Sabtu, 06 September 2025

Seri (28) Revitalisasi Budaya Kaili MAGAU BO TOMAOGE...(sebuah dirkursus)

Seri (28) Revitalisasi Budaya Kaili 

MAGAU BO TOMAOGE...
(sebuah dirkursus)

Penyematan atau Pemberian gelar terhadap Pemimpin berkorelasi dengan pelaksanaan prinsip kepemimpinan dan merupakan penanda atas status, posisi,  peran dan tanggung jawab yang diemban oleh seorang pemimpin dalam Masyarakat. Pelaksanaan kepemimpinan secara prinsip bermakna pada serangkaian kemampuan individu untuk memimpin, mengarahkan, dan memotivasi dengan disertai sifat-sifat kepribadian bijaksana dan berwibawa. 

Dalam konsep pelaksanaan kepemimpinan pada masyarakat Kaili  terdapat gelar Magau dan Tomaoge yang menjadi istilah penyebutan bagi seseorang yang menjadi pemimpin masyarakat. Gelar adat dalam kepemimpinan  pada masyarakat Kaili memiliki arti dan makna yang erat kaitannya dengan sistem tata nilai pranata sosial masyarakat Kaili. Penyebutan atau gelar adat Magau dan Tomaoge merupakan bentuk penghargaan dan penghormatan masyarakat Kaili terhadap seseorang yang dianggap memiliki pengaruh, jasa atau peran kepemimpinan yang dilaksanakan. Secara filosofis dan simbolis  gelar adat Magau dan Tomaoge mencerminkan nilai-nilai luhur masyaarakat Kaili sebagai sebuah entitas. 

Terminologi kata Magau berarti pemimpin Kerajaan dalam struktur adat pemerintahan Kerajaan yang melingkupinya. Secara harfiah kata Magau adalah Raja yang merupakan pemimpin pada masa pemerintahan Kerajaan yang memiliki gelar adat, gelar status dan gelar kedudukan dalam hirarki genealogis turun temurun. 
Adapun kata Tomaoge secara etimologi adalah frasa yang  terdiri  dua kata Toma yang berarti "Bapak atau Ayah”, dan Oge yang berarti "Banyak”, maka  secara harfiah Tomaoge adalah pemaknaan terhadap posisi seseorang sebagai
"bapak atau ayah bagi Orang Banyak atau Masyarakat”. Gelar Magau dan Tomaoge memberi arti dan makna atas adanya sebutan Gelar Adat bagi seseorang yang menjadi pemimpin di Masyarakat Kaili.

Magau adalah gelar bagi Raja yang dipilih,  diangkat dan diberi kepercayaan untuk menjalankan sistem kepemimpinan dalam struktur pemerintahan wilayah Kerajaan (Kagaua). Prosesi pengangkatan Magau diawali dengan pelaksanaan Nangada pada Libu Potangara Nuada yang dilakukan oleh Para Totua Nungata yang berada pada wilayah keadatan dan menjadi perwakilan masing-masing Ngata atau kampung dalam satu wilayah Kagaua (Kerajaan). Setelah Libu Potangara Nuada oleh Para Totua Nungata menyepakati sosok atau figur yang diangkat menjadi calon Magau  maka Libu Potangara Nuada Totua Nungata akan mengusulkan calon Magau kepada Libu Ntina, kemudian Libu Ntina Nangada untuk mengetahui dan memastikan bahwa calon Magau memiliki sifat, karakter, status derajat dan kualitas genealogis sebagai Bija Nu Magau No Vati Nu Madika. 

Kelayakan sifat, karakter status derajat dan kualitas genealogis yang diputuskan dalam Nangada Libu Ntina akan menentukan seorang yang dapat dikukuhkan dan dilantik menjadi Magau dalam Pemerintahan Adat Kagaua. Peran Libu Potangara Nuada Totua Nungata  dan Libu Ntina  sangat menentukan dalam proses Penetapan Magau yang akan menjadi Pemimpin dalam Pemerintahan Kagaua.

