Jelang 22 Desember menjadi momentum
sejarah yang menandai semangat perjuangan perempuan Indonesia. Meskipun
perayaan "HARI IBU" yang diperingati setiap tanggal 22 Desember
dilaksanakan dalam "kesemarakan" yang "riuh rendah" namun terasa
perempuan masih terikat dalam suasana profan dan penuh romantisasi
kedirian yang tidak berbanding lurus dengan peran substansial perempuan
dalam wilayah domestik dan publik.
Personifikasi perempuan dengan potensi kedirian dan nilai peran yang dimiliki bahkan seringkali menjadi tereduksi untuk menjalankan peran-peran karitatif. Peran dan fungsi perempuan seolah sekedar tampilan yang di simbolisasi dengan kewajiban memakai "kebaya dan konde".
Personifikasi perempuan dengan potensi kedirian dan nilai peran yang dimiliki bahkan seringkali menjadi tereduksi untuk menjalankan peran-peran karitatif. Peran dan fungsi perempuan seolah sekedar tampilan yang di simbolisasi dengan kewajiban memakai "kebaya dan konde".
Tampilan "kebaya dan konde" menjadi ciri komersialisasi perempuan secara manipulatif di setiap momentum "Hari IBU". Simbolisasi hari Ibu bahkan mampu mengaburkan nilai peran dan kontribusi riil perempuan dalam ruang sosial tertentu khususnya Perjuangan perempuan dalam mengatasi kebutuhan hidup sehari-hari. Bahkan ketika Hari IBU 22 Desember dirayakan sebagai penanda untuk menegaskan bahwa peran perempuan sebagai isteri pengasuh anak, pengelola Rumah Tangga dan pendamping suami menjadi sangat penting dan strategis untuk menopang kesatuan sosial yang bernama "keluarga" agar tetap terkendali dalam harmoni.
Paradoksal "Kebaya dan Konde" menegaskan bahwa kesejatian semangat hari ibu tidaklah di bentuk dari tampilan fisik, bahwa terdapat semangat perjuangan gagasan dan ide yang disertai tindakan perlawanan atas situasi perempuan yg mengalami ketidak adilan dan diskriminasi, sehingga semangat perlawanan perlu dimaknai secara mendalam.
Pada Hari Ibu "konde dan kebaya" masih menandai tampilan perempuan sebagai simbol selebrasi, tampilan karitatif ini justeru menjadi jebakan hadirnya sikap sentimentil perempuan untuk mengelus-ngelus rasa emosional perempuan agar "sebisanya" dapat tampil cantik, modis, bergaya dengan trendy mode berbusana. Perempuan sangat mudah muncul dengan tampilan ini karena perempuan dalam perspektif gender digambarkan akan dengan mudah membentuk situasi ini sebagai konsekwensi dari dari konstruksi sosial atas ruang kehidupan perempuan.
Saatnya memaknai Hari Ibu dengan semangat untuk memberi penguatan terhadap perempuan agar memiliki pilihan terhadap situasi sosial berdasarkan kesadaran yang dilandasi otoritas nilai kedirian.
Saatnya perempuan melepaskan diri dari keterjebakan kepentingan pragmatis dalam kendali otoritas diluar kediriannya.
Saatnya melepas ikatan eforia selebrasi Hari Ibu sebagai"tampilan karitatif" dengan hanya sekedar menghadirkan "kebaya dan konde" tanpa pemaknaan substansial peran fungsi perempuan yang lebih hakiki....
Perempuan harus Kuat, harus Berani, bersama menuju keterbebasan dari penindasan...
Selamat Hari Ibu....
Boyaoge, 22 Desember 2019
Pemerhati Budaya & Perempuan
N I S B A H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar