Sabtu, 06 September 2025
Seri (28) Revitalisasi Budaya Kaili MAGAU BO TOMAOGE...(sebuah dirkursus)
Seri (27) Revitalisasi Budaya Kaili Analogi diametral Pagoli VS Transaksi Politik
Menyoal Sikap Politik
Politisasi agama, persekusi, sentimental, sebagai penanda atas tumbuhnya warna politik sektarian menggeliat seakan sulit terhindarkan.
Politisasi Agama terligitimasi dalam tindakan komersialisasi nilai-nilai pandangan agama yang menggelindig bagai bola liar liar dengan membentur sudut-sudut ruang sosial dengan kuatnya. Politisasi agama ecara spontanitas membentuk perilaku insidentil masyarakat dengan kekuatan penuh yang menggerakan masyarakat untuk melakukan tindakan anarkis bahkan secara ekstrim memberi stigma negatif atas sebuah situasi sosial.
Ijtima ulama, tablig akbar, dan kegiatan keagamaan lainnya, telah menjadi penanda bahwa agama masih menjadi pilihan issu yang menarik untuk diolah dan diracik sebagai penarik simpati masyarakat jelang kontestasi politik akbar 2019. Denominasi agama terlihat begitu seksi sebagai objek untuk di eksploitasi sebagai jualan yang bakal mendapat keuntungan besar. Sikap dan perilaku fanatis begitu menonjol mengalahkan rasa soliditas, solidaritas, bahkan sikap saling menghargai.
Dalam ruang sosial kita tidak segan saling menghina, mengejek dan bahkan saling merendahkan nilai kedirian dan persahabatan, mengingkari hati nurani dengan kesimpulan bahwa calon dukungan kitalah yang paling baik karena calon pilihan lawan adalah buruk. Justifikasi keburukan bahkan tanpa sungkan di ungkapkan dengan pandangan yang hominem jauh mengabaikan kearifan dan kebijaksanaan yang idealnya harus tersaji dalam pentas demokrasi yang sangat menghargai perbedaan.
Secara umum bukankah sangat wajar ketika kita berbeda dan tidak sama dalam sebuah pilihan dalam alam demokrasi. Kontestasi yang sehat idealnya dapat menggiring kita dalam sikap agar tidak saling menghina, mengolok-olok apalagi merendahkan nilai kedirian seseorang atau kelompok. Bahwa kitalah yang paling benar, paling baik, paling unggul justeru mengajarkan sikap keserakahan, dominasi, superior yang tentunya secara kasat mata menjadi pembelajaran bagi generasi berikutnya. Bahwa dalam politik adalah wajar dan sah-sah saja untuk saling menghina, mengejek dan merendahkan orang lain. Perilaku tersebut seolah-olah menjadi pembenaran atas sebuah proses dalam realitas politik.
Dalam situasi ini, nilai keanggunan dan kesahajaan menjadi terabaikan dalam proses demokrasi dan kontestasi, padahal tujuan kita sesungguhnya dalam bingkai proses kontestasi adalah menciptakan tatanan demokrasi yang lebih baik dengan mengedepankan sisi edukasi untuk generasi pelanjut. Menjadi Naif justufikasi pembenaran adalah milik kita yang seolah menafikkan bahwa siapapun yang akan menjadi pemenang tetap berada dalam kendali Tuhan sang Pencipta..
Wallahu alam bissawab
Medio, 14 Januari 2019
N i s b a h
Pemerhati Pemilu
Seri (17) Revitalisasi Budaya Kaili N I P A L I
"N I P A L I"
Fenomena merebaknya Pandemi Covids 19 dengan daya paksa membentuk pola hubungan sosial berjarak (distancing social) dalam ruang interaksi sosial menjadi sebuah keniscayaan.
Pola hubungan sosial berjarak bahkan diikuti dengan kebijakan "karantina wilayah" (lockdown) telah "meruntuhkan" sejenak prinsip dan cara hidup manusia sebagai makhluk sosial.
Fenomena ini menjadi situasi umum terutama ketika diperhadapkan pada kondisi darurat dimana kehidupan sosial mengalami ancaman wabah dalam bentuk penyakit menular.