Adapun Tomaoge adalah gelar adat yang diberikan kepada pemimpin sebagai bentuk penghargaan dan penghormatan ketika berada pada posisi sebagai Pimpinan dalam struktur Pemerintahan Wilayah Administratif. Pemberian gelar adat Tomaoge dilaksanakan sebagai wujud kesepakatan untuk menegaskan status pemimpin dalam kedudukannya pada wilayah keadatan. 

Tradisi pemberian gelar adat Tomaoge menjadi kelaziman setelah pemerintahan kekuasaan adat tidak lagi berlaku. Pemberian gelar adat Tomaoge merupakan  bentuk transisi personifikasi Magau yang merupakan Pemimpin dalam wilayah kekuasaan adat bergeser ke Pimpinan dalam struktur pemerintahan Wilayah Administratif. Meskipun secara historis status gelar adat Tomaoge sesungguhnya tidak terdapat dalam struktur  Libu Nu Madika  (struktur kekuasaan adat Kerajaan). 

Ketentuan adat terkait tata cara dan prosesi pemberian  gelar adat Tomaoge merupakan  prosesi penyematan atau pemberian gelar adat yang dilaksanakan oleh Libu Mbaso Potangara Nuada yang direpresentasi oleh beberapa Dewan Adat Patanggota dan Dewan Adat Pitunggota yang terdapat di beberapa wilayah keadatan Lembah Palu meliputi Palu, Sigi-Dolo, Sigi-Sibalaya, Kulawi, Banawa, Parigi, Loli, dan Tavaili.  

Dalam Libu Mbaso Potangara Nuada yang  diwakili oleh Dewan Adat Patanggota dan Dewan Adat Pitunggota  di Lembah Palu kewenangan atas keputusan Penyematan atau Pemberian gelar adat kepada seorang Tomaoge dapat dilaksanakan. Prosesi pemberian Gelar  Adat Tomaoge berdasarkan tata nilai keadatan merupakan wujud penghormatan terhadap tradisi dan budaya leluhur yang berlaku pada Masyarakat Kaili.

Magau dan Tomaoge merupakan dua gelar  adat yang diberikan kepada pemimpin dalam masayarakat Kaili di Sulawesi Tengah meskipun berada dalam derajat dan kualitas yang berbeda. Gelar adat bagi pemimpin mencerminkan peran, tanggung jawab, serta kedudukan seseorang dalam struktur  sosial dan budaya Masyarakat. Dalam filosofi kepemimpinan yang melekat pada gelar adat Tomaoge dan teristimewa Magau secara inheren melekat sifat-sifat Tomalanggai, Tobaraka, dan Tomanasa yang bermakna pada kualitas keluhuran Sikap, Tindakan, Kebijakan dan Kewibawaan yang terbentuk dari nilai kepemimpinan pada Masyarakat Kaili. 

Gelar adat  Magau dan pemberian Gelar adat Tomaoge tidak sekedar pencantuman  atau sebutan melainkan simbol yang menunjukan eksistensi, pengakuan, kehormatan dan fungsi pemimpin dalam menjaga tatanan masyarakat secara sosial dan budaya. Gelar adat menjadi penanda adanya fungsi dan peran pemimpin yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat. Gelar Adat  juga mereprsentasikan status dan kedudukan sosial dalam struktur Masyarakat yang menunjukan adanya tingkatan kehormatan dan kebangsawanan sekaligus simbolisasi atas adanya pengakuan terhadap keberadaan seorang pemimpin dalam Masyarakat.
Wallahu a'lam bissawab...

Boyaoge, 28 Juli 2025
Nisbah
Pemerhati  Budaya Kaili
 

Seri (27) Revitalisasi Budaya Kaili Analogi diametral Pagoli VS Transaksi Politik

Seri (27) Revitalisasi Budaya Kaili

Analogi diametral Pagoli VS Transaksi Politik 

"Pagoli" merupakan pranata sosial dalam sistem ekonomi masyarakat "Kaili" yang menguraikan tentang peran, posisi dan perilaku subjek   pembeli dan penjual dalam proses transaksi jual  beli hasil sumber daya laut dan pertanian. 
"Pagoli" sebagai subyek bertindak menjadi "tangan kedua" dengan serangkaian peran yang dimiliki untuk  mengatur dan menentukan nilai harga jual selanjutnya dalam transaksi jual beli hasil laut dan pertanian. 

Peran dan posisi  "Pagoli" pada masyarakat kaili, mendapat legitimasi dalam ruang transaksi jual beli sebagai sebuah proses yang yang sah dan  diakui dalam  menentukan jalannya sistem ekonomi pasar. Dalam pelaksaanaan transaksi jual beli pada konsep  "Pagoli" berlaku kontrol normatif mengenai hak-hak penjual dan pembeli yang bertumpu pada sistim nilai ekonomi masyarakat. Dalam transaksi, penjual dan pembeli tidak  berorientasi pada keuntungan pasar semata  tetapi juga kepada pola distribusi sumber-sumber pemenuhan kebutuhan primer masyarakat. 
Secara etik proses transaksional "Pagoli" tidak membenarkan adanya dominasi sepihak dengan memberi keuntungan sebesar-besarnya dan kerugian sebanyak-banyaknya baik kepada pihak pembeli maupun pada pihak penjual. Proses transaksional  idealnya  mengedepankan akses dalam distribusi hasil pertanian dan perikanan dengan kemanfaatan secara luas pada masyarakat. 

Menggunakan konsep  "Pagoli", sebagai analogi pembanding dalam mengurai  Politik transaksional dalam realitas politik, terdapat sisi diametral antara pagoli dengan politik transaksional. "Pagoli" termanifestasi sebagai sebuah sistem ekonomi yang mengejawantah secara konsisten sementara politik transaksional sebagai pola perilaku politik yang bersifat sporadik yang  akan muncul  saat momentum periodisasi kontestasi politik terjadi. Politik transaksional mengemuka ketika situasi kontestasi politik ditandai dengan terjadinya proses  memperdagangkan politik dengan segala hal terkait  kebijakan, kewenangan dan kekuasaan. 
Politik transaksional menjadi sebuah kredo yang tumbuh dan berkembang seiring menguatnya penerapan prinsip-prinsip demokrasi berlangsung di tengah masyarakat, dimana proses politik sarat dengan jual beli dan tukar-menukar jasa.  Politik transaksional  terjadi ketika  terjadi tawar menawar antara pelaku politik yang notabene adalah kontestan (calon) dengan konstituen yang diklaim dapat mewakili kepentingan politik. 

Menganalogikan pagoli dalam fenomena politik transaksional  dalam ruang kegiatan politik dapat menjelaskan berbagai pendekatan yang terjadi.  Adanya preferensi dengan pendekatan Kekeluargaan, kekerabatan dan  kedekatan dalam pertemanan dan persahabatan menjadi faktor pembentuk politik transaksional. 
Mengutip Boissevain, dalam Sulaiman Nizam (2002)  Politik transaksional, adalah hubungan pertemanan atau persaudaraan dalam setiap pendekatan untuk memenuhi permintaan.
Pada kondisi tertentu pendekatan politik transaksional meletakkan peran individu lebih dominan, dengan kecenderungan  tidak terikat kepada   peraturan   atau   sistem nilai tertentu. 
Fenomena politik transaksional sebagai sistem politik cenderung mengedepankan kepentingan pribadi dan golongan dalam ciri dan  sifat oligarkis. Kecenderungan politik transaksional  melahirkan situasi pro-kapitalis yang terkadang disertai sikap pengabaian terhadap hak-hak dasar masyarakat dalam menegaskan kepentingan fundamental.  
  
