Minggu, 12 April 2020

Seri (15) Revitalisasi Budaya Kaili

Seri (15) Revitalisasi Budaya Kaili
"N I P A L I"
Fenomena merebaknya Pandemi Covids 19 dengan daya paksa membentuk pola hubungan sosial berjarak (distancing social) dalam ruang interaksi sosial menjadi sebuah keniscayaan.
Pola hubungan sosial berjarak bahkan diikuti dengan kebijakan "karantina wilayah" (lockdown) telah "meruntuhkan" sejenak prinsip dan cara hidup manusia sebagai makhluk sosial.
Fenomena ini menjadi situasi umum terutama ketika diperhadapkan pada kondisi darurat dimana kehidupan sosial mengalami ancaman wabah dalam bentuk penyakit menular.

Di Sulawesi Tengah, jejak kehidupan masyarakat yang mengalami ancaman wabah seperti halnya Covids 19 bukanlah kali pertama menyerang. Banyak catatan sejarah tentang penyakit menular dimasa lalu disampaikan baik lewat dokumen Kolonial dan
koran nasional ketika peristiwa tersebut terjadi.
Laman historia.id   mencatat diantara berbagai jenis penyakit menular sekitar tahun 1658 penyakit cacar pernah melanda Sulawesi Tengah (Midden Celebes). Selain itu terjadi juga serangan Flu Spanyol tahun 1918-1919 yang menjadi pandemi saat itu. Sekitar 500 juta penduduk dunia terinfeksi, dengan korban meninggal sekitar 50 juta orang di seluruh dunia. Virus ini lebih mematikan ketimbang perang dunia pertama yang berakhir pada tahun itu.

Dokumen Historia Sulteng dan catatan seorang Sejarwan Mohamad Herianto yang dimuat di Sulteng Post, mengurai tentang wabah Flu Mao di Kota Palu, tahun 1970.
Wabah penyakit di lembah Palu terdokumentasikan dalam beberapa arsip seperti koran.
Mewabahnya "Jua Lele" atau penyakit menular akibat Flu Spanyol tahun 1920-an di tepi danau Poso mengakibatkan banyak orang meninggal dunia ketika itu.
Wabah Kolera yang disebut sebagai "Rumpa Datu"bahkan sempat menyerang tahun-tahun sebelumnya di Lembah Palu. Wabah Kolera ini terjadi karena cara hidup tidak bersih dan kotoran hewan yang ditemukan disembarang tempat.
Di Lembah Palu pada tahun 1942, juga pernah di serang wabah penyakit Kusta (Lepra) atau populer bagi orang Kaili disebut "Lampa Vau (Dua Oge)", akibatnya sejumlah wilayah pun harus di isolir karena penyakit tersebut. Bahkan Pemerintah Kolonial Belanda membangun gedung isolasi penderita Lepra yang disebut Lepratoruim di Desa Vatusampu. Kondisi berkepanjangan yang di akibatkan penyakit Lepra memaksa pemerintah harus membangun Sanatorium di Kapopo sebuah wilayah perbatasan antara Petobo dan Kavatuna.

Fenomena kondisi virus Pandemi dan penyakit mewabah ini bahkan didokumentasikan dengan apik oleh seorang seniman Kaili bernama Hasan Bahasuan, melalui lagu yang mengisahkan legenda seorang Putri Raja bernama Randa Ntovea yang harus "NIPALI RI TANA JAMBALI" ( diasingkan di tempat khusus) akibat menderita satu penyakit (Dua Da).

" Nipali" bermakna pada sebuah proses pengasingan terhadap seseorang yang terjangkiti suatu penyakit menular dan mewabah. Bagi masyarakat Kaili
Ketika itu, terdapat keyakinan bahwa bagi anggota masyarakat yang terkena wabah penyakit menular dianggap sebagai mendapat kutukan. Arwah manusia yang terjangkiti wabah tidak akan diterima di surga. Bahkan ketika ada salah satu anggota masyarakat pada sebuah kampung di kerajaan terkena wabah, maka seluruh kampung diyakini telah terkena kutukan. Karenanya, siapapun yang terkena wabah harus diasingkan atau "NIPALI". 
Pengasingan ini dilakukan karena penderita dianggap membawa sial dan tidak diterima di sorga. Bahkan, mereka yang mengalami penyakit dan tidak sembuh dimungkinkan untuk dikeluarkan dari lingkungan tempat tinggalnya.

"Nipali" adalah sebuah proses yang telah dilakukan oleh para leluhur di Tanah Kaili sejak dulu. Proses "Nipali" menunjukkan sebuah ketaatan terhadap nilai hidup dalam sebuah lingkungan sosial tempat tinggal atau "Ngata". Tabunya penderita suatu penyakit untuk tetap berada dalam lingkungan sosialnya justeru dianggap sebagai "sebuah pelanggaran" terhadap prinsip hidup bersama yang harus menularkan kebaikan dan keselamatan. "Nipali" memberi inspirasi terhadap kita saat ini ketika diperhadapkan dengan fenomena pandemi Covids 19, bahwa harus ada ketaatan terhadap " pembatasan hubungan sosial berjarak (distancing social) dan bahkan terhadap adanya "karantina wilayah" (Lockdown). Perilaku ketaatan atas Prinsip hubungan sosial berjarak dan karantina wilayah merupakan sebuah kearifan untuk menjaga lingkungan sosial kita sekaligus masa depan pada ruang sosial dimana kita berada. Bahwa yang kita butuh adalah toleransi untuk saling menjaga agar kehidupan dibumi dapat tetap lestari.... Insya Allah.
#marijagajarakuntukkehidupanselanjutnya.

Medio, 7 April 2020
N I S B A H
Pemerhati Budaya





Tidak ada komentar:

Posting Komentar