Seri (16) Revitalisasi Budaya Kaili
NAMBONGO,
NAMBINGA,
NAMBALA,
"Nambongo"...,
"Nambinga"...,
"Nambala"...,
Adalah tiga diksi populer pada orang Kaili yang menunjuk pada tingkatan perilaku negatif berupa "ketidak patuhan" atas sebuah permintaan, instruksi atau perintah.
Perilaku"Nambongo, Nambinga dan Nambala" mewujud sebagai sikap "masa bodoh" seseorang dalam interaksi sosialnya atas sebuah obyek yang menjadi masalah. Wujud tindak perilaku ini lazim terjadi saat ada aksi dan reaksi antara seseorang dengan dua orang atau lebih dalam suatu situasi sosial.
Ketika "Nambongo, Nambinga dan Nambala" diucapkan dalam sebuah kalimat maka cenderung dipahami sebagai "makian yang merendahkan sikap dan perilaku negatif dalam merespon saran, nasehat, dan anjuran terhadap sesuatu hal yang idealnya harus dilaksanakan. Pemaknaan tiga diksi ini jika dijelaskan sesuai tingkatannya maka dimulai dari,
1. NAMBONGO,
adalah "makian" yang paling populer dan sering terdengar di kebanyakan telinga orang Palu. "Nambongo" merupakan tindak perilaku yang dilakukan oleh seseorang dengan tidak mau mendengarkan permintaan atau perintah atas suatu objek yang harus atau akan dilakukan. Sikap "tidak "mau mendengar" di tunjukkan dengan tidak melaksanakan bahkan tidak peduli meskipun dia memahami objek permintaan yang disampaikan.
Seseorang enggan melakukan perintah yang disampaikan karena menganggap objek yang diperintahkan tidak memberi manfaat apapun terhadap dirinya. Baginya permintaan dan perintah sebagai suatu hal yang tidak perlu dilaksanakan karena merupakan objek yang tidak dipahaminya bahkan perintah dianggap tidak mewakili kepentingannya.
2. NAMBINGA,
serupa dengan "Nambongo", diksi "Nambinga" dipahami setingkat lebih tinggi dari pada diksi "Nambongo". Diksi "Nambinga" bermakna pada tampilan perilaku atas reaksi seseorang dalam merespon permintaan atas suatu objek dan perintah dengan menampilkan sikap "tidak peduli" dan "masa bodoh".
"Nambinga" seolah mewujud sebagai "karakter" karena sikap negatif yang di tampilkan merefleksikan kurang minat terhadap hal-hal yang dianggapnya tidak penting. Sikap "acuh tak acuh" dan "tidak peduli" terhadap lingkungan sosial karena di pengaruhi rendahnya tingkat kesadaran dan pemahaman terhadap aspek penting yang terjadi dalam kehidupan sosialnya.
3. "NAMBALA"
"Nambala" adalah tingkatan ketiga dari sikap "ketidak Patuhan" yang ditampilkan dalam sikap dan perilaku seseorang. "Nambala" dimaknai sebagai perilaku "bebal" dimana reaksi sikap yang ditampilkan adalah sikap "tidak mau tahu". Jika "Nambala" di analogikan dengan "Bebal", maka sesuai dengan kamus Bahasa Indonesia dapat bermakna pada sikap dan perilaku yang mengarah pada kebodohan dan ketidakpedulian terhadap hal lain yang dekat dengan kehidupannya.
Analogi "Bebal" dalam menjelaskan sikap "Nambala" dapat mewujud sebagai perilaku yang didasari rasa kesengajaan karena ada dorongan sikap tidak mau berbuat dan bertindak sebagaimana mestinya. Bahkan lebih jauh "Nambala" bermakna pada sikap dan perilaku tidak mau mendengarkan dan menghargai orang lain. Terdapat sikap dan perilaku ketidak patuhan sebagai wujud reaksi bahwa situasi kehidupan diluar dirinya tidak menjadi bagian dari tanggung jawabnya.
Membahas perilaku dan sikap "Nambongo", "Nambinga" dan "Nambala", dapat menjadi sebuah refleksi atas reaksi kita terhadap situasi Pandemi Covids 19. Sikap Ketidak patuhan atas instruksi dan permintaan untuk membentuk "hubungan sosial berjarak" masih direspon oleh sebagian masyarakat dengan sikap dan perilaku ini.
Wujud perilaku dan sikap kita ketika situasi ruang interaksi sosial telah berada diambang kritis karena meluasnya penyebaran covids 19 secara relatif ditampilkan melaui sikap dan perilaku "Nambongo", "Nambinga dan bahkan "Nambala".
Fenomena pada tataran realita sosial menunjukan bahwa tingkat kesadaran masyarakat ketika diperhadapkan dengan situasi Pandemi covids 19, masih relatif kuat membentuk perilaku dan sikap ini, meskipun fakta telah menampilkan konsekuensi dari sikap dan perilaku yang tidak patuh akan serius memberi dampak pada kemungkinan tertular oleh covids 19.
Subhanallah....
Medio, 16 April 2020
N I S B A H
Pemerhati Sosial Budaya
Minggu, 26 April 2020
Minggu, 12 April 2020
Reproduksi kearifan lokal To Kaili pada Mitigasi Bencana Alam.
Revitalisasi Budaya Kaili
Reproduksi kearifan lokal To Kaili pada Mitigasi Bencana Alam.
To Kaili yang bermukim di pesisir sepanjang teluk palu merupakan komunitas yang telah terbiasa menghadapi bencana alam, memperhatikan struktur geografis hunian komunitas suku kaili yang berada di pesisir maka beberapa penamaan atau penyebutan wilayah seringkali didasarkan atas beberapa peristiwa bencana alam yang telah dirasakan dan pernah terjadi di masa yang lampau, penamaan atau penyebutan ini di sebut dengan "To Po Nimi".
To Po Nimi akan dapat ditemui misalnya pada beberapa penamaan wilayah hunian seperti "Kaombona" (tanah runtuh), satu wilayah yang berada di timur teluk palu dengan kondisi area perbukitan. "Kaombona" dalam tutura adalah bekas tanah yang mengalami "runtuh" karena adanya "lingu mbaso" (gempa besar) tahun 1930. Saat ini wilayah "Kaombona" sudah menjadi wilayah hunian yang ramai dan masuk dalam teritori adminstrasi kelurahan Talise.
Penamaan kampung seperti "Birobuli, Biromaru, Jono Oge, sibalaya" merupakan hunian yang dulunya merupakan rawa yang banyak ditumbuhi sejenis tumbuhan liar yang populer disebut alang-alang atau daun silar, Biro, Jono dan sibalaya dalam bahasa kaili berarti alang-alang atau silar.
Balaroa adalah hunian masyarakat, yang dulunya residensinya hanya berada di pusat kampung di kaki bukit pegunungan Kambuno, seiring berkembangnya wilayah hunian maka di sisi Timur kampung Balaroa di bangun hunian baru (Perumnas) yang menurut tutura para "totua nungata" dulunya di tempat hunian baru tersebut adalah ladang dan tempat beternak hewan bagi para bangsawan. Di tempat tersebut terdapat satu kubangan seperti sumur besar yang diyakini terhubung dengan laut teluk palu karena menurut peristiwa yang terjadi jika air laut pasang akan terdengar suara gelombang air laut dan ketinggian air laut sedang pasang ikut naik pada kubangan tersebut, bahkan ada kisah ketika seekor sapi bangsawan yang di ternak di tempat tersebut hilang, akhirnya ditemukan berada di laut teluk palu.
Pada To Kaili Penuturan peristiwa bencana alam juga lazim dituturkan melalui Kayori, Dulua, dan Dade Ndate yaitu sastra lisan melalui proses penyampaian cerita dengan cara bertutur (tutura) yang diiringi dengan penggunaan serangkaian alat musik seperti kecapi, gimba dan gong serta alat musik lainnya.
Kayori merupakan cara pendahulu menyanyikan sesuatu utk mengingatkan generasi keturunannya bahwa terdapat peristiwa masa lalu menjadi pengingat untuk kehidupan masa sekarang. Kayori sesungguhnya adalah cara bertutur dengan syair-syair yang disampaikan sebagai rasa cinta dan pemujaan akan keagungan pada Pue Langi "To Manuru".