Indikator keberhasilan politik transaksional terlihat  dari  kesuksesan politik dalam meraih kekuasaan dan memperoleh kesejahteraan ekonomi bagi pelaku politik dan kelompoknya. Sementara Pagoli sebagai sebuah pranata sosial dalam sistem ekonomi menempatkan kekuatan kuasa bukan semata meraih penguasaan ekonomi  dan mengakses sumber-sumber kemakmuran untuk pribadi dan kelompok, melainkan untuk memperjuangkan kepentingan ekonomi  masyarakat dengan pola distribusi kebutuhan dengan membuka akses masyarakat terhadap pasar.

Logika politik transaksional, secara tidak langsung telah ikut mempengaruhi jalannya kehidupan politik. Politik transaksional memang bisa memuluskan kepentingan para pelaku politik mencapai orientasi politiknya, tetapi proses politik transaksional secara relatif dapat mengakibatkan buruknya kualitas moral para pelaku politik karena mengandalkan  kekuatan modal uang dalam mencapai dominasi kekuasaan. Para pelaku politik berpikir pragmatis dengan menyederhanakan segala tujuan demi memenuhi kepentingan kekuasaan. 

Kontestasi politik dalam demokrasi Indonesia lebih mirip pertandingan antara kontestan  individu  dan figur ketimbang pertandingan antara agenda substantif atau program ideologis yang koherensif. Dalam situasi paradoksal,  kontestasi lima tahunan yang demokratis nyaris tanpa substansi dan makna yang signifikan. Pelaku politik sering kali menjadi penentu utama keberhasilan kontestan dalam memenangkan pemilihan ketimbang agenda  program. 
Menggunakan analogi  Pagoli sebagai sebuah sistem dalam proses transaksi ekonomi yang tidak semata mengandalkan keuntungan namun juga diarahkan untuk memperkuat pemenuhan kebutuhan sumber-sumber  ekonomi  masyarakat. Sementara politik transaksional sekedar membentuk  sistem kepemimpinan yang hegemonis dengan melayani kepentingan kelompok belum sepenuhnya diarahkan untuk melayani kepentingan masyarakat secara substansial.
Wallahu a'lam bissawab....

Boyaoge, 09 Mei 2024
N I S B A H
Pemerhati budaya Kaili

Menyoal Sikap Politik

Serial Penguatan.... 
Catan Bebas
Menyoal Sikap Politik dalam Bingkai Politik Identitas
Kontestasi pemilu serentak 2019 telah menggiring elemen bangsa yg bergerak secara parsial menuju ruang politik identitas. Ruang publik telah terisi peran-peran antagonis yang menampilkan eksploitasi issu sara sebagai salah satu ciri bangunan oligarki.
Politisasi agama, persekusi, sentimental, sebagai penanda atas tumbuhnya warna politik sektarian menggeliat seakan sulit terhindarkan.


Politisasi Agama terligitimasi dalam tindakan komersialisasi nilai-nilai pandangan agama yang menggelindig bagai bola liar liar dengan membentur sudut-sudut ruang sosial dengan kuatnya. Politisasi agama ecara spontanitas membentuk perilaku insidentil masyarakat dengan kekuatan penuh yang menggerakan masyarakat untuk melakukan tindakan anarkis bahkan secara ekstrim memberi stigma negatif atas sebuah situasi sosial.
Ijtima ulama, tablig akbar, dan kegiatan keagamaan lainnya, telah menjadi penanda bahwa agama masih menjadi pilihan issu yang menarik untuk diolah dan diracik sebagai penarik simpati masyarakat jelang kontestasi politik akbar 2019. Denominasi agama terlihat begitu seksi sebagai objek untuk di eksploitasi sebagai jualan yang bakal mendapat keuntungan besar. Sikap dan perilaku fanatis begitu menonjol mengalahkan rasa soliditas, solidaritas, bahkan sikap saling menghargai.

Dalam ruang sosial kita tidak segan saling menghina, mengejek dan bahkan saling merendahkan nilai kedirian dan persahabatan, mengingkari hati nurani dengan kesimpulan bahwa calon dukungan kitalah yang paling baik karena calon pilihan lawan adalah buruk. Justifikasi keburukan bahkan tanpa sungkan di ungkapkan dengan pandangan yang hominem jauh mengabaikan kearifan dan kebijaksanaan yang idealnya harus tersaji dalam pentas demokrasi yang sangat menghargai perbedaan.

Secara umum bukankah sangat wajar ketika kita berbeda dan tidak sama dalam sebuah pilihan dalam alam demokrasi. Kontestasi yang sehat idealnya dapat menggiring kita dalam sikap agar tidak saling menghina, mengolok-olok apalagi merendahkan nilai kedirian seseorang atau kelompok. Bahwa kitalah yang paling benar, paling baik, paling unggul justeru mengajarkan sikap keserakahan, dominasi, superior yang tentunya secara kasat mata menjadi pembelajaran bagi generasi berikutnya. Bahwa dalam politik adalah wajar dan sah-sah saja untuk saling menghina, mengejek dan merendahkan orang lain. Perilaku tersebut seolah-olah menjadi pembenaran atas sebuah proses dalam realitas politik.

Dalam situasi ini, nilai keanggunan dan kesahajaan menjadi terabaikan dalam proses demokrasi dan kontestasi, padahal tujuan kita sesungguhnya dalam bingkai proses kontestasi adalah menciptakan tatanan demokrasi yang lebih baik dengan mengedepankan sisi edukasi untuk generasi pelanjut. Menjadi Naif justufikasi pembenaran adalah milik kita yang seolah menafikkan bahwa siapapun yang akan menjadi pemenang tetap berada dalam kendali Tuhan sang Pencipta..
 

Wallahu alam bissawab

Medio, 14 Januari 2019

N i s b a h
Pemerhati Pemilu

Seri (17) Revitalisasi Budaya Kaili N I P A L I

Seri (17) Revitalisasi Budaya Kaili

"N I P A L I"

Fenomena merebaknya Pandemi Covids 19 dengan daya paksa membentuk pola hubungan sosial berjarak (distancing social) dalam ruang interaksi sosial menjadi sebuah keniscayaan.
Pola hubungan sosial berjarak bahkan diikuti dengan kebijakan "karantina wilayah" (lockdown) telah "meruntuhkan" sejenak prinsip dan cara hidup manusia sebagai makhluk sosial.
Fenomena ini menjadi situasi umum terutama ketika diperhadapkan pada kondisi darurat dimana kehidupan sosial mengalami ancaman wabah dalam bentuk penyakit menular.

Di Sulawesi Tengah, jejak kehidupan masyarakat yang mengalami ancaman wabah seperti halnya Covids 19 bukanlah kali pertama menyerang. Banyak catatan sejarah tentang penyakit menular dimasa lalu disampaikan baik lewat dokumen Kolonial dan
koran nasional ketika peristiwa tersebut terjadi.
Laman historia.id   mencatat diantara berbagai jenis penyakit menular sekitar tahun 1658 penyakit cacar pernah melanda Sulawesi Tengah (Midden Celebes). Selain itu terjadi juga serangan Flu Spanyol tahun 1918-1919 yang menjadi pandemi saat itu. Sekitar 500 juta penduduk dunia terinfeksi, dengan korban meninggal sekitar 50 juta orang di seluruh dunia. Virus ini lebih mematikan ketimbang perang dunia pertama yang berakhir pada tahun itu.

Dokumen Historia Sulteng dan catatan seorang Sejarwan Mohamad Herianto yang dimuat di Sulteng Post, mengurai tentang wabah Flu Mao di Kota Palu, tahun 1970.
Wabah penyakit di lembah Palu terdokumentasikan dalam beberapa arsip seperti koran.
Mewabahnya "Jua Lele" atau penyakit menular akibat Flu Spanyol tahun 1920-an di tepi danau Poso mengakibatkan banyak orang meninggal dunia ketika itu.
Wabah Kolera yang disebut sebagai "Rumpa Datu"bahkan sempat menyerang tahun-tahun sebelumnya di Lembah Palu. Wabah Kolera ini terjadi karena cara hidup tidak bersih dan kotoran hewan yang ditemukan disembarang tempat.
Di Lembah Palu pada tahun 1942, juga pernah di serang wabah penyakit Kusta (Lepra) atau populer bagi orang Kaili disebut "Lampa Vau (Dua Oge)", akibatnya sejumlah wilayah pun harus di isolir karena penyakit tersebut. Bahkan Pemerintah Kolonial Belanda membangun gedung isolasi penderita Lepra yang disebut Lepratoruim di Desa Vatusampu. Kondisi berkepanjangan yang di akibatkan penyakit Lepra memaksa pemerintah harus membangun Sanatorium di Kapopo sebuah wilayah perbatasan antara Petobo dan Kavatuna.

Fenomena kondisi virus Pandemi dan penyakit mewabah ini bahkan didokumentasikan dengan apik oleh seorang seniman Kaili bernama Hasan Bahasuan, melalui lagu yang mengisahkan legenda seorang Putri Raja bernama Randa Ntovea yang harus "NIPALI RI TANA JAMBALI" ( diasingkan di tempat khusus) akibat menderita satu penyakit (Dua Da).

" Nipali" bermakna pada sebuah proses pengasingan terhadap seseorang yang terjangkiti suatu penyakit menular dan mewabah. Bagi masyarakat Kaili
Ketika itu, terdapat keyakinan bahwa bagi anggota masyarakat yang terkena wabah penyakit menular dianggap sebagai mendapat kutukan. Arwah manusia yang terjangkiti wabah tidak akan diterima di surga. Bahkan ketika ada salah satu anggota masyarakat pada sebuah kampung di kerajaan terkena wabah, maka seluruh kampung diyakini telah terkena kutukan. Karenanya, siapapun yang terkena wabah harus diasingkan atau "NIPALI". 
Pengasingan ini dilakukan karena penderita dianggap membawa sial dan tidak diterima di sorga. Bahkan, mereka yang mengalami penyakit dan tidak sembuh dimungkinkan untuk dikeluarkan dari lingkungan tempat tinggalnya.

"Nipali" adalah sebuah proses yang telah dilakukan oleh para leluhur di Tanah Kaili sejak dulu. Proses "Nipali" menunjukkan sebuah ketaatan terhadap nilai hidup dalam sebuah lingkungan sosial tempat tinggal atau "Ngata". Tabunya penderita suatu penyakit untuk tetap berada dalam lingkungan sosialnya justeru dianggap sebagai "sebuah pelanggaran" terhadap prinsip hidup bersama yang harus menularkan kebaikan dan keselamatan. "Nipali" memberi inspirasi terhadap kita saat ini ketika diperhadapkan dengan fenomena pandemi Covids 19, bahwa harus ada ketaatan terhadap " pembatasan hubungan sosial berjarak (distancing social) dan bahkan terhadap adanya "karantina wilayah" (Lockdown). Perilaku ketaatan atas Prinsip hubungan sosial berjarak dan karantina wilayah merupakan sebuah kearifan untuk menjaga lingkungan sosial kita sekaligus masa depan pada ruang sosial dimana kita berada. Bahwa yang kita butuh adalah toleransi untuk saling menjaga agar kehidupan dibumi dapat tetap lestari.... Insya Allah.
#marijagajarakuntukkehidupanselanjutnya.

Medio, 7 April 2020
N I S B A H
Pemerhati Budaya





Edisi Kontemplasi... "NEW NORMAL", MENGGUGAT SITUASI SOSIAL KITA , TEPATKAH ?

Edisi Kontemplasi... 

"NEW NORMAL", 
MENGGUGAT SITUASI SOSIAL KITA , TEPATKAH ?

Diskursus "New normal" menggiring kita pada pertanyaan apa yang akan menjadi "Normal Baru (New Normal)" dalam situasi Pandemi Covids 19. 
Jika ini sebuah tindakan protokol kesehatan untuk penanganan covids 19, apakah konsep ini  terkait cara, teknik, dan strategi untuk mereduksi Pola Perilaku, Pola Hidup, Pola Kebiasaan, untuk membentuk  perilaku baru masyarakat atau bahkan masyarakat dipaksa adaptif pada "situasi baru". 

Kehidupan masyarakat terbentuk dari  Perilaku masyarakat yang kemudian membentuk kebiasaan yang ditentukan situasi lingkungan dan proses interaksi dengan di tunjang oleh pola pikir masing-masing individu. 

Konsep "New Normal" yang digunakan untuk penanganan Situasi pandemi covids 19, menjadi sebuah konsep yang "seolah-olah baru" untuk diadaptasi.
Konsep ini menjadi "debatable" karena sesungguhnya kita telah digiring  pada argumentasi bahwa terdapat arah kehidupan baru yang akan di tuju dengan kemampuan meminimalisir pengaruh covids 19 atas sebuah kehidupan baru masyarakat, meskipun "kehidupan  niscaya selalu bergerak pada situasi baru" dimana setiap orang pada akhirnya harus menjadi "the  guardian of the human life" jika seperti ini (kalau sekiranya kita  tidak terjebak pada  istilah ) proses kehidupan dalam perkembangan masyarakat seringkali sudah menunjukkan semangat akan adanya perubahan  karena perubahan sosial adalah sebuah keniscayaan yang senantiasa berproses.

Ketangguhan masyarakat di Palu, Sigi dan Donggala  atas terjadinya bencana alam 28 September 2018 sesungguhnya menampilkan sebuah contoh nyata bagaimana semangat  akan "situasi normal" telah membentk  sebuah realitas, jadi sesungguhnya apa yang "new" atau "baru", ataukah kita hendak mengadopsi kehidupan baru dari dunia antah berantah, 
Apa yang sesungguhnya yang hendak kita bentuk? Cara pandang barukah?,  strategi protokol kesehatan barukah?, atau pembentukan situasi baru atas sebuah realitas?...
Gejala ini menjadi indikasi bahwa apakah kita sedang dalam kondisi  tidak baik-baik saja ketika diperhadapkan pada situasi pandemi covids 19. 

Jika menilik situasi sosial  dalam  refleksi ruang interaksi sosial kita, riuh-rendah, pro-kontra, suka-tidak suka, setuju-tidak setuju menjadi cara pandang kita terhadap penanganan covids 19 yang idealnya  harus tetap mengandalkan kearifan lokal dalam kehidupan  alamiah. Situasi sosial haruslah terbentuk dari realitas budaya tentunya dengan bertumpu pada nilai budaya lokal.

Perkembangan masyarakat dari primitif ke agraris hingga menuju industrialis menjadi tanda alam bagaimana manusia dalam kelompok mampu bertahan hidup secara survival dan selalu dalam kendali  hubungan kosmologi...
Substansi dasar sisi kemanusiaan kita dalam proses interaksi sosial akan memunculkan secara alamiah  rasa solidaritas, empati,  soliditas bahkan anti sosial yang mengikat kohesitas sosial. 
Wallahu alam bissawab...

Consept the "New Normal" is debatable... 
Maybe this fact was utopis...
#keepstrongforthestruglleoflife.

Medio, 27 Mei 2020,
N I S B A H
Pemerhati Sosial  Budaya

Seri (6) Penguatan Budaya Kaili Stratifikasi Sosial Masyarakat Kaili.

Seri (6) Penguatan Budaya Kaili

Stratifikasi Sosial Masyarakat Kaili.