Di Sulawesi Tengah, jejak kehidupan masyarakat yang mengalami ancaman wabah seperti halnya Covids 19 bukanlah kali pertama menyerang. Banyak catatan sejarah tentang penyakit menular dimasa lalu disampaikan baik lewat dokumen Kolonial dan
koran nasional ketika peristiwa tersebut terjadi.
Laman historia.id mencatat diantara berbagai jenis penyakit menular sekitar tahun 1658 penyakit cacar pernah melanda Sulawesi Tengah (Midden Celebes). Selain itu terjadi juga serangan Flu Spanyol tahun 1918-1919 yang menjadi pandemi saat itu. Sekitar 500 juta penduduk dunia terinfeksi, dengan korban meninggal sekitar 50 juta orang di seluruh dunia. Virus ini lebih mematikan ketimbang perang dunia pertama yang berakhir pada tahun itu.
Dokumen Historia Sulteng dan catatan seorang Sejarwan Mohamad Herianto yang dimuat di Sulteng Post, mengurai tentang wabah Flu Mao di Kota Palu, tahun 1970.
Wabah penyakit di lembah Palu terdokumentasikan dalam beberapa arsip seperti koran.
Mewabahnya "Jua Lele" atau penyakit menular akibat Flu Spanyol tahun 1920-an di tepi danau Poso mengakibatkan banyak orang meninggal dunia ketika itu.
Wabah Kolera yang disebut sebagai "Rumpa Datu"bahkan sempat menyerang tahun-tahun sebelumnya di Lembah Palu. Wabah Kolera ini terjadi karena cara hidup tidak bersih dan kotoran hewan yang ditemukan disembarang tempat.
Di Lembah Palu pada tahun 1942, juga pernah di serang wabah penyakit Kusta (Lepra) atau populer bagi orang Kaili disebut "Lampa Vau (Dua Oge)", akibatnya sejumlah wilayah pun harus di isolir karena penyakit tersebut. Bahkan Pemerintah Kolonial Belanda membangun gedung isolasi penderita Lepra yang disebut Lepratoruim di Desa Vatusampu. Kondisi berkepanjangan yang di akibatkan penyakit Lepra memaksa pemerintah harus membangun Sanatorium di Kapopo sebuah wilayah perbatasan antara Petobo dan Kavatuna.
Fenomena kondisi virus Pandemi dan penyakit mewabah ini bahkan didokumentasikan dengan apik oleh seorang seniman Kaili bernama Hasan Bahasuan, melalui lagu yang mengisahkan legenda seorang Putri Raja bernama Randa Ntovea yang harus "NIPALI RI TANA JAMBALI" ( diasingkan di tempat khusus) akibat menderita satu penyakit (Dua Da).
" Nipali" bermakna pada sebuah proses pengasingan terhadap seseorang yang terjangkiti suatu penyakit menular dan mewabah. Bagi masyarakat Kaili
Ketika itu, terdapat keyakinan bahwa bagi anggota masyarakat yang terkena wabah penyakit menular dianggap sebagai mendapat kutukan. Arwah manusia yang terjangkiti wabah tidak akan diterima di surga. Bahkan ketika ada salah satu anggota masyarakat pada sebuah kampung di kerajaan terkena wabah, maka seluruh kampung diyakini telah terkena kutukan. Karenanya, siapapun yang terkena wabah harus diasingkan atau "NIPALI".
Pengasingan ini dilakukan karena penderita dianggap membawa sial dan tidak diterima di sorga. Bahkan, mereka yang mengalami penyakit dan tidak sembuh dimungkinkan untuk dikeluarkan dari lingkungan tempat tinggalnya.
"Nipali" adalah sebuah proses yang telah dilakukan oleh para leluhur di Tanah Kaili sejak dulu. Proses "Nipali" menunjukkan sebuah ketaatan terhadap nilai hidup dalam sebuah lingkungan sosial tempat tinggal atau "Ngata". Tabunya penderita suatu penyakit untuk tetap berada dalam lingkungan sosialnya justeru dianggap sebagai "sebuah pelanggaran" terhadap prinsip hidup bersama yang harus menularkan kebaikan dan keselamatan. "Nipali" memberi inspirasi terhadap kita saat ini ketika diperhadapkan dengan fenomena pandemi Covids 19, bahwa harus ada ketaatan terhadap " pembatasan hubungan sosial berjarak (distancing social) dan bahkan terhadap adanya "karantina wilayah" (Lockdown). Perilaku ketaatan atas Prinsip hubungan sosial berjarak dan karantina wilayah merupakan sebuah kearifan untuk menjaga lingkungan sosial kita sekaligus masa depan pada ruang sosial dimana kita berada. Bahwa yang kita butuh adalah toleransi untuk saling menjaga agar kehidupan dibumi dapat tetap lestari.... Insya Allah.