Kayori juga berisi petuah hidup yang baik untuk di jalani. Salah satu Kayori terkenal dalam bentuk pepatah To Kaili yang sangat terkenal yaitu “Agina Mainga, Ne Maonga”, dimana artinya adalah "lebih Baik berhati-hati dari pada tenggelam".
Kearifan Lokal tentang Mitigasi bencana, pada To Kaili tampil dalam berbagai bentuk pemaknaan, misalnya jika binatang yang kesehariannya dekat dengan kehidupan manusia mulai memperlihatkan pola tabiat yang berubah mulai dari isyarat suara burung, kokok ayam dan menghilangnya kucing di sekitar hunian tempat tinggal.
Tekhnologi pembuatan rumah pada To kaili juga berbasis pada tindak mitigasi Bencana Alam, To Kaili membuat Rumah panggung yang tiang penyangga masing-masing akan di lapisi dengan alas batu agar rumah terjaga keseimbangannya. Bahkan ketika rumah akan dibangun, kekuatan tanah akan diukur dengan cara menusukkan lidi atau parang ke dalam tanah secara berulang agar diketahui ke kekuatan tanah yang digunakan untuk menyangga bangunan rumah.
Pada masa lampau ketika tanda-tanda alam sudah memberi isyarat akan terjadi gempa besar, maka oleh "to tua nungata" (Orang Tua yang menjadi kepala Kampung) masyarakat di perintah untuk membuat semacam alat pengaman badan yang berbentuk seperti anak tangga yang digunakan ketika gempa terjadi. Pada alat tersebut masing-masing orang meletakan kepala sebatas leher pada lubang diantara anak tangga sehingga kontrol atas goyangan gempa dapat menjaga keseimbangan badan setiap orang secara bersama.
Kearifan lokal pada To Kaili adalah sebuah reproduksi terhadap tindak Mitigasi Bencana alam, beberapa testimoni berdasarkan kearifan lokal atas bencana 28 September 2018 dapat menjadi pedoman guna mengurangi resiko bencana yang terjadi.
Insya Allah Manfaat.
Medio, 23 Januari 2019
NISBAH
Pengamat Budaya
Reproduksi kearifan lokal To Kaili pada Mitigasi Bencana Alam.
To Kaili yang bermukim di pesisir sepanjang teluk palu merupakan komunitas yang telah terbiasa menghadapi bencana alam, memperhatikan struktur geografis hunian komunitas suku kaili yang berada di pesisir maka beberapa penamaan atau penyebutan wilayah seringkali didasarkan atas beberapa peristiwa bencana alam yang telah dirasakan dan pernah terjadi di masa yang lampau, penamaan atau penyebutan ini di sebut dengan "To Po Nimi".
To Po Nimi akan dapat ditemui misalnya pada beberapa penamaan wilayah hunian seperti "Kaombona" (tanah runtuh), satu wilayah yang berada di timur teluk palu dengan kondisi area perbukitan. "Kaombona" dalam tutura adalah bekas tanah yang mengalami "runtuh" karena adanya "lingu mbaso" (gempa besar) tahun 1930. Saat ini wilayah "Kaombona" sudah menjadi wilayah hunian yang ramai dan masuk dalam teritori adminstrasi kelurahan Talise.
Penamaan kampung seperti "Birobuli, Biromaru, Jono Oge, sibalaya" merupakan hunian yang dulunya merupakan rawa yang banyak ditumbuhi sejenis tumbuhan liar yang populer disebut alang-alang atau daun silar, Biro, Jono dan sibalaya dalam bahasa kaili berarti alang-alang atau silar.
Balaroa adalah hunian masyarakat, yang dulunya residensinya hanya berada di pusat kampung di kaki bukit pegunungan Kambuno, seiring berkembangnya wilayah hunian maka di sisi Timur kampung Balaroa di bangun hunian baru (Perumnas) yang menurut tutura para "totua nungata" dulunya di tempat hunian baru tersebut adalah ladang dan tempat beternak hewan bagi para bangsawan. Di tempat tersebut terdapat satu kubangan seperti sumur besar yang diyakini terhubung dengan laut teluk palu karena menurut peristiwa yang terjadi jika air laut pasang akan terdengar suara gelombang air laut dan ketinggian air laut sedang pasang ikut naik pada kubangan tersebut, bahkan ada kisah ketika seekor sapi bangsawan yang di ternak di tempat tersebut hilang, akhirnya ditemukan berada di laut teluk palu.
Pada To Kaili Penuturan peristiwa bencana alam juga lazim dituturkan melalui Kayori, Dulua, dan Dade Ndate yaitu sastra lisan melalui proses penyampaian cerita dengan cara bertutur (tutura) yang diiringi dengan penggunaan serangkaian alat musik seperti kecapi, gimba dan gong serta alat musik lainnya.
Kayori merupakan cara pendahulu menyanyikan sesuatu utk mengingatkan generasi keturunannya bahwa terdapat peristiwa masa lalu menjadi pengingat untuk kehidupan masa sekarang. Kayori sesungguhnya adalah cara bertutur dengan syair-syair yang disampaikan sebagai rasa cinta dan pemujaan akan keagungan pada Pue Langi "To Manuru".
Kayori juga berisi petuah hidup yang baik untuk di jalani. Salah satu Kayori terkenal dalam bentuk pepatah To Kaili yang sangat terkenal yaitu “Agina Mainga, Ne Maonga”, dimana artinya adalah "lebih Baik berhati-hati dari pada tenggelam".
Kearifan Lokal tentang Mitigasi bencana, pada To Kaili tampil dalam berbagai bentuk pemaknaan, misalnya jika binatang yang kesehariannya dekat dengan kehidupan manusia mulai memperlihatkan pola tabiat yang berubah mulai dari isyarat suara burung, kokok ayam dan menghilangnya kucing di sekitar hunian tempat tinggal.
Tekhnologi pembuatan rumah pada To kaili juga berbasis pada tindak mitigasi Bencana Alam, To Kaili membuat Rumah panggung yang tiang penyangga masing-masing akan di lapisi dengan alas batu agar rumah terjaga keseimbangannya. Bahkan ketika rumah akan dibangun, kekuatan tanah akan diukur dengan cara menusukkan lidi atau parang ke dalam tanah secara berulang agar diketahui ke kekuatan tanah yang digunakan untuk menyangga bangunan rumah.
Pada masa lampau ketika tanda-tanda alam sudah memberi isyarat akan terjadi gempa besar, maka oleh "to tua nungata" (Orang Tua yang menjadi kepala Kampung) masyarakat di perintah untuk membuat semacam alat pengaman badan yang berbentuk seperti anak tangga yang digunakan ketika gempa terjadi. Pada alat tersebut masing-masing orang meletakan kepala sebatas leher pada lubang diantara anak tangga sehingga kontrol atas goyangan gempa dapat menjaga keseimbangan badan setiap orang secara bersama.
Kearifan lokal pada To Kaili adalah sebuah reproduksi terhadap tindak Mitigasi Bencana alam, beberapa testimoni berdasarkan kearifan lokal atas bencana 28 September 2018 dapat menjadi pedoman guna mengurangi resiko bencana yang terjadi.
Insya Allah Manfaat.
Medio, 23 Januari 2019
NISBAH
Pengamat Budaya
Seri (15) Revitalisasi Budaya Kaili
Seri (15) Revitalisasi Budaya Kaili
"N I P A L I"
Fenomena merebaknya Pandemi Covids 19 dengan daya paksa membentuk pola hubungan sosial berjarak (distancing social) dalam ruang interaksi sosial menjadi sebuah keniscayaan.
Pola hubungan sosial berjarak bahkan diikuti dengan kebijakan "karantina wilayah" (lockdown) telah "meruntuhkan" sejenak prinsip dan cara hidup manusia sebagai makhluk sosial.
Fenomena ini menjadi situasi umum terutama ketika diperhadapkan pada kondisi darurat dimana kehidupan sosial mengalami ancaman wabah dalam bentuk penyakit menular.
Di Sulawesi Tengah, jejak kehidupan masyarakat yang mengalami ancaman wabah seperti halnya Covids 19 bukanlah kali pertama menyerang. Banyak catatan sejarah tentang penyakit menular dimasa lalu disampaikan baik lewat dokumen Kolonial dan
koran nasional ketika peristiwa tersebut terjadi.
Laman historia.id mencatat diantara berbagai jenis penyakit menular sekitar tahun 1658 penyakit cacar pernah melanda Sulawesi Tengah (Midden Celebes). Selain itu terjadi juga serangan Flu Spanyol tahun 1918-1919 yang menjadi pandemi saat itu. Sekitar 500 juta penduduk dunia terinfeksi, dengan korban meninggal sekitar 50 juta orang di seluruh dunia. Virus ini lebih mematikan ketimbang perang dunia pertama yang berakhir pada tahun itu.
Dokumen Historia Sulteng dan catatan seorang Sejarwan Mohamad Herianto yang dimuat di Sulteng Post, mengurai tentang wabah Flu Mao di Kota Palu, tahun 1970.
Wabah penyakit di lembah Palu terdokumentasikan dalam beberapa arsip seperti koran.
Mewabahnya "Jua Lele" atau penyakit menular akibat Flu Spanyol tahun 1920-an di tepi danau Poso mengakibatkan banyak orang meninggal dunia ketika itu.
Wabah Kolera yang disebut sebagai "Rumpa Datu"bahkan sempat menyerang tahun-tahun sebelumnya di Lembah Palu. Wabah Kolera ini terjadi karena cara hidup tidak bersih dan kotoran hewan yang ditemukan disembarang tempat.
Di Lembah Palu pada tahun 1942, juga pernah di serang wabah penyakit Kusta (Lepra) atau populer bagi orang Kaili disebut "Lampa Vau (Dua Oge)", akibatnya sejumlah wilayah pun harus di isolir karena penyakit tersebut. Bahkan Pemerintah Kolonial Belanda membangun gedung isolasi penderita Lepra yang disebut Lepratoruim di Desa Vatusampu. Kondisi berkepanjangan yang di akibatkan penyakit Lepra memaksa pemerintah harus membangun Sanatorium di Kapopo sebuah wilayah perbatasan antara Petobo dan Kavatuna.
Fenomena kondisi virus Pandemi dan penyakit mewabah ini bahkan didokumentasikan dengan apik oleh seorang seniman Kaili bernama Hasan Bahasuan, melalui lagu yang mengisahkan legenda seorang Putri Raja bernama Randa Ntovea yang harus "NIPALI RI TANA JAMBALI" ( diasingkan di tempat khusus) akibat menderita satu penyakit (Dua Da).
" Nipali" bermakna pada sebuah proses pengasingan terhadap seseorang yang terjangkiti suatu penyakit menular dan mewabah. Bagi masyarakat Kaili
Ketika itu, terdapat keyakinan bahwa bagi anggota masyarakat yang terkena wabah penyakit menular dianggap sebagai mendapat kutukan. Arwah manusia yang terjangkiti wabah tidak akan diterima di surga. Bahkan ketika ada salah satu anggota masyarakat pada sebuah kampung di kerajaan terkena wabah, maka seluruh kampung diyakini telah terkena kutukan. Karenanya, siapapun yang terkena wabah harus diasingkan atau "NIPALI".
Pengasingan ini dilakukan karena penderita dianggap membawa sial dan tidak diterima di sorga. Bahkan, mereka yang mengalami penyakit dan tidak sembuh dimungkinkan untuk dikeluarkan dari lingkungan tempat tinggalnya.
"Nipali" adalah sebuah proses yang telah dilakukan oleh para leluhur di Tanah Kaili sejak dulu. Proses "Nipali" menunjukkan sebuah ketaatan terhadap nilai hidup dalam sebuah lingkungan sosial tempat tinggal atau "Ngata". Tabunya penderita suatu penyakit untuk tetap berada dalam lingkungan sosialnya justeru dianggap sebagai "sebuah pelanggaran" terhadap prinsip hidup bersama yang harus menularkan kebaikan dan keselamatan. "Nipali" memberi inspirasi terhadap kita saat ini ketika diperhadapkan dengan fenomena pandemi Covids 19, bahwa harus ada ketaatan terhadap " pembatasan hubungan sosial berjarak (distancing social) dan bahkan terhadap adanya "karantina wilayah" (Lockdown). Perilaku ketaatan atas Prinsip hubungan sosial berjarak dan karantina wilayah merupakan sebuah kearifan untuk menjaga lingkungan sosial kita sekaligus masa depan pada ruang sosial dimana kita berada. Bahwa yang kita butuh adalah toleransi untuk saling menjaga agar kehidupan dibumi dapat tetap lestari.... Insya Allah.
#marijagajarakuntukkehidupanselanjutnya.
Medio, 7 April 2020
N I S B A H
Pemerhati Budaya
"N I P A L I"
Fenomena merebaknya Pandemi Covids 19 dengan daya paksa membentuk pola hubungan sosial berjarak (distancing social) dalam ruang interaksi sosial menjadi sebuah keniscayaan.
Pola hubungan sosial berjarak bahkan diikuti dengan kebijakan "karantina wilayah" (lockdown) telah "meruntuhkan" sejenak prinsip dan cara hidup manusia sebagai makhluk sosial.
Fenomena ini menjadi situasi umum terutama ketika diperhadapkan pada kondisi darurat dimana kehidupan sosial mengalami ancaman wabah dalam bentuk penyakit menular.
Di Sulawesi Tengah, jejak kehidupan masyarakat yang mengalami ancaman wabah seperti halnya Covids 19 bukanlah kali pertama menyerang. Banyak catatan sejarah tentang penyakit menular dimasa lalu disampaikan baik lewat dokumen Kolonial dan
koran nasional ketika peristiwa tersebut terjadi.
Laman historia.id mencatat diantara berbagai jenis penyakit menular sekitar tahun 1658 penyakit cacar pernah melanda Sulawesi Tengah (Midden Celebes). Selain itu terjadi juga serangan Flu Spanyol tahun 1918-1919 yang menjadi pandemi saat itu. Sekitar 500 juta penduduk dunia terinfeksi, dengan korban meninggal sekitar 50 juta orang di seluruh dunia. Virus ini lebih mematikan ketimbang perang dunia pertama yang berakhir pada tahun itu.
Dokumen Historia Sulteng dan catatan seorang Sejarwan Mohamad Herianto yang dimuat di Sulteng Post, mengurai tentang wabah Flu Mao di Kota Palu, tahun 1970.
Wabah penyakit di lembah Palu terdokumentasikan dalam beberapa arsip seperti koran.
Mewabahnya "Jua Lele" atau penyakit menular akibat Flu Spanyol tahun 1920-an di tepi danau Poso mengakibatkan banyak orang meninggal dunia ketika itu.
Wabah Kolera yang disebut sebagai "Rumpa Datu"bahkan sempat menyerang tahun-tahun sebelumnya di Lembah Palu. Wabah Kolera ini terjadi karena cara hidup tidak bersih dan kotoran hewan yang ditemukan disembarang tempat.
Di Lembah Palu pada tahun 1942, juga pernah di serang wabah penyakit Kusta (Lepra) atau populer bagi orang Kaili disebut "Lampa Vau (Dua Oge)", akibatnya sejumlah wilayah pun harus di isolir karena penyakit tersebut. Bahkan Pemerintah Kolonial Belanda membangun gedung isolasi penderita Lepra yang disebut Lepratoruim di Desa Vatusampu. Kondisi berkepanjangan yang di akibatkan penyakit Lepra memaksa pemerintah harus membangun Sanatorium di Kapopo sebuah wilayah perbatasan antara Petobo dan Kavatuna.
Fenomena kondisi virus Pandemi dan penyakit mewabah ini bahkan didokumentasikan dengan apik oleh seorang seniman Kaili bernama Hasan Bahasuan, melalui lagu yang mengisahkan legenda seorang Putri Raja bernama Randa Ntovea yang harus "NIPALI RI TANA JAMBALI" ( diasingkan di tempat khusus) akibat menderita satu penyakit (Dua Da).
