Kamis, 31 Juli 2025
Edisi Kontemplasi... "NEW NORMAL", MENGGUGAT SITUASI SOSIAL KITA , TEPATKAH ?
Edisi Kontemplasi EMPATIKU UNTUKMU LEMBANTONGOA
Menyoal Sikap Politik
Politisasi agama, persekusi, sentimental, sebagai penanda atas tumbuhnya warna politik sektarian menggeliat seakan sulit terhindarkan.
Politisasi Agama terligitimasi dalam tindakan komersialisasi nilai-nilai pandangan agama yang menggelindig bagai bola liar liar dengan membentur sudut-sudut ruang sosial dengan kuatnya. Politisasi agama ecara spontanitas membentuk perilaku insidentil masyarakat dengan kekuatan penuh yang menggerakan masyarakat untuk melakukan tindakan anarkis bahkan secara ekstrim memberi stigma negatif atas sebuah situasi sosial.
Ijtima ulama, tablig akbar, dan kegiatan keagamaan lainnya, telah menjadi penanda bahwa agama masih menjadi pilihan issu yang menarik untuk diolah dan diracik sebagai penarik simpati masyarakat jelang kontestasi politik akbar 2019. Denominasi agama terlihat begitu seksi sebagai objek untuk di eksploitasi sebagai jualan yang bakal mendapat keuntungan besar. Sikap dan perilaku fanatis begitu menonjol mengalahkan rasa soliditas, solidaritas, bahkan sikap saling menghargai.
Dalam ruang sosial kita tidak segan saling menghina, mengejek dan bahkan saling merendahkan nilai kedirian dan persahabatan, mengingkari hati nurani dengan kesimpulan bahwa calon dukungan kitalah yang paling baik karena calon pilihan lawan adalah buruk. Justifikasi keburukan bahkan tanpa sungkan di ungkapkan dengan pandangan yang hominem jauh mengabaikan kearifan dan kebijaksanaan yang idealnya harus tersaji dalam pentas demokrasi yang sangat menghargai perbedaan.
Secara umum bukankah sangat wajar ketika kita berbeda dan tidak sama dalam sebuah pilihan dalam alam demokrasi. Kontestasi yang sehat idealnya dapat menggiring kita dalam sikap agar tidak saling menghina, mengolok-olok apalagi merendahkan nilai kedirian seseorang atau kelompok. Bahwa kitalah yang paling benar, paling baik, paling unggul justeru mengajarkan sikap keserakahan, dominasi, superior yang tentunya secara kasat mata menjadi pembelajaran bagi generasi berikutnya. Bahwa dalam politik adalah wajar dan sah-sah saja untuk saling menghina, mengejek dan merendahkan orang lain. Perilaku tersebut seolah-olah menjadi pembenaran atas sebuah proses dalam realitas politik.
Dalam situasi ini, nilai keanggunan dan kesahajaan menjadi terabaikan dalam proses demokrasi dan kontestasi, padahal tujuan kita sesungguhnya dalam bingkai proses kontestasi adalah menciptakan tatanan demokrasi yang lebih baik dengan mengedepankan sisi edukasi untuk generasi pelanjut. Menjadi Naif justufikasi pembenaran adalah milik kita yang seolah menafikkan bahwa siapapun yang akan menjadi pemenang tetap berada dalam kendali Tuhan sang Pencipta..
Wallahu alam bissawab
Medio, 14 Januari 2019
N i s b a h
Pemerhati Pemilu
Seri (25) Revitalisasi Budaya Kaili TO BIRA" DAN ABSURDITAS POLITIK
Seri (25) Revitalisasi Budaya Kaili
Serial IMAGINE OF POLITICAL...
"Mokuvavaka Reke Laeka".
"TO BIRA" DAN ABSURDITAS POLITIK
Inkonsistensi adalah sikap dan perilaku ambigu yang sering ditampilkan pada ruang sosial. Motifnya terjadi karena tekanan hasrat kepentingan yang kuat pada situasi sosial, politik, ekonomi, hukum yang bersifat pragmatis.
Pada " To Kaili" penggambaran untuk "sikap dan perilaku seseorang" yang "inkosisten" atas situasi dan pilihan terhadap suatu hal disebut sebagai "To Bira". Perilaku "To Bira" dianalogikan sebagai perilaku "Kutu loncat" yaitu dimana orang yg menggantungkan hidupnya dengan menumpang dari satu orang ke orang lain dengan sikap inkonsistensi.
Diksional "To bira" saat ini tidak lagi populer pada sebagian besar orang kaili sehingga penyebutan ini tidak lagi lazim digunakan pada situasi sosial saat mana terdapat perilaku "kutu loncat" ditampilkan.
Ketidakpopuleran penggunaan diksi "to bira " pada orang kaili berimbas pada tidak dikenalnya diksi ini pada sebagian masyarakat kaili, pun demikian halnya dengan sebagian kelompok masyarakat pendatang.
Secara umum ketidak populeran diksi "To Bira" terjadi karena tindak perilaku "to bira" relatif kurang termanifestasi dalam ruang interaksi sosial. Tindak perilaku ini tidak berada dalam dimensi yang diametral dengan sifat dan perilaku orang kaili yang teguh memegang prinsip atas sebuah hal atau keputusan yang terkait dengan situasi sosial.
Menarik untuk "menggunjingkan" perilaku "to bira" pada event pemilukada, karena perilaku " to bira" kerap muncul sebagai fenomena politik yang tampak absurd menandai proses kontestasi. Absurditas politik adalah kondisi ketika politik kehilangan makna dan esensinya sebagai alat perjuangan sosial (Yasraf Amir Piliang). Absurditas terjadi karena para elite dan aktor politik menempatkan kekuasaan sebagai tujuan utama, lalu mengabaikan esensi nilai dan ideologi dalam proses politik yang dijalankan.
Dalam kondisi seperti ini, aktivitas politik berjalan tanpa kepastian tujuan, komunikasi politik menjadi kabur, ideologi politik mengalami pendangkalan, dan etika politik terdegradasi ke titik kulminasi terendah. Situasi ini dapat mempengaruhi terbentuknya perilaku "kutu loncat" atau "to bira" yang dianggap diluar kepantasan (kuraeya) bagi orang Kaili.
Absurditas politik yang dilatari oleh fenomena maraknya para pelaku politik “kutu loncat” atau "to bira" menjadi ironi dan penanda bahwa praktik politik kita hari ini tengah berada pada situasi dekadensi.
Dekadensi politik mewujud dalam praktik politik yang tidak lagi berorientasi pada perjuangan sosial untuk membangun kepedulian sosial dan kepentingan hakiki masyarakat tetapi secara pragmatis diorientasikan pada aktivitas meraih kekuasaan (meskipun situasi ini sahih adanya). Dalam kondisi yang dekaden ini, proses politik cenderung membentuk pola relasi yang bertumpu pada praktik transaksional sehingga semakin tercerabut dari esensinya sebagai salah satu alat perjuangan sosial untuk mencapai kesejahteraan manusia.