#marijagajarakuntukkehidupanselanjutnya.
Medio, 7 April 2020
N I S B A H
Pemerhati Budaya
Edisi Kontemplasi... "NEW NORMAL", MENGGUGAT SITUASI SOSIAL KITA , TEPATKAH ?
Seri (6) Penguatan Budaya Kaili Stratifikasi Sosial Masyarakat Kaili.
Edisi Kontemplasi EMPATIKU UNTUKMU LEMBANTONGOA
Edisi Kontemplasi... Menyoal One Piece VS Merah Putih
Edisi Kontemplasi KEBAYA, KONDE dan HARI IBU
Personifikasi perempuan dengan potensi kedirian dan nilai peran yang dimiliki bahkan seringkali menjadi tereduksi untuk menjalankan peran-peran karitatif. Peran dan fungsi perempuan seolah sekedar tampilan yang di simbolisasi dengan kewajiban memakai "kebaya dan konde".
Tampilan "kebaya dan konde" menjadi ciri komersialisasi perempuan secara manipulatif di setiap momentum "Hari IBU". Simbolisasi hari Ibu bahkan mampu mengaburkan nilai peran dan kontribusi riil perempuan dalam ruang sosial tertentu khususnya Perjuangan perempuan dalam mengatasi kebutuhan hidup sehari-hari. Bahkan ketika Hari IBU 22 Desember dirayakan sebagai penanda untuk menegaskan bahwa peran perempuan sebagai isteri pengasuh anak, pengelola Rumah Tangga dan pendamping suami menjadi sangat penting dan strategis untuk menopang kesatuan sosial yang bernama "keluarga" agar tetap terkendali dalam harmoni.
Paradoksal "Kebaya dan Konde" menegaskan bahwa kesejatian semangat hari ibu tidaklah di bentuk dari tampilan fisik, bahwa terdapat semangat perjuangan gagasan dan ide yang disertai tindakan perlawanan atas situasi perempuan yg mengalami ketidak adilan dan diskriminasi, sehingga semangat perlawanan perlu dimaknai secara mendalam.
Pada Hari Ibu "konde dan kebaya" masih menandai tampilan perempuan sebagai simbol selebrasi, tampilan karitatif ini justeru menjadi jebakan hadirnya sikap sentimentil perempuan untuk mengelus-ngelus rasa emosional perempuan agar "sebisanya" dapat tampil cantik, modis, bergaya dengan trendy mode berbusana. Perempuan sangat mudah muncul dengan tampilan ini karena perempuan dalam perspektif gender digambarkan akan dengan mudah membentuk situasi ini sebagai konsekwensi dari dari konstruksi sosial atas ruang kehidupan perempuan.
Saatnya memaknai Hari Ibu dengan semangat untuk memberi penguatan terhadap perempuan agar memiliki pilihan terhadap situasi sosial berdasarkan kesadaran yang dilandasi otoritas nilai kedirian.
Saatnya perempuan melepaskan diri dari keterjebakan kepentingan pragmatis dalam kendali otoritas diluar kediriannya.
Saatnya melepas ikatan eforia selebrasi Hari Ibu sebagai"tampilan karitatif" dengan hanya sekedar menghadirkan "kebaya dan konde" tanpa pemaknaan substansial peran fungsi perempuan yang lebih hakiki....
Perempuan harus Kuat, harus Berani, bersama menuju keterbebasan dari penindasan...
Selamat Hari Ibu....
Boyaoge, 22 Desember 2019
Pemerhati Budaya & Perempuan
N I S B A H
INDONESIAKU...MEMAKNAIMU DI 80- TAHUN KEMERDEKAAN
Seri (22) Revitalisasi Budaya Kaili Toniasa
"Toniasa" dan Asa Sulawesi Tengah
"Toniasa" sebuah diksi pada masyarakat kaili untuk penyebutan bagi seseorang baik laki-laki maupun perempuan yang mendapat pengesahan status.
Penyebutan "Toniasa" lazim disematkan bagi seseorang yang akan melalui prosesi pengesahan status dalam periodisasi perkembangan umur untuk memasuki tahap dewasa. Bahkan pengesahan status bagi seseorang yang akan beralih status dalam perkawinan juga disebut sebagai "Toniasa", pun demikian dengan seseorang yang mendapat pengesahan status karena perpindahan dan peningkatan status, gelar atau jabatan tertentu dalam masyarakat.
Secara akronim Toniasa terdiri dari rangkaian kata "Tona" berarti "orang", "ni paka" berarti "dijadikan" dan "asa" berarti "sah atau terpilih". Jadi "Toniasa" berarti seseorang yang telah "terpilih dan disahkan" menjadi manusia dewasa dengan segala pemaknaan "kedewasaan" yang melekat dalam kediriannya, demikian pula jika seseorang yang akan memasuki masa perkawinan ataupun seseorang yang terpilih dan sah mendapat gelar, jabatan dan status sosial dalam masyarakat.
Secara sosiologis, pengesahan status penting untuk mempertahankan eksistensi sistim masyarakat karena fungsi status dalam masyarakat harus ditempati agar kesinambungan masyarakat dapat berlangsung (Davis dan Moore).
Pada masyarakat kaili, tradisi pengesahan status menuju "kedewasaan" melalui serangkaian proses upacara adat yang dimulai dengan "ra songi" yaitu prosesi mengurung diri pada satu ruang khusus dalam rangka membentuk sikap disiplin yang dilandasi rasa ikhlas dan sikap kesahajaan dalam mentaati seluruh aturan adat yang berlaku. Prosesi dilanjutkan dengan "Ni Keso" yaitu pembersihan diri dari sifat buruk dan selanjutnya diakhiri dengan upacara " No Loso" yaitu upacara pelantikan secara terbuka yang didahului dengan pemberian nasehat dan petuah dari para "totua nu ngata" agar "toniasa" dapat menjalankan tanggung jawab dengan baik dalam kehidupan masyarakat.
Upacara pelantikan menjadi prosesi terakhir bagi pengesahan terhadap "toniasa" yang dianggap telah mampu melewati tahapan ujian sekaligus penegasan bahwa keberadaannya sebagai "seseorang yang terpilih" dengan segala martabat kemanusiaaanya. Keterpilihan"Toniasa" memberi makna pada pencapaian kematangan emosional, kognitif dan intelektualitas dalam
jarak usia ideal dan karakter kepribadian yang kuat.
Adapun "Toniasa" dalam prosesi perkawinan lazim melewati serangkaian tahapan pra kawin yang disebut dengan " No Gigi" yaitu pembersihan badan dengan cara mencukur "rambut-rambut halus dibadan" yang disimbolkan sebagai pembersihan diri dari hal-hal buruk yang dapat berpengaruh pada pembentukan perilaku.
Kesuksesan seseorang yang terpilih untuk memperoleh jabatan atau kedudukan tertentu dalam masyarakat secara sinkronik, pun dapat di sebut sebagai "Toniasa".
Momentum Pemilihan Gubernur Sulawesi Tengah dapat dimaknai sebagai prosesi terpilihnya "Toniasa" untuk memimpin Sulawesi Tengah pada periode selanjutnya.
Terpilihnya "Toniasa" yang akan dilantik dan disahkan sebagai Gubernur yang akan memimpin Sulawesi Tengah lima tahun mendatang menghadirkan beragam ekspektasi. Pada "Toniasa" yang telah terpilih sebagai Gubernur, masyarakat Sulawesi Tengah mengantungkan harapan besar. Insya Allah "Toniasa" yang akan memimpin Sulawesi Tengah kedepan dapat menjadi "Tomaoge" yang mengayomi seluruh masyarakat Sulawesi Tengah", Insya Allah...
Toniasa kana Manjaliku Ka Tuvu Ntodea, Mompaka roso ngata ala mabuke nte sugi"
Barakallah...
Persembahan untuk "Toniasa" yang akan dilantik sebagai Gubernur Sulawesi Tengah periode 2021-2024....
Boyaoge, 15 Juni 2021
N I S B A H
Pemerhati budaya kaili
Kamis, 31 Juli 2025
Seri (25) Revitalisasi Budaya Kaili TO BIRA" DAN ABSURDITAS POLITIK
Seri (25) Revitalisasi Budaya Kaili
Serial IMAGINE OF POLITICAL...