" Nipali" bermakna pada sebuah proses pengasingan terhadap seseorang yang terjangkiti suatu penyakit menular dan mewabah. Bagi masyarakat Kaili
Ketika itu, terdapat keyakinan bahwa bagi anggota masyarakat yang terkena wabah penyakit menular dianggap sebagai mendapat kutukan. Arwah manusia yang terjangkiti wabah tidak akan diterima di surga. Bahkan ketika ada salah satu anggota masyarakat pada sebuah kampung di kerajaan terkena wabah, maka seluruh kampung diyakini telah terkena kutukan. Karenanya, siapapun yang terkena wabah harus diasingkan atau "NIPALI".
Pengasingan ini dilakukan karena penderita dianggap membawa sial dan tidak diterima di sorga. Bahkan, mereka yang mengalami penyakit dan tidak sembuh dimungkinkan untuk dikeluarkan dari lingkungan tempat tinggalnya.
"Nipali" adalah sebuah proses yang telah dilakukan oleh para leluhur di Tanah Kaili sejak dulu. Proses "Nipali" menunjukkan sebuah ketaatan terhadap nilai hidup dalam sebuah lingkungan sosial tempat tinggal atau "Ngata". Tabunya penderita suatu penyakit untuk tetap berada dalam lingkungan sosialnya justeru dianggap sebagai "sebuah pelanggaran" terhadap prinsip hidup bersama yang harus menularkan kebaikan dan keselamatan. "Nipali" memberi inspirasi terhadap kita saat ini ketika diperhadapkan dengan fenomena pandemi Covids 19, bahwa harus ada ketaatan terhadap " pembatasan hubungan sosial berjarak (distancing social) dan bahkan terhadap adanya "karantina wilayah" (Lockdown). Perilaku ketaatan atas Prinsip hubungan sosial berjarak dan karantina wilayah merupakan sebuah kearifan untuk menjaga lingkungan sosial kita sekaligus masa depan pada ruang sosial dimana kita berada. Bahwa yang kita butuh adalah toleransi untuk saling menjaga agar kehidupan dibumi dapat tetap lestari.... Insya Allah.
#marijagajarakuntukkehidupanselanjutnya.
Medio, 7 April 2020
N I S B A H
Pemerhati Budaya
TIDAK ADA "SEBUAH KEBETULAN"
Edisi Kontemplasi....
TIDAK ADA "SEBUAH KEBETULAN"
Covids-19 atau yang lebih populer di sebut corona virus telah mengguncang kehidupan seluruh manusia di dunia saat ini. Pengaruhnya membuat beberapa negara bahkan harus memunculkan kebijakan "karantina wilayah" (lockdown) dan "hubungan sosial berjarak" (distancing social) atas situasi kehidupan masyarakat.
Fenomena virus ini telah membentuk "momok" terhadap masyarakat atas seluruh dampak sosial yang di timbulkanya.
Pembatasan interaksi fisik secara langsung membuat hubungan silaturahmi ikut-ikutan berjarak, bahkan lebih jauh ikut mempengaruhi aktivitas sosial beribadah, birokrasi, jasa, lembaga pendidikan dan berbagai aktivitas sosial lainnya.
Adanya kebijakan dan seruan untuk pembatasan ruang interaksi berjarak diyakini akan mampu meminimalisir penyebaran virus pendemi ini secara masif dan memungkinkan terhadap berkurangnya penyebaran virus ini. Propaganda pendemi covids-19 terinternalisasi dahsyat membentuk asumsi setiap orang bahwa setiap yang terpapar secara fisik terutama jika perilaku sehat kita "tidak disiplin" pasti akan terkontaminasi dan bisa berdampak pada kematian.
Realitas pendemi covids-19 bahkan mampu merenggangkan relasi sosial antar individu sebagai makhluk sosial. Esensi manusia sebagai makhluk sosial yang harus tetap menerapkan prinsip relasional seolah telah kalah oleh "seonggok" organisme sel yang bernama virus corona.
Menilik fenomena kedahsyatan covids-19, tentulah kita diperhadapkan pada sebuah "Takdir", seolah saat ini kita berada pada realitas "takdir buruk" yang menggiring mindset kita berada pada situasi kepanikan bahkan ketakutan. Andaipun ini sebuah "takdir", apakah tidak mungkin ini sebuah "takdir baik" ... wallahu alam bissawab, bukankah dalam hidup "tidak ada peristiwa" sebagai "sebuah kebetulan".
