masih berlangsung di Lembah Palu. Para pemimpin masyarakat mendapat wewenang secara adat untuk mengelola kehidupan bersama, menjaga, memelihara kepentingan rakyat yang dipimpinnya, serta mempertahankan wilayah kekuasaan adat dari perebutan wilayah antar penguasa pada masing-masing wilayah kerajaan. Namun para pemimpin masyarakat dalam kedudukannya dipersyaratkan memiliki sifat jujur, adil, bijaksana, berpandangan jauh kedepan, amanah, berwibawa, ahli dan cakap dapat menjadi teladan serta berpengaruh dalam masyarakat.
Puncak-puncak status sosial lapis Madika (bangsawan) merupakan perkembangan lanjut perubahan sosial ketika lembaga-lembaga kekuasaan yang baru lahir menggantikan fungsi kekuasaan adat, maka dominasi kedudukan dalam sistem kekuasaan adat mengalami transformasi ke dalam puncak-puncak status sosial yang diteruskan atau diperankan oleh anggota klan dominan berdasarkan hubungan kekerabatan Madika.
Pergeseran status Kedudukan yang melekat pada Magau dan Madika ketika pemerintahan adat masih berlaku berubah menjadi status sosial bergengsi bagi anggota klan dominan yang notabene adalah keturunan Magau dan Madika dalam hubungan sosial khususnya dalam proses politik yang terjadi, perubahan status ini memperkuat terhadap bertahannya dominasi mereka dalam proses politik yang terjadi. Olehnya superioritas klan dominan dengan simbol-simbol adat menandai strata masyarakat Kaili masih tetap eksis meski terkadang tampil dalam bentuk yang berbeda. Eksistensi kedudukan dan jabatan merupakan faktor determinan akan munculnya anggota klan dominan yang diyakini memiliki kekuatan pengaruh pada masyarakat Kaili.
Saat ini melanggengkan Kedudukan berarti memposisikan klan dominan dalam struktur sosial terutama pada puncak-puncak strata sosial masyarakat Kaili yang berada pada golongan Madika. Dominasi klan dominan berlangsung dalam kehidupan politik, meskipun terkadang tidak harus menjadi pemimpin puncak pada suatu organisasi kemasyarakatan atau pada lembaga politik, namun memegang posisi strategis dalam organisasi kemasyarakatan atau bahkan memiliki kekuatan tawar menawar yang tinggi dalam pengambilan keputusan politik.
Garis kontinum ini ditandai dengan pelabelan simbol-simbol adat dengan idiom kharismatik seperti "tomalanggai" dan "tadulako" yang dilekatkan pada personifikasi anggota klan agar tetap ekdis dalam aktivitas politik. Eksisnya hubungan primordial dalam penataan peran-peran sosial yang menempatkan posisi anggota klan dominan sebagai representasi sumberdaya terpilih oleh karena kekuatan status sosial yang melatar belakangi dalam proses politik dan pemerintahan.
Untuk menempati kedudukan tertentu biasanya akan diperhitungkan berdasarkan pada status sosial yang dimiliki. Seperti menduduki jabatan pemimpin dalam masyarakat baik di lembaga politik, organisasi kemasyarakatan, dan pemerintahan senantiasa akan disesuaikan pada status sosial yang melatar belakangi. Kedudukan dalam status sosial seseorang akan berpengaruh pada jabatan yang di emban terutama pada pandangan orang lain terhadapnya, setidaknya kedudukan dalam jabatan atau pelibatan dalam aktivitas politik dilandasi status sosial Madika yang memberi prestise berbeda dengan yang bukan golongan Madika.
Boyaoge, 9 Januari 2020
Pemerhati Budaya
N I S B A H
Pemerhati Budaya
N I S B A H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar