Sabtu, 06 September 2025

Seri (28) Revitalisasi Budaya Kaili MAGAU BO TOMAOGE...(sebuah dirkursus)

Seri (28) Revitalisasi Budaya Kaili 

MAGAU BO TOMAOGE...
(sebuah dirkursus)

Penyematan atau Pemberian gelar terhadap Pemimpin berkorelasi dengan pelaksanaan prinsip kepemimpinan dan merupakan penanda atas status, posisi,  peran dan tanggung jawab yang diemban oleh seorang pemimpin dalam Masyarakat. Pelaksanaan kepemimpinan secara prinsip bermakna pada serangkaian kemampuan individu untuk memimpin, mengarahkan, dan memotivasi dengan disertai sifat-sifat kepribadian bijaksana dan berwibawa. 

Dalam konsep pelaksanaan kepemimpinan pada masyarakat Kaili  terdapat gelar Magau dan Tomaoge yang menjadi istilah penyebutan bagi seseorang yang menjadi pemimpin masyarakat. Gelar adat dalam kepemimpinan  pada masyarakat Kaili memiliki arti dan makna yang erat kaitannya dengan sistem tata nilai pranata sosial masyarakat Kaili. Penyebutan atau gelar adat Magau dan Tomaoge merupakan bentuk penghargaan dan penghormatan masyarakat Kaili terhadap seseorang yang dianggap memiliki pengaruh, jasa atau peran kepemimpinan yang dilaksanakan. Secara filosofis dan simbolis  gelar adat Magau dan Tomaoge mencerminkan nilai-nilai luhur masyaarakat Kaili sebagai sebuah entitas. 

Terminologi kata Magau berarti pemimpin Kerajaan dalam struktur adat pemerintahan Kerajaan yang melingkupinya. Secara harfiah kata Magau adalah Raja yang merupakan pemimpin pada masa pemerintahan Kerajaan yang memiliki gelar adat, gelar status dan gelar kedudukan dalam hirarki genealogis turun temurun. 
Adapun kata Tomaoge secara etimologi adalah frasa yang  terdiri  dua kata Toma yang berarti "Bapak atau Ayah”, dan Oge yang berarti "Banyak”, maka  secara harfiah Tomaoge adalah pemaknaan terhadap posisi seseorang sebagai
"bapak atau ayah bagi Orang Banyak atau Masyarakat”. Gelar Magau dan Tomaoge memberi arti dan makna atas adanya sebutan Gelar Adat bagi seseorang yang menjadi pemimpin di Masyarakat Kaili.

Magau adalah gelar bagi Raja yang dipilih,  diangkat dan diberi kepercayaan untuk menjalankan sistem kepemimpinan dalam struktur pemerintahan wilayah Kerajaan (Kagaua). Prosesi pengangkatan Magau diawali dengan pelaksanaan Nangada pada Libu Potangara Nuada yang dilakukan oleh Para Totua Nungata yang berada pada wilayah keadatan dan menjadi perwakilan masing-masing Ngata atau kampung dalam satu wilayah Kagaua (Kerajaan). Setelah Libu Potangara Nuada oleh Para Totua Nungata menyepakati sosok atau figur yang diangkat menjadi calon Magau  maka Libu Potangara Nuada Totua Nungata akan mengusulkan calon Magau kepada Libu Ntina, kemudian Libu Ntina Nangada untuk mengetahui dan memastikan bahwa calon Magau memiliki sifat, karakter, status derajat dan kualitas genealogis sebagai Bija Nu Magau No Vati Nu Madika. 

Kelayakan sifat, karakter status derajat dan kualitas genealogis yang diputuskan dalam Nangada Libu Ntina akan menentukan seorang yang dapat dikukuhkan dan dilantik menjadi Magau dalam Pemerintahan Adat Kagaua. Peran Libu Potangara Nuada Totua Nungata  dan Libu Ntina  sangat menentukan dalam proses Penetapan Magau yang akan menjadi Pemimpin dalam Pemerintahan Kagaua.

Adapun Tomaoge adalah gelar adat yang diberikan kepada pemimpin sebagai bentuk penghargaan dan penghormatan ketika berada pada posisi sebagai Pimpinan dalam struktur Pemerintahan Wilayah Administratif. Pemberian gelar adat Tomaoge dilaksanakan sebagai wujud kesepakatan untuk menegaskan status pemimpin dalam kedudukannya pada wilayah keadatan. 

Tradisi pemberian gelar adat Tomaoge menjadi kelaziman setelah pemerintahan kekuasaan adat tidak lagi berlaku. Pemberian gelar adat Tomaoge merupakan  bentuk transisi personifikasi Magau yang merupakan Pemimpin dalam wilayah kekuasaan adat bergeser ke Pimpinan dalam struktur pemerintahan Wilayah Administratif. Meskipun secara historis status gelar adat Tomaoge sesungguhnya tidak terdapat dalam struktur  Libu Nu Madika  (struktur kekuasaan adat Kerajaan). 

Ketentuan adat terkait tata cara dan prosesi pemberian  gelar adat Tomaoge merupakan  prosesi penyematan atau pemberian gelar adat yang dilaksanakan oleh Libu Mbaso Potangara Nuada yang direpresentasi oleh beberapa Dewan Adat Patanggota dan Dewan Adat Pitunggota yang terdapat di beberapa wilayah keadatan Lembah Palu meliputi Palu, Sigi-Dolo, Sigi-Sibalaya, Kulawi, Banawa, Parigi, Loli, dan Tavaili.  

Dalam Libu Mbaso Potangara Nuada yang  diwakili oleh Dewan Adat Patanggota dan Dewan Adat Pitunggota  di Lembah Palu kewenangan atas keputusan Penyematan atau Pemberian gelar adat kepada seorang Tomaoge dapat dilaksanakan. Prosesi pemberian Gelar  Adat Tomaoge berdasarkan tata nilai keadatan merupakan wujud penghormatan terhadap tradisi dan budaya leluhur yang berlaku pada Masyarakat Kaili.

Magau dan Tomaoge merupakan dua gelar  adat yang diberikan kepada pemimpin dalam masayarakat Kaili di Sulawesi Tengah meskipun berada dalam derajat dan kualitas yang berbeda. Gelar adat bagi pemimpin mencerminkan peran, tanggung jawab, serta kedudukan seseorang dalam struktur  sosial dan budaya Masyarakat. Dalam filosofi kepemimpinan yang melekat pada gelar adat Tomaoge dan teristimewa Magau secara inheren melekat sifat-sifat Tomalanggai, Tobaraka, dan Tomanasa yang bermakna pada kualitas keluhuran Sikap, Tindakan, Kebijakan dan Kewibawaan yang terbentuk dari nilai kepemimpinan pada Masyarakat Kaili. 

Gelar adat  Magau dan pemberian Gelar adat Tomaoge tidak sekedar pencantuman  atau sebutan melainkan simbol yang menunjukan eksistensi, pengakuan, kehormatan dan fungsi pemimpin dalam menjaga tatanan masyarakat secara sosial dan budaya. Gelar adat menjadi penanda adanya fungsi dan peran pemimpin yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat. Gelar Adat  juga mereprsentasikan status dan kedudukan sosial dalam struktur Masyarakat yang menunjukan adanya tingkatan kehormatan dan kebangsawanan sekaligus simbolisasi atas adanya pengakuan terhadap keberadaan seorang pemimpin dalam Masyarakat.
Wallahu a'lam bissawab...

Boyaoge, 28 Juli 2025
Nisbah
Pemerhati  Budaya Kaili
 

Seri (27) Revitalisasi Budaya Kaili Analogi diametral Pagoli VS Transaksi Politik

Seri (27) Revitalisasi Budaya Kaili

Analogi diametral Pagoli VS Transaksi Politik 

"Pagoli" merupakan pranata sosial dalam sistem ekonomi masyarakat "Kaili" yang menguraikan tentang peran, posisi dan perilaku subjek   pembeli dan penjual dalam proses transaksi jual  beli hasil sumber daya laut dan pertanian. 
"Pagoli" sebagai subyek bertindak menjadi "tangan kedua" dengan serangkaian peran yang dimiliki untuk  mengatur dan menentukan nilai harga jual selanjutnya dalam transaksi jual beli hasil laut dan pertanian. 

Peran dan posisi  "Pagoli" pada masyarakat kaili, mendapat legitimasi dalam ruang transaksi jual beli sebagai sebuah proses yang yang sah dan  diakui dalam  menentukan jalannya sistem ekonomi pasar. Dalam pelaksaanaan transaksi jual beli pada konsep  "Pagoli" berlaku kontrol normatif mengenai hak-hak penjual dan pembeli yang bertumpu pada sistim nilai ekonomi masyarakat. Dalam transaksi, penjual dan pembeli tidak  berorientasi pada keuntungan pasar semata  tetapi juga kepada pola distribusi sumber-sumber pemenuhan kebutuhan primer masyarakat. 
Secara etik proses transaksional "Pagoli" tidak membenarkan adanya dominasi sepihak dengan memberi keuntungan sebesar-besarnya dan kerugian sebanyak-banyaknya baik kepada pihak pembeli maupun pada pihak penjual. Proses transaksional  idealnya  mengedepankan akses dalam distribusi hasil pertanian dan perikanan dengan kemanfaatan secara luas pada masyarakat. 

Menggunakan konsep  "Pagoli", sebagai analogi pembanding dalam mengurai  Politik transaksional dalam realitas politik, terdapat sisi diametral antara pagoli dengan politik transaksional. "Pagoli" termanifestasi sebagai sebuah sistem ekonomi yang mengejawantah secara konsisten sementara politik transaksional sebagai pola perilaku politik yang bersifat sporadik yang  akan muncul  saat momentum periodisasi kontestasi politik terjadi. Politik transaksional mengemuka ketika situasi kontestasi politik ditandai dengan terjadinya proses  memperdagangkan politik dengan segala hal terkait  kebijakan, kewenangan dan kekuasaan. 
Politik transaksional menjadi sebuah kredo yang tumbuh dan berkembang seiring menguatnya penerapan prinsip-prinsip demokrasi berlangsung di tengah masyarakat, dimana proses politik sarat dengan jual beli dan tukar-menukar jasa.  Politik transaksional  terjadi ketika  terjadi tawar menawar antara pelaku politik yang notabene adalah kontestan (calon) dengan konstituen yang diklaim dapat mewakili kepentingan politik. 

Menganalogikan pagoli dalam fenomena politik transaksional  dalam ruang kegiatan politik dapat menjelaskan berbagai pendekatan yang terjadi.  Adanya preferensi dengan pendekatan Kekeluargaan, kekerabatan dan  kedekatan dalam pertemanan dan persahabatan menjadi faktor pembentuk politik transaksional. 
Mengutip Boissevain, dalam Sulaiman Nizam (2002)  Politik transaksional, adalah hubungan pertemanan atau persaudaraan dalam setiap pendekatan untuk memenuhi permintaan.
Pada kondisi tertentu pendekatan politik transaksional meletakkan peran individu lebih dominan, dengan kecenderungan  tidak terikat kepada   peraturan   atau   sistem nilai tertentu. 
Fenomena politik transaksional sebagai sistem politik cenderung mengedepankan kepentingan pribadi dan golongan dalam ciri dan  sifat oligarkis. Kecenderungan politik transaksional  melahirkan situasi pro-kapitalis yang terkadang disertai sikap pengabaian terhadap hak-hak dasar masyarakat dalam menegaskan kepentingan fundamental.  
  
Indikator keberhasilan politik transaksional terlihat  dari  kesuksesan politik dalam meraih kekuasaan dan memperoleh kesejahteraan ekonomi bagi pelaku politik dan kelompoknya. Sementara Pagoli sebagai sebuah pranata sosial dalam sistem ekonomi menempatkan kekuatan kuasa bukan semata meraih penguasaan ekonomi  dan mengakses sumber-sumber kemakmuran untuk pribadi dan kelompok, melainkan untuk memperjuangkan kepentingan ekonomi  masyarakat dengan pola distribusi kebutuhan dengan membuka akses masyarakat terhadap pasar.

Logika politik transaksional, secara tidak langsung telah ikut mempengaruhi jalannya kehidupan politik. Politik transaksional memang bisa memuluskan kepentingan para pelaku politik mencapai orientasi politiknya, tetapi proses politik transaksional secara relatif dapat mengakibatkan buruknya kualitas moral para pelaku politik karena mengandalkan  kekuatan modal uang dalam mencapai dominasi kekuasaan. Para pelaku politik berpikir pragmatis dengan menyederhanakan segala tujuan demi memenuhi kepentingan kekuasaan. 

Kontestasi politik dalam demokrasi Indonesia lebih mirip pertandingan antara kontestan  individu  dan figur ketimbang pertandingan antara agenda substantif atau program ideologis yang koherensif. Dalam situasi paradoksal,  kontestasi lima tahunan yang demokratis nyaris tanpa substansi dan makna yang signifikan. Pelaku politik sering kali menjadi penentu utama keberhasilan kontestan dalam memenangkan pemilihan ketimbang agenda  program. 
Menggunakan analogi  Pagoli sebagai sebuah sistem dalam proses transaksi ekonomi yang tidak semata mengandalkan keuntungan namun juga diarahkan untuk memperkuat pemenuhan kebutuhan sumber-sumber  ekonomi  masyarakat. Sementara politik transaksional sekedar membentuk  sistem kepemimpinan yang hegemonis dengan melayani kepentingan kelompok belum sepenuhnya diarahkan untuk melayani kepentingan masyarakat secara substansial.
Wallahu a'lam bissawab....

Boyaoge, 09 Mei 2024
N I S B A H
Pemerhati budaya Kaili

Menyoal Sikap Politik

Serial Penguatan.... 
Catan Bebas
Menyoal Sikap Politik dalam Bingkai Politik Identitas
Kontestasi pemilu serentak 2019 telah menggiring elemen bangsa yg bergerak secara parsial menuju ruang politik identitas. Ruang publik telah terisi peran-peran antagonis yang menampilkan eksploitasi issu sara sebagai salah satu ciri bangunan oligarki.
Politisasi agama, persekusi, sentimental, sebagai penanda atas tumbuhnya warna politik sektarian menggeliat seakan sulit terhindarkan.


Politisasi Agama terligitimasi dalam tindakan komersialisasi nilai-nilai pandangan agama yang menggelindig bagai bola liar liar dengan membentur sudut-sudut ruang sosial dengan kuatnya. Politisasi agama ecara spontanitas membentuk perilaku insidentil masyarakat dengan kekuatan penuh yang menggerakan masyarakat untuk melakukan tindakan anarkis bahkan secara ekstrim memberi stigma negatif atas sebuah situasi sosial.
Ijtima ulama, tablig akbar, dan kegiatan keagamaan lainnya, telah menjadi penanda bahwa agama masih menjadi pilihan issu yang menarik untuk diolah dan diracik sebagai penarik simpati masyarakat jelang kontestasi politik akbar 2019. Denominasi agama terlihat begitu seksi sebagai objek untuk di eksploitasi sebagai jualan yang bakal mendapat keuntungan besar. Sikap dan perilaku fanatis begitu menonjol mengalahkan rasa soliditas, solidaritas, bahkan sikap saling menghargai.

Dalam ruang sosial kita tidak segan saling menghina, mengejek dan bahkan saling merendahkan nilai kedirian dan persahabatan, mengingkari hati nurani dengan kesimpulan bahwa calon dukungan kitalah yang paling baik karena calon pilihan lawan adalah buruk. Justifikasi keburukan bahkan tanpa sungkan di ungkapkan dengan pandangan yang hominem jauh mengabaikan kearifan dan kebijaksanaan yang idealnya harus tersaji dalam pentas demokrasi yang sangat menghargai perbedaan.

Secara umum bukankah sangat wajar ketika kita berbeda dan tidak sama dalam sebuah pilihan dalam alam demokrasi. Kontestasi yang sehat idealnya dapat menggiring kita dalam sikap agar tidak saling menghina, mengolok-olok apalagi merendahkan nilai kedirian seseorang atau kelompok. Bahwa kitalah yang paling benar, paling baik, paling unggul justeru mengajarkan sikap keserakahan, dominasi, superior yang tentunya secara kasat mata menjadi pembelajaran bagi generasi berikutnya. Bahwa dalam politik adalah wajar dan sah-sah saja untuk saling menghina, mengejek dan merendahkan orang lain. Perilaku tersebut seolah-olah menjadi pembenaran atas sebuah proses dalam realitas politik.

Dalam situasi ini, nilai keanggunan dan kesahajaan menjadi terabaikan dalam proses demokrasi dan kontestasi, padahal tujuan kita sesungguhnya dalam bingkai proses kontestasi adalah menciptakan tatanan demokrasi yang lebih baik dengan mengedepankan sisi edukasi untuk generasi pelanjut. Menjadi Naif justufikasi pembenaran adalah milik kita yang seolah menafikkan bahwa siapapun yang akan menjadi pemenang tetap berada dalam kendali Tuhan sang Pencipta..
 

Wallahu alam bissawab

Medio, 14 Januari 2019

N i s b a h
Pemerhati Pemilu

Seri (17) Revitalisasi Budaya Kaili N I P A L I

Seri (17) Revitalisasi Budaya Kaili

"N I P A L I"

Fenomena merebaknya Pandemi Covids 19 dengan daya paksa membentuk pola hubungan sosial berjarak (distancing social) dalam ruang interaksi sosial menjadi sebuah keniscayaan.
Pola hubungan sosial berjarak bahkan diikuti dengan kebijakan "karantina wilayah" (lockdown) telah "meruntuhkan" sejenak prinsip dan cara hidup manusia sebagai makhluk sosial.
Fenomena ini menjadi situasi umum terutama ketika diperhadapkan pada kondisi darurat dimana kehidupan sosial mengalami ancaman wabah dalam bentuk penyakit menular.

Di Sulawesi Tengah, jejak kehidupan masyarakat yang mengalami ancaman wabah seperti halnya Covids 19 bukanlah kali pertama menyerang. Banyak catatan sejarah tentang penyakit menular dimasa lalu disampaikan baik lewat dokumen Kolonial dan
koran nasional ketika peristiwa tersebut terjadi.
Laman historia.id   mencatat diantara berbagai jenis penyakit menular sekitar tahun 1658 penyakit cacar pernah melanda Sulawesi Tengah (Midden Celebes). Selain itu terjadi juga serangan Flu Spanyol tahun 1918-1919 yang menjadi pandemi saat itu. Sekitar 500 juta penduduk dunia terinfeksi, dengan korban meninggal sekitar 50 juta orang di seluruh dunia. Virus ini lebih mematikan ketimbang perang dunia pertama yang berakhir pada tahun itu.

Dokumen Historia Sulteng dan catatan seorang Sejarwan Mohamad Herianto yang dimuat di Sulteng Post, mengurai tentang wabah Flu Mao di Kota Palu, tahun 1970.
Wabah penyakit di lembah Palu terdokumentasikan dalam beberapa arsip seperti koran.
Mewabahnya "Jua Lele" atau penyakit menular akibat Flu Spanyol tahun 1920-an di tepi danau Poso mengakibatkan banyak orang meninggal dunia ketika itu.
Wabah Kolera yang disebut sebagai "Rumpa Datu"bahkan sempat menyerang tahun-tahun sebelumnya di Lembah Palu. Wabah Kolera ini terjadi karena cara hidup tidak bersih dan kotoran hewan yang ditemukan disembarang tempat.
Di Lembah Palu pada tahun 1942, juga pernah di serang wabah penyakit Kusta (Lepra) atau populer bagi orang Kaili disebut "Lampa Vau (Dua Oge)", akibatnya sejumlah wilayah pun harus di isolir karena penyakit tersebut. Bahkan Pemerintah Kolonial Belanda membangun gedung isolasi penderita Lepra yang disebut Lepratoruim di Desa Vatusampu. Kondisi berkepanjangan yang di akibatkan penyakit Lepra memaksa pemerintah harus membangun Sanatorium di Kapopo sebuah wilayah perbatasan antara Petobo dan Kavatuna.

Fenomena kondisi virus Pandemi dan penyakit mewabah ini bahkan didokumentasikan dengan apik oleh seorang seniman Kaili bernama Hasan Bahasuan, melalui lagu yang mengisahkan legenda seorang Putri Raja bernama Randa Ntovea yang harus "NIPALI RI TANA JAMBALI" ( diasingkan di tempat khusus) akibat menderita satu penyakit (Dua Da).

" Nipali" bermakna pada sebuah proses pengasingan terhadap seseorang yang terjangkiti suatu penyakit menular dan mewabah. Bagi masyarakat Kaili
Ketika itu, terdapat keyakinan bahwa bagi anggota masyarakat yang terkena wabah penyakit menular dianggap sebagai mendapat kutukan. Arwah manusia yang terjangkiti wabah tidak akan diterima di surga. Bahkan ketika ada salah satu anggota masyarakat pada sebuah kampung di kerajaan terkena wabah, maka seluruh kampung diyakini telah terkena kutukan. Karenanya, siapapun yang terkena wabah harus diasingkan atau "NIPALI". 
Pengasingan ini dilakukan karena penderita dianggap membawa sial dan tidak diterima di sorga. Bahkan, mereka yang mengalami penyakit dan tidak sembuh dimungkinkan untuk dikeluarkan dari lingkungan tempat tinggalnya.

"Nipali" adalah sebuah proses yang telah dilakukan oleh para leluhur di Tanah Kaili sejak dulu. Proses "Nipali" menunjukkan sebuah ketaatan terhadap nilai hidup dalam sebuah lingkungan sosial tempat tinggal atau "Ngata". Tabunya penderita suatu penyakit untuk tetap berada dalam lingkungan sosialnya justeru dianggap sebagai "sebuah pelanggaran" terhadap prinsip hidup bersama yang harus menularkan kebaikan dan keselamatan. "Nipali" memberi inspirasi terhadap kita saat ini ketika diperhadapkan dengan fenomena pandemi Covids 19, bahwa harus ada ketaatan terhadap " pembatasan hubungan sosial berjarak (distancing social) dan bahkan terhadap adanya "karantina wilayah" (Lockdown). Perilaku ketaatan atas Prinsip hubungan sosial berjarak dan karantina wilayah merupakan sebuah kearifan untuk menjaga lingkungan sosial kita sekaligus masa depan pada ruang sosial dimana kita berada. Bahwa yang kita butuh adalah toleransi untuk saling menjaga agar kehidupan dibumi dapat tetap lestari.... Insya Allah.
#marijagajarakuntukkehidupanselanjutnya.

Medio, 7 April 2020
N I S B A H
Pemerhati Budaya





Edisi Kontemplasi... "NEW NORMAL", MENGGUGAT SITUASI SOSIAL KITA , TEPATKAH ?

Edisi Kontemplasi... 

"NEW NORMAL", 
MENGGUGAT SITUASI SOSIAL KITA , TEPATKAH ?

Diskursus "New normal" menggiring kita pada pertanyaan apa yang akan menjadi "Normal Baru (New Normal)" dalam situasi Pandemi Covids 19. 
Jika ini sebuah tindakan protokol kesehatan untuk penanganan covids 19, apakah konsep ini  terkait cara, teknik, dan strategi untuk mereduksi Pola Perilaku, Pola Hidup, Pola Kebiasaan, untuk membentuk  perilaku baru masyarakat atau bahkan masyarakat dipaksa adaptif pada "situasi baru". 

Kehidupan masyarakat terbentuk dari  Perilaku masyarakat yang kemudian membentuk kebiasaan yang ditentukan situasi lingkungan dan proses interaksi dengan di tunjang oleh pola pikir masing-masing individu. 

Konsep "New Normal" yang digunakan untuk penanganan Situasi pandemi covids 19, menjadi sebuah konsep yang "seolah-olah baru" untuk diadaptasi.
Konsep ini menjadi "debatable" karena sesungguhnya kita telah digiring  pada argumentasi bahwa terdapat arah kehidupan baru yang akan di tuju dengan kemampuan meminimalisir pengaruh covids 19 atas sebuah kehidupan baru masyarakat, meskipun "kehidupan  niscaya selalu bergerak pada situasi baru" dimana setiap orang pada akhirnya harus menjadi "the  guardian of the human life" jika seperti ini (kalau sekiranya kita  tidak terjebak pada  istilah ) proses kehidupan dalam perkembangan masyarakat seringkali sudah menunjukkan semangat akan adanya perubahan  karena perubahan sosial adalah sebuah keniscayaan yang senantiasa berproses.

Ketangguhan masyarakat di Palu, Sigi dan Donggala  atas terjadinya bencana alam 28 September 2018 sesungguhnya menampilkan sebuah contoh nyata bagaimana semangat  akan "situasi normal" telah membentk  sebuah realitas, jadi sesungguhnya apa yang "new" atau "baru", ataukah kita hendak mengadopsi kehidupan baru dari dunia antah berantah, 
Apa yang sesungguhnya yang hendak kita bentuk? Cara pandang barukah?,  strategi protokol kesehatan barukah?, atau pembentukan situasi baru atas sebuah realitas?...
Gejala ini menjadi indikasi bahwa apakah kita sedang dalam kondisi  tidak baik-baik saja ketika diperhadapkan pada situasi pandemi covids 19. 

Jika menilik situasi sosial  dalam  refleksi ruang interaksi sosial kita, riuh-rendah, pro-kontra, suka-tidak suka, setuju-tidak setuju menjadi cara pandang kita terhadap penanganan covids 19 yang idealnya  harus tetap mengandalkan kearifan lokal dalam kehidupan  alamiah. Situasi sosial haruslah terbentuk dari realitas budaya tentunya dengan bertumpu pada nilai budaya lokal.

Perkembangan masyarakat dari primitif ke agraris hingga menuju industrialis menjadi tanda alam bagaimana manusia dalam kelompok mampu bertahan hidup secara survival dan selalu dalam kendali  hubungan kosmologi...
Substansi dasar sisi kemanusiaan kita dalam proses interaksi sosial akan memunculkan secara alamiah  rasa solidaritas, empati,  soliditas bahkan anti sosial yang mengikat kohesitas sosial. 
Wallahu alam bissawab...

Consept the "New Normal" is debatable... 
Maybe this fact was utopis...
#keepstrongforthestruglleoflife.

Medio, 27 Mei 2020,
N I S B A H
Pemerhati Sosial  Budaya

Seri (6) Penguatan Budaya Kaili Stratifikasi Sosial Masyarakat Kaili.

Seri (6) Penguatan Budaya Kaili

Stratifikasi Sosial Masyarakat Kaili.

Stratifikasi sosial atau pelapisan sosial adalah tempat atau kedudukan dalam hirarki tatanan masyarakat (Manheim, 1996). Stratifikasi atau pelapisan sosial menunjukkan adanya perbedaan kedudukan atau status individu dalam masyarakat yang didasarkan pada kelas-kelas sosial yang bertingkat dengan wujud lapisan tinggi, sedang, dan rendah.

Stratifikasi sosial pada masyarakat Kaili didasarkan pada kriteria yang ditentukan oleh keturunan, keaslian, dan kekuasaan adat yang dimiliki. Secara umum zaman dahulu hingga kini pada masyarakat Kaili ditemukan empat tingkatan stratifikasi/pelapisan sosial yaitu :
1. Magau (Raja)
2. Maradika (madika) atau to
     tua nungata (Bangsawan).
3. Rakyat kebanyakan (to dea)
4. Budak (batua)

Magau (Raja) berdasarkan keturunannya diyakini adalah turunan dari to manuru. To Manuru yang berarti perempuan yang menjelma secara tiba-tiba. Masyarakat Kaili mempercayai bahwa raja secara turun temurun merupakan keturunan langsung dari dewa. Bangsawan adalah kelompok masyarakat penduduk asli yang mempunyai kedudukan sosial lebih tinggi dari rakyat kebanyakan dan berdasarkan silsilahnya masih keturunan Magau (Raja) atau bahkan memiliki ikatan/hubungan kekerabatan dengan Magau (raja).

Rakyat kebanyakan adalah golongan penduduk biasa yang tidak mempunyai pertalian darah dengan kelompok bangsawan atau bukan keturunan raja. Saat ini golongan pendatang yang bukan suku Kaili dikategorikan dalam lapisan masyarakat kebanyakan. Adapun budak merupakan kelompok masyarakat masyarakat lapisan bawah, mereka merupakan kelompok masyarakat yang berfungsi melayani kebutuhan dan keperluan hidup sehari-hari golongan bangsawan atau raja. Saat ini kelompok masyarakat budak tidak tampak secara nyata dalam kehidupan masyarakat namun masih diakui bahwa lapisan masyarakat budak ini pernah ada.

Pelapian sosial menciptakan perlakuan berbeda bagi setiap anggota masyarakat. Bagi golongan madika atau keturunannya akan memiliki kekhususan tersendiri yang berbeda dari lapisan masyarakat bawah. Madika atau Maradika adalah gelar atau sebutan bagi golongan yang memegang kekuasaan adat atau memiliki keturnan darah biru dan masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Magau. Bagi Madika yang tidak memiliki kekuasaan adat atau hanya merupakan keturunan darah biru disebut dengan Madika Kadi, sementara bagi Madika yang memiliki kekuasaan di sebut dengan Madika Mbaso. Pemberian nama seseorang yang berada pada golongan Madika juga berbeda golongan biasa. Umumnya nama-nama keturunan Madika menggunakan gelar khusus di awal namanya seperti “Andi”, “Dae”, dan “Intje”, sementara panggilan terhadap mereka sering disebut “Pua".

Atribut yang dipergunakan pada lapisan Madika berupa rumah yang bentuknya lebih besar yaitu Sou Raja bagi Magau, Kataba dan Palava bagi golongan Madika dan To Dea. Jenis pakaian bagi Magau dan To Dea juga dibedakan dari ragam perhiasan corak dan warna pakaian yang dikenakan . Penggunaan simbol dengan instrumen ulo-ulo dalam upacara kelahiran, perkawinan, dan kematian menunjukkan bahwa atribut,dan simbol pada golongan madika tidak sama dengan masyarakat biasa.
Rangkaian upacara kelahiran yang dilalui ketika menjelang proses kelahiran dimulai dengan upacara Nolengga yang dilakukan ketika kandungan genap berusia tujuh bulan kemudian setelah lahir dilakukan upacara Nokeso/Noloso dan Nosombebulua. Rangkaian upacara ini lazim dilaksanakan pada golongan Madika. Pada upacara perkawinan terdapat perbedaan antara golongan keturunan Magau dan Madika dengan rakyat biasa. Pakaian yang dikenakan adalah pakaian adat dengan corak dan kualitas kain yang baik. Biasanya pengantin pada lapisan ini akan menggunakan pakaian dan asesoris adat yang telah disimpan lama secara turun temurun yang terbuat dari emas murni.

Pada masa pra Islam terdapat upacara pengobatan atau penyembuhan orang yang sakit dimana ada perbedaan antara upacara yang di berlakukan bagi Magau yang disebut Balia Maloso, sementara bagi masyarakat biasa berlaku Balia Bone Biasa. Perbedaan antara upcara kedua golongan ini ditandai pada kualitas dan kuantitas atribut yang digunakan.
Pada upacara kematian, perbedaan dengan golongan masyarakat biasa dengan golongan Madika (bangsawan) atau turunan Magau (raja) tampak pada peti jenazah yang di usung dalam keranda yang dihiasi dengan kain warna-warni (Tabere) dan ditandu dengan bambu kuning. Selain itu pada golongan ini prosesi pelaksanaan upacara kematian yang dilalui sangat banyak. Atribut golongan bangsawan (Madika) cirinya relatif sama dengan golongan Magau namun tidak boleh melampaui milik Magau, baik kualitas, jumlah, isi serta makna yang berbeda.

Perkawinan pada golongan keturunan Magau dan Madika disebut dengan adat Nosibolai/Nibolai sementara bagi golongan Ntodea atau rakyat biasa disebut dengan Nosiduta. Upacara perkawinan pada masyarakat Kaili ditentukan pada nilai mahar adat yang disebut Sunda. Adapun penentuan nilai mahar adat didasarkan pada status dan kedudukan sosial atau Anggu Nu Vati (Abdullah, 1975).
 
Nilai mahar baik kualitas, kauntitas dan jenisnya harus sesuai dengan status dan kedudukan serta keturunan seorang perempuan dalam lapisan tertentu. Dalam masyarakat ini dikenal ketentuan nilai mahar berdasarkan aturan adat yang berlaku yaitu bagi raja dan keturunannya (Vati Nu Madika) berlaku adat pitumpole, golongan bangsawan (Vati Nu Oge) berlaku adat Patampole atau Limampole, bagi golongan masyarakat biasa ( Vati Nto Dea) berlaku adat Sanjasio, sementara bagi golongan budak (Vati Nu Batua) tidak diatur berdasarkan ketentuan adat.

Ketentuan mahar tersebut merupakan syarat yang wajib disertakan untuk melengkapi Sambulugana (kepala mahar adat). Sambulugana ini merupakan syarat pertama yang harus disiapkan ketika terjadi peminangan pada semua tingkatan masyarakat baik raja dan keturunannya, bangsawan maupun golongan biasa. Adapun Sambulugana terdiri dari :
1. Sebuah tempat sirih (Sambulu) dari emas lengkap dengan isinya berupa sirih, pinang, gambir, kapur sirih, tembakau, yang setiap jumlahnya disesuaikan dengan tingkatan strata sosialnya. 2. Seekor domba atau kambing sebagai kepala (Balengga nu sambulugana).
3. Sebentuk cincin emas sebagai inti (Unto Nu Sambulugana).
4. Seperangkat pakaian perempuan lengkap dengan perhiasannya.
5. Buah-buahan yang jenisnya disesuaikan dengan tingkatan stratanya.

Kemungkinan terjadinya perkawinan dari golongan berbeda dapat saja terjadi dimana turunan magau atau golongan madika kawin dengan golongan To Dea. Melakukan perkawinan dengan turunan magau atau golongan madika menjadi satu kebanggaan karena derajat dan status sosial akan naik dan berada pada lapisan atas. Meskipun mereka yang telah terikat oleh hubungan darah karena terjadinya perkawinan antar lapisan, namun tetap ada pembedaan dalam pergaulan sehari-hari pada zaman dulu.

Hubungan antar lapisan pada masyarakat Kaili terbangun melalui hubungan kekerabatan, hubungan bertetangga, hubungan pekerjaan, dan hubungan kemasyarakatan. Hubungan kekerabatan dapat terjalin erat melalui pertalian darah dan perkawinan. Hubungan ini menegaskan adanya hubungan kuat yang terikat oleh perkawinan dapat menjadi ikatan keluarga yang satu. Tolong menolong dengan prinsip sintuvu posara menunjukkan adanya hubungan yang erat. Hubungan dalam bertetangga terjalin sangat akrab terutama jika berasal dari lapisan status sosial misalnya antara golongan sesama Madika yang sama namun hal ini tidak mengganggu hubungan yang terjalin dengan masyarakat biasa, karena lapisan sosial ini biasanya yang paling sering memberikan pertolongan jika ada pekerjaan yang diselesaikan.

Hubungan pekerjaan yang terjalin antar lapisan sosial berbeda pada masa pemerintahan kerajaan masih berlaku memperlihatkan hubungan yang berbeda. Hal ini terjadi karena lapisan masyarakat budak menjadi pekerja yang mengurus seluruh sawah, ladang dan peternakan milik Magau atau Madika. Golongan masyarakat biasa kadangkala juga memberikan bantuan kepada Magau atau Madika jika pelaksanaan upacara daur hidup dilaksanakan. Hal ini dilakukan sebagai simbol pengabdian dan rasa tolong menolong yang mendasari hubungan tersebut.

Pada masyarakat kebanyakan (To dea) juga terdapat pelapisan sosial samar yaitu kedudukan dan status sosial yang dimiliki seseorang atau sekelompok orang didasarkan pada keahlian dan keberanian yang dimiliki. Pada masyarakat Kaili keberadaan Sando atau Pagane (dukun atau ahli mantera) memiliki status sosial tersendiri dalam masyarakat. Dengan keahliannya yang dapat mengobati penyakit dan juga menentukan hari baik dan buruk untuk melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari. Sando atau Pagane dapat menentukan dimana dan saat mana sebaiknya membangun rumah, dan menempatinya. Demikian pula kapan saatnya untuk memulai masa tanam dan masa panen. Peranan Sando atau Pagane pada masa lalu sangat menonjol dan diakui masyarakat karena dapat menuntun kelompok masyarakat melakukan aktivitasnya.

Demikian pula halnya dengan seseorang yang diberi julukan Tadulako akan memiliki status sosial tersendiri dalam masyarakat. Hal ini terjadi karena seseorang yang memiliki julukan Tadulako dianggap memiliki keberanian dan kesaktian, ilmu kebal, dan pengetahuan akan ilmu bela diri serta keterampilan menggunakan alat perang. Mereka dihargai dan dihormati oleh masyarakat dan terkadang mereka diangkat sebagai pemimpin komunitas atau kelompok secara tidak resmi.

Gambaran mengenai stratifikasi sosial berdasarkan faktor keturunan dalam upacara siklus hidup, saat ini tidak lagi dominan dalam kehidupan masyarakat Kaili khususnya pada masyarakat biasa meskipun pada klan-klan yang notabene adalah keturunan raja (madika) atau golongan bangsawan prosesi dengan simbol-simbol ini masih dapat ditemui dengan jelas.

Seiring terjadinya perubahan dalam kehidupan sosial yang ditandai dengan makin heterogennya kehidupan masyarakat, maka pelapisan sosial tidak lagi semata-mata didasarkan pada faktor keturunan, keaslian maupun kekuasaan yang dimiliki seseorang tetapi juga dengan memperhatikan jabatan kepangkatan dalam pemerintahan, tingkat pendidikan baik formal dan non formal seperti intelektual, ulama, tokoh-tokoh adat maupun profesi lainnya dalam bidang pengetahuan. Namun jika seseorang yang memiliki kelebihan-kelebihan tersebut berasal golongan bangsawan dan masih keturunan raja maka kedudukan dan status sosialnya akan semakin tinggi.

Boyaoge, 6 september 2019
Pemerhati Budaya Kaili
NISBAH

Edisi Kontemplasi EMPATIKU UNTUKMU LEMBANTONGOA

Edisi Kontemplasi
EMPATIKU UNTUKMU LEMBANTONGOA

Lembantongoa wajahmu hari ini menjadi saksi atas luka kemanusiaan, pedih tertoreh pada jejak kematian yang tersajikan... 

Kenapa harus  ada lagi cara pandang  merendahkan.., 
Kenapa harus ada lagi sikap yang  menghinakan.., 
kenapa harus ada lagi perilaku  melukai.., 
Kenapa harus ada lagi perangai  kebiadaban.., 
Kenapa harus ada lagi tindak  kekerasan..,

Ketika kesejatian derajat manusia harus tampil dalam ruang untuk saling
membunuh....,
Maka tak ada lagi arti kasih sayang.., 
tak ada lagi arti rasa empati...,
tak ada lagi rasa solidaritas.., 
tak ada lagi rasa persaudaraan

kemana kesedihan ini akan kami bawa...  ketika jejak kekerasan akan menjadi penanda sejarah, akankah lekang rasa toleransi  atau akan  tergerus dalam lorong waktu 
Kami bertahan dalam mimpi "kedamaian"...

Medio, November 2020
N I S B A H

Edisi Kontemplasi... Menyoal One Piece VS Merah Putih

Edisi Kontemplasi...

Menyoal  One Piece VS Merah Putih 

Fenomena peristiwa pengibaran bendera One Piece dibawah Bendera Merah Putih jelang perayaan Hari Kemerdekaan RI ke-80 menjadi viral dan memicu perdebatan luar biasa. Bendera One Piece yang bergambar tengkorak dengan topi jerami menjadi sorotan karena  pemasangannya yang di letakkan  bawah Bendera Merah  Putih dijustifikasi sebagai situasi tergerusnya semangat nasionalisme kebangsaan. Ketidak setujuan atas pemasangan bendera One Piece dinarasikan sebagai tindak provokatif dan propaganda yang dapat menurunkan martabat Bendera Merah Putih sebagai simbol Nasionalisme Kebangsaan.  

Bendera  One Piece  merupakan anime asal jepang bergambar tengkorak dengan topi jerami  yang mengilustrasikan kelompok bajak laut dengan tokoh utama bernama Monkey D Luffy. Bagi kelompok penyuka tokoh ini,  sejumlah kisah dalam One Piece  secara ekstrim merepresentasikan perlawanan terhadap ketidakadilan. Dalam beberapa kisahnya, Monkey D Luffy dan rekannya harus menghadapi pemerintahan yang korup, militeristik, sadistik, dengan praktik pelanggaran hak asasi manusia, genosida, diskriminasi ras, hingga upaya memanipulasi sejarah.

One Piece adalah simbol ekspresi bagi penyuka tokoh ini yang relatif berasal dari gen (Y) milenial dan gen (Z) zoomers yang berada di era transisional. Bagi dua tipe generasi ini, Korelasi pemaknaan One Piece dikaitkan dengan semangat kebebasan, ekspresi keberanian, dan perlawanan terhadap ketidakadilan. Pengibaran bendera One Piece bahkan  diasumsikan sebagai ketidakpuasan dan kritik atas realitas kehidupan dalam  entitas bernegara.

Bagi kelompok penyuka anime ini pemaknaan terhadap bendera One Piece, awalnya bersifat superficial. Kesadaran pemaknaan kemudian berubah menjadi simbol kritik sosial. Bendera One Piece  dirasakan mampu mewakili keresahan atas dahsyatnya benturan situasi sosial  yang terjadi terkait sulitnya mendapatkan lapangan pekerjaan diikuti  dengan situasi  sosial mutakhir yaitu kebijakan pembekuan rekening yang pasif  dan  penyitaan tanah yang menganggur.
Terdapat  pesan moral kuat dari anime  One Piece yang menegaskan semangat kebebasan, anti-penindasan, dan keberanian melawan otoritarianisme. Ekspresi simbolik untuk menolak ketimpangan sosial, melawan sistem yang korup, atau sekadar menyuarakan kebebasan berpikir dan bertindak.

Menyelami pemaknaan atas ilustrasi One Piece  yang dianggap representatif menggambarkan kondisi yang dialami sebagian kelompok masyarakat, menjadi kilas balik atas tindakan generasi pendahulu yang saat ini sdh memasuki fase baby boomers.  Sekitar tahun 80 dan 90-an,  situasi Dejavu  pernah terjadi dimana generasinya  menampilkan kegandrungan dan kecanduan terhadap bendera Amerika dan Inggris yang notabene merupakan simbol  negara lain.  Kegandrungan dan kecanduan  menjadi simbol identitas  yang mencirikan kemajuan pergaulan remaja ketika itu. Pemasangan bendera negara  Amerika  dan Inggris  dalam ruang privat seperti kamar tidur dan ruang interaksi bergaul  menjadi penanda bahwa kelompok remaja ketika itu adalah kelompok yang memiliki pergaulan modern. Pun saat ini sesungguhnya selain anime One Piece kegandrungan generasi millenial dan generasi zoomers terhadap K-Pop harus diletakkan dalam persepsi  yang sama dengan pemasangan  bendera One Piece agar tidak terjebak dalam dikotomi parsial. 

Diskursus bendera One Piece hanyalah sebagai simbol kritik, layaknya puisi, gambar, lagu, film, atau karya seni lainnya. Pemasangan bendera One Piece di bawah bendera Merah Putih dalam pendekatan interaksionis simbolik dimaknai sebagai cara dan tindakan  komunikatif.   Cara dan tindakan  komunikasi menjadi ekspresi simbolik untuk membuka diskusi  masyarakat tentang ketidak puasan terhadap kondisi entitas negara (Jurgen Habermas).

Bisa jadi, Pemasangan bendera One Piece  dibawah bendera Merah Putih merupakan proses inter tekstualitas atas  krisis komunikasi yang terjadi antara rakyat dan negara. Rakyat tidak lagi bisa menyampaikan aspirasi secara formal, sebaliknya harus secara nonformal melalui cara-cara viral di media sosial. Bendera One Piece  telah menjadi simbol perwakilan dari protes atau kritik. Secara sosiologis, meluasnya tindakan pengibaran bendera One Piece, menunjukkan adanya solidaritas mekanik yang berkembang menjadi solidaritas organik seperti dinyatakan oleh Durkheim. 

Ketika bendera One Piece dikibarkan di depan rumah-rumah kecil di gang-gang sempit, dibawa truk yang melintasi kerasnya jalanan, ataupun muncul di linimasa media sosial, mungkin ia bukan ingin menyaingi Merah Putih atau bahkan mendegradasi semangat nasionalisme, tetapi mungkin pengibaran dan pemasangan  bendera  One Piece  hanya sekedar wujud ekspresi  ingin didengar dari keterhimpitan dan sesaknya beban yang menyeruak di ruang sosial.
Wallahu a'lam bissawab...

Boyaoge, 8 Agustus 2025,

NISBAH
Pemerhati  Perempuan dan Budaya Kaili

Edisi Kontemplasi KEBAYA, KONDE dan HARI IBU

KEBAYA, KONDE dan HARI IBU

Jelang 22 Desember menjadi momentum sejarah yang menandai semangat perjuangan perempuan Indonesia. Meskipun perayaan "HARI IBU" yang diperingati setiap tanggal 22 Desember dilaksanakan dalam "kesemarakan" yang "riuh rendah" namun terasa perempuan masih terikat dalam suasana profan dan penuh romantisasi kedirian yang tidak berbanding lurus dengan peran substansial perempuan dalam wilayah domestik dan publik.
Personifikasi perempuan dengan potensi kedirian dan nilai peran yang dimiliki bahkan seringkali menjadi tereduksi untuk menjalankan peran-peran karitatif. Peran dan fungsi perempuan seolah sekedar tampilan yang di simbolisasi dengan kewajiban memakai "kebaya dan konde".

Tampilan "kebaya dan konde" menjadi ciri komersialisasi perempuan secara manipulatif di setiap momentum "Hari IBU". Simbolisasi hari Ibu bahkan mampu mengaburkan nilai peran dan kontribusi riil perempuan dalam ruang sosial tertentu khususnya Perjuangan perempuan dalam mengatasi kebutuhan hidup sehari-hari. Bahkan ketika Hari IBU 22 Desember dirayakan sebagai penanda untuk menegaskan bahwa peran perempuan sebagai isteri pengasuh anak, pengelola Rumah Tangga dan pendamping suami menjadi sangat penting dan strategis untuk menopang kesatuan sosial yang bernama "keluarga" agar tetap terkendali dalam harmoni.

Paradoksal "Kebaya dan Konde" menegaskan bahwa kesejatian semangat hari ibu tidaklah di bentuk dari tampilan fisik, bahwa terdapat semangat perjuangan gagasan dan ide yang disertai tindakan perlawanan atas situasi perempuan yg mengalami ketidak adilan dan diskriminasi, sehingga semangat perlawanan perlu dimaknai secara mendalam.
Pada Hari Ibu "konde dan kebaya" masih menandai tampilan perempuan sebagai simbol selebrasi, tampilan karitatif ini justeru menjadi jebakan hadirnya sikap sentimentil perempuan untuk mengelus-ngelus rasa emosional perempuan agar "sebisanya" dapat tampil cantik, modis, bergaya dengan trendy mode berbusana. Perempuan sangat mudah muncul dengan tampilan ini karena perempuan dalam perspektif gender digambarkan akan dengan mudah membentuk situasi ini sebagai konsekwensi dari dari konstruksi sosial atas ruang kehidupan perempuan.

Saatnya memaknai Hari Ibu dengan semangat untuk memberi penguatan terhadap perempuan agar memiliki pilihan terhadap situasi sosial berdasarkan kesadaran yang dilandasi otoritas nilai kedirian.
Saatnya perempuan melepaskan diri dari keterjebakan kepentingan pragmatis dalam kendali otoritas diluar kediriannya.
Saatnya melepas ikatan eforia selebrasi Hari Ibu sebagai"tampilan karitatif" dengan hanya sekedar menghadirkan "kebaya dan konde" tanpa pemaknaan substansial peran fungsi perempuan yang lebih hakiki....
 

Perempuan harus Kuat, harus Berani, bersama menuju keterbebasan dari penindasan...
Selamat Hari Ibu....


Boyaoge, 22 Desember 2019
Pemerhati Budaya & Perempuan
N I S B A H

INDONESIAKU...MEMAKNAIMU DI 80- TAHUN KEMERDEKAAN

INDONESIAKU...
MEMAKNAIMU DI 80- TAHUN KEMERDEKAAN

Indonesiaku...
Menganalaogikan eksistensimu semisal raga seorang "Ibu", 
Mengantar pengembaraan nalar tentang adanya fungsi  reproduksi yang dijalankan seorang Ibu dalam siklus kehidupan manusia. 
Analogi  fisik "ibu" dengan fungsi reproduksi yang berlangsung secara periodik dalam batas ruang dan waktu, menjadi gambaran bahwa perjalananmu telah melewati batas kesejatian fungsi ragawi yang diperankan secara alamiah. 

Pada wujudmu tampil perubahan fisik sebagai tanda kerasnya hentakan pergulatan hidup yang terjadi. 
Personifikasimu sebagai "Ibu Pertiwi"  telah menjadi simbol lekat atas eksistensimu sebagai "ibu" pemberi kehidupan dan sebagai "dewi" pemelihara alam yang telah melahirkan  beragam kehidupan sekaligus penjaga situasi dan kondisi kehidupan kebangsaan agar tetap terpelihara. 

Indonesiaku...
Dalam rangkaian 80 Tahun perjalananmu,    melewati rentang waktu yang panjang,
langkah semakin tertatih, bebanmu semakin  berat, perjuanganmu  semakin melemah mengurai  ujian yang mendera,
Saat keletihanmu memperlihatkan kesakitanmu, Bencana, Pandemi, Krisis, Kesejahteraan,  dan berbagai masalah sosial berkelindan menjadi himpitan yang menyesakkan.

Indonesiaku...
Hari ini engkau telah berada di separuh lebih babad perjalanan panjang,
Di ragamu yang terus menapaki masa renta,
Di perjalananmu  melewati   berbagai kaledoskop peristiwa,  
Tantangan terus menggelayut perjalananmu sebagai sebuah takdir sejarah. 
Dinamika  entitas  terus bergulir sebagai tanda dari sebuah pergerakan menuju  perubahan, 

Indonesiaku...
Saat ini 80  Tahun yang lalu
Tonggak sejarah telah ditancapkan
Asa dan semangat rakyat telah dikobarkan
Arah dan tujuan bernegara telah ditegaskan 
Identitas kebangsaanmu telah diproklamirkan...

80 Tahun Merdeka  bukan hanya sekedar angka yang dituliskan,
tetapi meneguhkan eksistensimu sebagai bangsa.
80 Tahun Merdeka  bukan hanya sekedar momentum peristiwa yang dilewati,
tetapi menjadi  jejak panjang perjalanan bangsa yang terus bergerak, berubah, dan tumbuh bersama rakyat.
80 Tahun Merdeka tidak hanya sekedar lafaz kalimat  yang diucapkan, 
tetapi menjadi Penguat, Penyemangat, dan Penyatu atas  kolektifitas seluruh anak bangsa.

Indonesiaku...
Selamat Hari Ulang Tahun Kemerdekaan ke-80 
Bersamamu terus menapaki era baru yang inklusif, kolaboratif, dan penuh harapan,
Bersamamu tetap dalam satu semangat...
Bersatu...
Berdaulat...
Rakyat Sejahtera.... 
Indonesia Maju...

Merdeka...!
Merdeka...!
Merdeka...!

Medio, 17 Agustus 2025 
Nisbah

Seri (22) Revitalisasi Budaya Kaili Toniasa

Seri (22) Revitalisasi Budaya Kaili

"Toniasa" dan Asa Sulawesi Tengah

"Toniasa" sebuah diksi pada masyarakat kaili untuk penyebutan bagi seseorang baik laki-laki maupun perempuan yang mendapat pengesahan status.
Penyebutan "Toniasa" lazim disematkan bagi seseorang yang akan melalui prosesi pengesahan status dalam periodisasi perkembangan umur untuk memasuki tahap dewasa. Bahkan pengesahan status bagi seseorang yang akan beralih status dalam perkawinan juga disebut sebagai "Toniasa", pun demikian dengan seseorang yang mendapat pengesahan status karena perpindahan dan peningkatan status, gelar atau jabatan tertentu dalam masyarakat.

Secara akronim Toniasa terdiri dari rangkaian kata "Tona" berarti "orang", "ni paka" berarti "dijadikan" dan "asa" berarti "sah atau terpilih". Jadi "Toniasa" berarti seseorang yang telah "terpilih dan disahkan" menjadi manusia dewasa dengan segala pemaknaan "kedewasaan" yang melekat dalam kediriannya, demikian pula jika seseorang yang akan memasuki masa perkawinan ataupun seseorang yang terpilih dan sah mendapat gelar, jabatan dan status sosial dalam masyarakat.

Secara sosiologis, pengesahan status penting untuk mempertahankan eksistensi sistim masyarakat karena fungsi status dalam masyarakat harus ditempati agar kesinambungan masyarakat dapat berlangsung (Davis dan Moore).

Pada masyarakat kaili, tradisi pengesahan status menuju "kedewasaan" melalui serangkaian proses upacara adat yang dimulai dengan "ra songi" yaitu prosesi mengurung diri pada satu ruang khusus dalam rangka membentuk sikap disiplin yang dilandasi rasa ikhlas dan sikap kesahajaan dalam mentaati seluruh aturan adat yang berlaku. Prosesi dilanjutkan dengan "Ni Keso" yaitu pembersihan diri dari sifat buruk dan selanjutnya diakhiri dengan upacara " No Loso" yaitu upacara pelantikan secara terbuka yang didahului dengan pemberian nasehat dan petuah dari para "totua nu ngata" agar "toniasa" dapat menjalankan tanggung jawab dengan baik dalam kehidupan masyarakat.

Upacara pelantikan menjadi prosesi terakhir bagi pengesahan terhadap "toniasa" yang dianggap telah mampu melewati tahapan ujian sekaligus penegasan bahwa keberadaannya sebagai "seseorang yang terpilih" dengan segala martabat kemanusiaaanya. Keterpilihan"Toniasa" memberi makna pada pencapaian kematangan emosional, kognitif dan intelektualitas dalam
jarak usia ideal dan karakter kepribadian yang kuat.

Adapun "Toniasa" dalam prosesi perkawinan lazim melewati serangkaian tahapan pra kawin yang disebut dengan " No Gigi" yaitu pembersihan badan dengan cara mencukur "rambut-rambut halus dibadan" yang disimbolkan sebagai pembersihan diri dari hal-hal buruk yang dapat berpengaruh pada pembentukan perilaku.

Kesuksesan seseorang yang terpilih untuk memperoleh jabatan atau kedudukan tertentu dalam masyarakat secara sinkronik, pun dapat di sebut sebagai "Toniasa".
Momentum Pemilihan Gubernur Sulawesi Tengah dapat dimaknai sebagai prosesi terpilihnya "Toniasa" untuk memimpin Sulawesi Tengah pada periode selanjutnya.

Terpilihnya "Toniasa" yang akan dilantik dan disahkan sebagai Gubernur yang akan memimpin Sulawesi Tengah lima tahun mendatang menghadirkan beragam ekspektasi. Pada "Toniasa" yang telah terpilih sebagai Gubernur, masyarakat Sulawesi Tengah mengantungkan harapan besar. Insya Allah "Toniasa" yang akan memimpin Sulawesi Tengah kedepan dapat menjadi "Tomaoge" yang mengayomi seluruh masyarakat Sulawesi Tengah", Insya Allah...

Toniasa kana Manjaliku Ka Tuvu Ntodea, Mompaka roso ngata ala mabuke nte sugi"
Barakallah...

Persembahan untuk "Toniasa" yang akan dilantik sebagai Gubernur Sulawesi Tengah periode 2021-2024....

Boyaoge, 15 Juni 2021
N I S B A H
Pemerhati budaya kaili

Kamis, 31 Juli 2025

Seri (25) Revitalisasi Budaya Kaili TO BIRA" DAN ABSURDITAS POLITIK

Seri (25) Revitalisasi Budaya Kaili
Serial IMAGINE OF POLITICAL...
"Mokuvavaka Reke Laeka".

"TO BIRA" DAN ABSURDITAS POLITIK

Inkonsistensi adalah sikap dan perilaku ambigu yang sering ditampilkan pada ruang sosial. Motifnya terjadi karena tekanan hasrat kepentingan yang kuat pada situasi sosial, politik, ekonomi, hukum yang bersifat pragmatis.

Pada " To Kaili" penggambaran untuk "sikap dan perilaku seseorang" yang "inkosisten" atas situasi dan pilihan terhadap suatu hal disebut sebagai "To Bira". Perilaku "To Bira" dianalogikan sebagai perilaku "Kutu loncat" yaitu dimana orang yg menggantungkan hidupnya dengan menumpang dari satu orang ke orang lain dengan sikap inkonsistensi.

Diksional "To bira" saat ini tidak lagi populer pada sebagian besar orang kaili sehingga penyebutan ini tidak lagi lazim digunakan pada situasi sosial saat mana terdapat perilaku "kutu loncat" ditampilkan.
Ketidakpopuleran penggunaan diksi "to bira " pada orang kaili berimbas pada tidak dikenalnya diksi ini pada sebagian masyarakat kaili, pun demikian halnya dengan sebagian kelompok masyarakat pendatang.
Secara umum ketidak populeran diksi "To Bira" terjadi karena tindak perilaku "to bira" relatif kurang termanifestasi dalam ruang interaksi sosial. Tindak perilaku ini tidak berada dalam dimensi yang diametral dengan sifat dan perilaku orang kaili yang teguh memegang prinsip atas sebuah hal atau keputusan yang terkait dengan situasi sosial.

Menarik untuk "menggunjingkan" perilaku "to bira" pada event pemilukada, karena perilaku " to bira" kerap muncul sebagai fenomena politik yang tampak absurd menandai proses kontestasi. Absurditas politik adalah kondisi ketika politik kehilangan makna dan esensinya sebagai alat perjuangan sosial (Yasraf Amir Piliang). Absurditas terjadi karena para elite dan aktor politik menempatkan kekuasaan sebagai tujuan utama, lalu mengabaikan esensi nilai dan ideologi dalam proses politik yang dijalankan.

Dalam kondisi seperti ini, aktivitas politik berjalan tanpa kepastian tujuan, komunikasi politik menjadi kabur, ideologi politik mengalami pendangkalan, dan etika politik terdegradasi ke titik kulminasi terendah. Situasi ini dapat mempengaruhi terbentuknya perilaku "kutu loncat" atau "to bira" yang dianggap diluar kepantasan (kuraeya) bagi orang Kaili.

Absurditas politik yang dilatari oleh fenomena maraknya para pelaku politik “kutu loncat” atau "to bira" menjadi ironi dan penanda bahwa praktik politik kita hari ini tengah berada pada situasi dekadensi.
Dekadensi politik mewujud dalam praktik politik yang tidak lagi berorientasi pada perjuangan sosial untuk membangun kepedulian sosial dan kepentingan hakiki masyarakat tetapi secara pragmatis diorientasikan pada aktivitas meraih kekuasaan (meskipun situasi ini sahih adanya). Dalam kondisi yang dekaden ini, proses politik cenderung membentuk pola relasi yang bertumpu pada praktik transaksional sehingga semakin tercerabut dari esensinya sebagai salah satu alat perjuangan sosial untuk mencapai kesejahteraan manusia.
#politikadalahkemanusiaan

Boyaoge, 22 Maret 2022
N I S B A H
Pemerhati Budaya Kaili

Seri (1) Revitalisasi Budaya Kaili BALIA

Seri (1) Revitalisasi Budaya Kaili

BALIA
(Coretan pendek memahami Balia dalam esensi pelaksanaannya)

Esensi balia sebagai prosesi ritual adalah kegiatan berkomunikasi yang dilakukan oleh manusia dengan mkhluk gaib ( immateri ) yang diyakini adalah para leluhur mereka. Balia sebagai sarana komunikasi dimaksudkan untuk meminta kepada kekuatan immateri (leluhur/makhluk gaib) agar dapat menolong dari malapetaka atau menyembuhkan penyakit yg di derita manusia. Secara etimologi balia terdiri dari dua unsur kata yakni "bali dan ia" yang berarti "rubah/merubah dia" (seseorang yg mengalami sakit). Dalam prosesinya ritual balia lazim dilakukan selama 3-4 hari dengan menyuapkan sesajen terdiri pulut warna-warni, telur, ayam dan kambing., dimulai dengan syarat harus menyiapkan daun "go" (daun suci yg diyakini memiliki kekuatan) oleh seorang "bule" yg bertugas sebagai pendamping lima orang "sando dan tina nu balia" yg memimpin ritual balia. Daun go akan ditempatkan tepat di tengah arena balia yang diyakini menjadi kekuatan pengendali,prosesi balia diisi dengan nyanyian yang mengiringi tarian yg disebut dgn "Nondolu" dengan diiringi "gimba dan gong". Nondolu dilakukan secara berputat dengan mengitari sesajen dan sisakit yg di ikuti dengan prosesi menombak kaki kambing untuk diambil darahnya dan darah ayam. Prosesi ini nanti diakhiri dengan mandi ritual nompaura dan menginjak api dari daun kelapa kering yg dibakar sbg simbol keyakinan akan kekuatan baru yg dimiliki si sakit setelah srmbuh. Dalam pelaksanaannya balia pada masyarakat Kaili memiliki beberapa jenis dan tingkatan dalam pelaksanaannya dengan klasifikasi berdasarkan kelas sosial masyarakat yg mengalami persitiwa, situasi atau musibah yg terjadi. Adapun jenisnya : 1. Balia Bone, adalah tingkatan terendah dalam rangkaian upacara balia yg dimaknai sebagai prajurit kesehatan terbanyak dan terbesar seperti tumpukan pasir (bone) yg sanggup memadamkan api, tingkatan balia ini diperuntukan bagi masyarakat bawah dengan jenis penyakit ringan. Dlm pelaksanaannya tdk membutuhkan waktu lama dan peralatan yg banyak dan biasanya hanya dipimpin satu orang sando. 2. Balia Jinja Balia yg dilakukan dgn gerakan melingkar (round dance) dengan melibatkan banyak orang mulai dari sando, bale, si sakit dan diikuti dengan pengunjung yg hadir dengan mendedangkan secara bersama dondolu, dan rata2 mereka akan mengalami kesurupan. 3. Balua Tampilangi Diibaratkan sebagai adanya pasukan penyembuh yg bergerak cepat dari kayangan. Balia ini adalah kategori tingkatan tertinggi dengan kesakralan dan bernilai magis krn didalamnya termuat secara keseluruhan gerak dari balia bone dan balia jinja serta harus memenuhi syarat tahapan khusus dalam upacara penyembuhan dengan waktu pelaksnaan selama 3-4 hari dan tahapan pelaksanaan sebanyak dua bagian. Biasanya balia tampilangi diperuntukan bagi golongan bangsawan dengan memilih lokasi tertentu. Dalam pelaksanaan balia tidak lazim dilakukan di pesisir pantai krn balia lazim dilakukan masyarakat pedalaman yg tinggal di wilayah dekat dengan sungai sebagai tempat yg dituju untuk pelaksnaan nompaura atau mandi bersih. Musik ritual Balia tdk lazim menggunakan "Lalove". Prosesi Balia diawali dengan berkumpulnya para pelaku di bantaya dengan menyiapkan seluruh kebutuhan yg diperlukan dan menyepakati jenis balia yg akan dilakukan sesuai dengan jenis dan peruntukannya. Dalam kegiatan festival Nomoni, ada indikasi kegiatan ritual balia tidak dilakukan secara proporsional sesuai tingkatan dan peruntukannya tetapi di campur aduk dengan mengacaukan esensi ritual tsb sebagaimana mestinya. Satu catatan yang menarik untuk di renungkan dlm ritual balia di Festival Nomoni bahwa pelaku yang memimpin ritual adalah mereka yang ditunjuk mewakili wilayah Balaroa. Petobo dan jono oge padahal Ritual balia dilaksanakan di Besusu. Ada baiknya Balia Tdk perlu di visualisasikan dalam ritual myngkin lebih baik di simbolkan dalam gerak tari sehingga lebih memberi makna terhadap nilai seni.

Boyaoge, 20 oktober 2018
Nisbah
Pemerhati Budaya Kaili