"Takdir" jika baik dan buruk tentulah "kendali Tuhan" atas kehidupan, jika seketika kita berada dalam kelompok yang terpapar dan berujung pada "kematian"pastilah merupakan ajal atas takdir yang telah di kendalikan oleh-NYA, sehingga adanya korban bahkan yang berujung pada "kematian" maka pastilah bukan sebuah peristiwa secara "kebetulan".
Bahkan secara jelas Al-Qur'an menegaskan bahwa :
Katakanlah: Tidak akan menimpakan kami kecuali apa yang Allah telah tuliskan untuk kami. Dialah pelindung kami dan hanya kepada Allah bertawakal orang-orang yang beriman.” (QS. At-Taubah[9]: 51).
Ketika bumi tetap berputar pada porosnya, maka seluruhnya tetap berada pada kendali Allah,...
Semoga kita tetap dalam lindungan-Nya dan tetap berada dalam kendali Takdirnya..
Barakallah
Medio, 20 Maret 2020
N I S B A H
"
Covids-19 atau yang lebih populer di sebut corona virus telah mengguncang kehidupan seluruh manusia di dunia saat ini. Pengaruhnya membuat beberapa negara bahkan harus memunculkan kebijakan "karantina wilayah" (lockdown) dan "hubungan sosial berjarak" (distancing social) atas situasi kehidupan masyarakat.
Fenomena virus ini telah membentuk "momok" terhadap masyarakat atas seluruh dampak sosial yang di timbulkanya.
Pembatasan interaksi fisik secara langsung membuat hubungan silaturahmi ikut-ikutan berjarak, bahkan lebih jauh ikut mempengaruhi aktivitas sosial beribadah, birokrasi, jasa, lembaga pendidikan dan berbagai aktivitas sosial lainnya.
Adanya kebijakan dan seruan untuk pembatasan ruang interaksi berjarak diyakini akan mampu meminimalisir penyebaran virus pendemi ini secara masif dan memungkinkan terhadap berkurangnya penyebaran virus ini. Propaganda pendemi covids-19 terinternalisasi dahsyat membentuk asumsi setiap orang bahwa setiap yang terpapar secara fisik terutama jika perilaku sehat kita "tidak disiplin" pasti akan terkontaminasi dan bisa berdampak pada kematian.
Realitas pendemi covids-19 bahkan mampu merenggangkan relasi sosial antar individu sebagai makhluk sosial. Esensi manusia sebagai makhluk sosial yang harus tetap menerapkan prinsip relasional seolah telah kalah oleh "seonggok" organisme sel yang bernama virus corona.
Menilik fenomena kedahsyatan covids-19, tentulah kita diperhadapkan pada sebuah "Takdir", seolah saat ini kita berada pada realitas "takdir buruk" yang menggiring mindset kita berada pada situasi kepanikan bahkan ketakutan. Andaipun ini sebuah "takdir", apakah tidak mungkin ini sebuah "takdir baik" ... wallahu alam bissawab, bukankah dalam hidup "tidak ada peristiwa" sebagai "sebuah kebetulan".
"Takdir" jika baik dan buruk tentulah "kendali Tuhan" atas kehidupan, jika seketika kita berada dalam kelompok yang terpapar dan berujung pada "kematian"pastilah merupakan ajal atas takdir yang telah di kendalikan oleh-NYA, sehingga adanya korban bahkan yang berujung pada "kematian" maka pastilah bukan sebuah peristiwa secara "kebetulan".
Bahkan secara jelas Al-Qur'an menegaskan bahwa :
Katakanlah: Tidak akan menimpakan kami kecuali apa yang Allah telah tuliskan untuk kami. Dialah pelindung kami dan hanya kepada Allah bertawakal orang-orang yang beriman.” (QS. At-Taubah[9]: 51).
Ketika bumi tetap berputar pada porosnya, maka seluruhnya tetap berada pada kendali Allah,...
Semoga kita tetap dalam lindungan-Nya dan tetap berada dalam kendali Takdirnya..
Barakallah
Medio, 20 Maret 2020
N I S B A H
Langganan:
Postingan (Atom)