"Mokuvavaka Reke Laeka".
"TO BIRA" DAN ABSURDITAS POLITIK
Inkonsistensi adalah sikap dan perilaku ambigu yang sering ditampilkan pada ruang sosial. Motifnya terjadi karena tekanan hasrat kepentingan yang kuat pada situasi sosial, politik, ekonomi, hukum yang bersifat pragmatis.
Pada " To Kaili" penggambaran untuk "sikap dan perilaku seseorang" yang "inkosisten" atas situasi dan pilihan terhadap suatu hal disebut sebagai "To Bira". Perilaku "To Bira" dianalogikan sebagai perilaku "Kutu loncat" yaitu dimana orang yg menggantungkan hidupnya dengan menumpang dari satu orang ke orang lain dengan sikap inkonsistensi.
Diksional "To bira" saat ini tidak lagi populer pada sebagian besar orang kaili sehingga penyebutan ini tidak lagi lazim digunakan pada situasi sosial saat mana terdapat perilaku "kutu loncat" ditampilkan.
Ketidakpopuleran penggunaan diksi "to bira " pada orang kaili berimbas pada tidak dikenalnya diksi ini pada sebagian masyarakat kaili, pun demikian halnya dengan sebagian kelompok masyarakat pendatang.
Secara umum ketidak populeran diksi "To Bira" terjadi karena tindak perilaku "to bira" relatif kurang termanifestasi dalam ruang interaksi sosial. Tindak perilaku ini tidak berada dalam dimensi yang diametral dengan sifat dan perilaku orang kaili yang teguh memegang prinsip atas sebuah hal atau keputusan yang terkait dengan situasi sosial.
Menarik untuk "menggunjingkan" perilaku "to bira" pada event pemilukada, karena perilaku " to bira" kerap muncul sebagai fenomena politik yang tampak absurd menandai proses kontestasi. Absurditas politik adalah kondisi ketika politik kehilangan makna dan esensinya sebagai alat perjuangan sosial (Yasraf Amir Piliang). Absurditas terjadi karena para elite dan aktor politik menempatkan kekuasaan sebagai tujuan utama, lalu mengabaikan esensi nilai dan ideologi dalam proses politik yang dijalankan.
Dalam kondisi seperti ini, aktivitas politik berjalan tanpa kepastian tujuan, komunikasi politik menjadi kabur, ideologi politik mengalami pendangkalan, dan etika politik terdegradasi ke titik kulminasi terendah. Situasi ini dapat mempengaruhi terbentuknya perilaku "kutu loncat" atau "to bira" yang dianggap diluar kepantasan (kuraeya) bagi orang Kaili.
Absurditas politik yang dilatari oleh fenomena maraknya para pelaku politik “kutu loncat” atau "to bira" menjadi ironi dan penanda bahwa praktik politik kita hari ini tengah berada pada situasi dekadensi.
Dekadensi politik mewujud dalam praktik politik yang tidak lagi berorientasi pada perjuangan sosial untuk membangun kepedulian sosial dan kepentingan hakiki masyarakat tetapi secara pragmatis diorientasikan pada aktivitas meraih kekuasaan (meskipun situasi ini sahih adanya). Dalam kondisi yang dekaden ini, proses politik cenderung membentuk pola relasi yang bertumpu pada praktik transaksional sehingga semakin tercerabut dari esensinya sebagai salah satu alat perjuangan sosial untuk mencapai kesejahteraan manusia.
#politikadalahkemanusiaan
Boyaoge, 22 Maret 2022
N I S B A H
Pemerhati Budaya Kaili
Seri (1) Revitalisasi Budaya Kaili BALIA
Seri (1) Revitalisasi Budaya Kaili
BALIA
(Coretan pendek memahami Balia dalam esensi pelaksanaannya)
Esensi balia sebagai prosesi ritual adalah kegiatan berkomunikasi yang dilakukan oleh manusia dengan mkhluk gaib ( immateri ) yang diyakini adalah para leluhur mereka. Balia sebagai sarana komunikasi dimaksudkan untuk meminta kepada kekuatan immateri (leluhur/makhluk gaib) agar dapat menolong dari malapetaka atau menyembuhkan penyakit yg di derita manusia. Secara etimologi balia terdiri dari dua unsur kata yakni "bali dan ia" yang berarti "rubah/merubah dia" (seseorang yg mengalami sakit). Dalam prosesinya ritual balia lazim dilakukan selama 3-4 hari dengan menyuapkan sesajen terdiri pulut warna-warni, telur, ayam dan kambing., dimulai dengan syarat harus menyiapkan daun "go" (daun suci yg diyakini memiliki kekuatan) oleh seorang "bule" yg bertugas sebagai pendamping lima orang "sando dan tina nu balia" yg memimpin ritual balia. Daun go akan ditempatkan tepat di tengah arena balia yang diyakini menjadi kekuatan pengendali,prosesi balia diisi dengan nyanyian yang mengiringi tarian yg disebut dgn "Nondolu" dengan diiringi "gimba dan gong". Nondolu dilakukan secara berputat dengan mengitari sesajen dan sisakit yg di ikuti dengan prosesi menombak kaki kambing untuk diambil darahnya dan darah ayam. Prosesi ini nanti diakhiri dengan mandi ritual nompaura dan menginjak api dari daun kelapa kering yg dibakar sbg simbol keyakinan akan kekuatan baru yg dimiliki si sakit setelah srmbuh. Dalam pelaksanaannya balia pada masyarakat Kaili memiliki beberapa jenis dan tingkatan dalam pelaksanaannya dengan klasifikasi berdasarkan kelas sosial masyarakat yg mengalami persitiwa, situasi atau musibah yg terjadi. Adapun jenisnya : 1. Balia Bone, adalah tingkatan terendah dalam rangkaian upacara balia yg dimaknai sebagai prajurit kesehatan terbanyak dan terbesar seperti tumpukan pasir (bone) yg sanggup memadamkan api, tingkatan balia ini diperuntukan bagi masyarakat bawah dengan jenis penyakit ringan. Dlm pelaksanaannya tdk membutuhkan waktu lama dan peralatan yg banyak dan biasanya hanya dipimpin satu orang sando. 2. Balia Jinja Balia yg dilakukan dgn gerakan melingkar (round dance) dengan melibatkan banyak orang mulai dari sando, bale, si sakit dan diikuti dengan pengunjung yg hadir dengan mendedangkan secara bersama dondolu, dan rata2 mereka akan mengalami kesurupan. 3. Balua Tampilangi Diibaratkan sebagai adanya pasukan penyembuh yg bergerak cepat dari kayangan. Balia ini adalah kategori tingkatan tertinggi dengan kesakralan dan bernilai magis krn didalamnya termuat secara keseluruhan gerak dari balia bone dan balia jinja serta harus memenuhi syarat tahapan khusus dalam upacara penyembuhan dengan waktu pelaksnaan selama 3-4 hari dan tahapan pelaksanaan sebanyak dua bagian. Biasanya balia tampilangi diperuntukan bagi golongan bangsawan dengan memilih lokasi tertentu. Dalam pelaksanaan balia tidak lazim dilakukan di pesisir pantai krn balia lazim dilakukan masyarakat pedalaman yg tinggal di wilayah dekat dengan sungai sebagai tempat yg dituju untuk pelaksnaan nompaura atau mandi bersih. Musik ritual Balia tdk lazim menggunakan "Lalove". Prosesi Balia diawali dengan berkumpulnya para pelaku di bantaya dengan menyiapkan seluruh kebutuhan yg diperlukan dan menyepakati jenis balia yg akan dilakukan sesuai dengan jenis dan peruntukannya. Dalam kegiatan festival Nomoni, ada indikasi kegiatan ritual balia tidak dilakukan secara proporsional sesuai tingkatan dan peruntukannya tetapi di campur aduk dengan mengacaukan esensi ritual tsb sebagaimana mestinya. Satu catatan yang menarik untuk di renungkan dlm ritual balia di Festival Nomoni bahwa pelaku yang memimpin ritual adalah mereka yang ditunjuk mewakili wilayah Balaroa. Petobo dan jono oge padahal Ritual balia dilaksanakan di Besusu. Ada baiknya Balia Tdk perlu di visualisasikan dalam ritual myngkin lebih baik di simbolkan dalam gerak tari sehingga lebih memberi makna terhadap nilai seni.
Boyaoge, 20 oktober 2018
Nisbah
Pemerhati Budaya Kaili