#politikadalahkemanusiaan
Boyaoge, 22 Maret 2022
N I S B A H
Pemerhati Budaya Kaili
Seri (1) Revitalisasi Budaya Kaili BALIA
Seri (1) Revitalisasi Budaya Kaili
BALIA
(Coretan pendek memahami Balia dalam esensi pelaksanaannya)
Esensi balia sebagai prosesi ritual adalah kegiatan berkomunikasi yang dilakukan oleh manusia dengan mkhluk gaib ( immateri ) yang diyakini adalah para leluhur mereka. Balia sebagai sarana komunikasi dimaksudkan untuk meminta kepada kekuatan immateri (leluhur/makhluk gaib) agar dapat menolong dari malapetaka atau menyembuhkan penyakit yg di derita manusia. Secara etimologi balia terdiri dari dua unsur kata yakni "bali dan ia" yang berarti "rubah/merubah dia" (seseorang yg mengalami sakit). Dalam prosesinya ritual balia lazim dilakukan selama 3-4 hari dengan menyuapkan sesajen terdiri pulut warna-warni, telur, ayam dan kambing., dimulai dengan syarat harus menyiapkan daun "go" (daun suci yg diyakini memiliki kekuatan) oleh seorang "bule" yg bertugas sebagai pendamping lima orang "sando dan tina nu balia" yg memimpin ritual balia. Daun go akan ditempatkan tepat di tengah arena balia yang diyakini menjadi kekuatan pengendali,prosesi balia diisi dengan nyanyian yang mengiringi tarian yg disebut dgn "Nondolu" dengan diiringi "gimba dan gong". Nondolu dilakukan secara berputat dengan mengitari sesajen dan sisakit yg di ikuti dengan prosesi menombak kaki kambing untuk diambil darahnya dan darah ayam. Prosesi ini nanti diakhiri dengan mandi ritual nompaura dan menginjak api dari daun kelapa kering yg dibakar sbg simbol keyakinan akan kekuatan baru yg dimiliki si sakit setelah srmbuh. Dalam pelaksanaannya balia pada masyarakat Kaili memiliki beberapa jenis dan tingkatan dalam pelaksanaannya dengan klasifikasi berdasarkan kelas sosial masyarakat yg mengalami persitiwa, situasi atau musibah yg terjadi. Adapun jenisnya : 1. Balia Bone, adalah tingkatan terendah dalam rangkaian upacara balia yg dimaknai sebagai prajurit kesehatan terbanyak dan terbesar seperti tumpukan pasir (bone) yg sanggup memadamkan api, tingkatan balia ini diperuntukan bagi masyarakat bawah dengan jenis penyakit ringan. Dlm pelaksanaannya tdk membutuhkan waktu lama dan peralatan yg banyak dan biasanya hanya dipimpin satu orang sando. 2. Balia Jinja Balia yg dilakukan dgn gerakan melingkar (round dance) dengan melibatkan banyak orang mulai dari sando, bale, si sakit dan diikuti dengan pengunjung yg hadir dengan mendedangkan secara bersama dondolu, dan rata2 mereka akan mengalami kesurupan. 3. Balua Tampilangi Diibaratkan sebagai adanya pasukan penyembuh yg bergerak cepat dari kayangan. Balia ini adalah kategori tingkatan tertinggi dengan kesakralan dan bernilai magis krn didalamnya termuat secara keseluruhan gerak dari balia bone dan balia jinja serta harus memenuhi syarat tahapan khusus dalam upacara penyembuhan dengan waktu pelaksnaan selama 3-4 hari dan tahapan pelaksanaan sebanyak dua bagian. Biasanya balia tampilangi diperuntukan bagi golongan bangsawan dengan memilih lokasi tertentu. Dalam pelaksanaan balia tidak lazim dilakukan di pesisir pantai krn balia lazim dilakukan masyarakat pedalaman yg tinggal di wilayah dekat dengan sungai sebagai tempat yg dituju untuk pelaksnaan nompaura atau mandi bersih. Musik ritual Balia tdk lazim menggunakan "Lalove". Prosesi Balia diawali dengan berkumpulnya para pelaku di bantaya dengan menyiapkan seluruh kebutuhan yg diperlukan dan menyepakati jenis balia yg akan dilakukan sesuai dengan jenis dan peruntukannya. Dalam kegiatan festival Nomoni, ada indikasi kegiatan ritual balia tidak dilakukan secara proporsional sesuai tingkatan dan peruntukannya tetapi di campur aduk dengan mengacaukan esensi ritual tsb sebagaimana mestinya. Satu catatan yang menarik untuk di renungkan dlm ritual balia di Festival Nomoni bahwa pelaku yang memimpin ritual adalah mereka yang ditunjuk mewakili wilayah Balaroa. Petobo dan jono oge padahal Ritual balia dilaksanakan di Besusu. Ada baiknya Balia Tdk perlu di visualisasikan dalam ritual myngkin lebih baik di simbolkan dalam gerak tari sehingga lebih memberi makna terhadap nilai seni.
Boyaoge, 20 oktober 2018
Nisbah
Pemerhati Budaya Kaili