Stratifikasi sosial atau pelapisan sosial adalah tempat atau kedudukan dalam hirarki tatanan masyarakat (Manheim, 1996). Stratifikasi atau pelapisan sosial menunjukkan adanya perbedaan kedudukan atau status individu dalam masyarakat yang didasarkan pada kelas-kelas sosial yang bertingkat dengan wujud lapisan tinggi, sedang, dan rendah.

Stratifikasi sosial pada masyarakat Kaili didasarkan pada kriteria yang ditentukan oleh keturunan, keaslian, dan kekuasaan adat yang dimiliki. Secara umum zaman dahulu hingga kini pada masyarakat Kaili ditemukan empat tingkatan stratifikasi/pelapisan sosial yaitu :
1. Magau (Raja)
2. Maradika (madika) atau to
     tua nungata (Bangsawan).
3. Rakyat kebanyakan (to dea)
4. Budak (batua)

Magau (Raja) berdasarkan keturunannya diyakini adalah turunan dari to manuru. To Manuru yang berarti perempuan yang menjelma secara tiba-tiba. Masyarakat Kaili mempercayai bahwa raja secara turun temurun merupakan keturunan langsung dari dewa. Bangsawan adalah kelompok masyarakat penduduk asli yang mempunyai kedudukan sosial lebih tinggi dari rakyat kebanyakan dan berdasarkan silsilahnya masih keturunan Magau (Raja) atau bahkan memiliki ikatan/hubungan kekerabatan dengan Magau (raja).

Rakyat kebanyakan adalah golongan penduduk biasa yang tidak mempunyai pertalian darah dengan kelompok bangsawan atau bukan keturunan raja. Saat ini golongan pendatang yang bukan suku Kaili dikategorikan dalam lapisan masyarakat kebanyakan. Adapun budak merupakan kelompok masyarakat masyarakat lapisan bawah, mereka merupakan kelompok masyarakat yang berfungsi melayani kebutuhan dan keperluan hidup sehari-hari golongan bangsawan atau raja. Saat ini kelompok masyarakat budak tidak tampak secara nyata dalam kehidupan masyarakat namun masih diakui bahwa lapisan masyarakat budak ini pernah ada.

Pelapian sosial menciptakan perlakuan berbeda bagi setiap anggota masyarakat. Bagi golongan madika atau keturunannya akan memiliki kekhususan tersendiri yang berbeda dari lapisan masyarakat bawah. Madika atau Maradika adalah gelar atau sebutan bagi golongan yang memegang kekuasaan adat atau memiliki keturnan darah biru dan masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Magau. Bagi Madika yang tidak memiliki kekuasaan adat atau hanya merupakan keturunan darah biru disebut dengan Madika Kadi, sementara bagi Madika yang memiliki kekuasaan di sebut dengan Madika Mbaso. Pemberian nama seseorang yang berada pada golongan Madika juga berbeda golongan biasa. Umumnya nama-nama keturunan Madika menggunakan gelar khusus di awal namanya seperti “Andi”, “Dae”, dan “Intje”, sementara panggilan terhadap mereka sering disebut “Pua".

Atribut yang dipergunakan pada lapisan Madika berupa rumah yang bentuknya lebih besar yaitu Sou Raja bagi Magau, Kataba dan Palava bagi golongan Madika dan To Dea. Jenis pakaian bagi Magau dan To Dea juga dibedakan dari ragam perhiasan corak dan warna pakaian yang dikenakan . Penggunaan simbol dengan instrumen ulo-ulo dalam upacara kelahiran, perkawinan, dan kematian menunjukkan bahwa atribut,dan simbol pada golongan madika tidak sama dengan masyarakat biasa.
Rangkaian upacara kelahiran yang dilalui ketika menjelang proses kelahiran dimulai dengan upacara Nolengga yang dilakukan ketika kandungan genap berusia tujuh bulan kemudian setelah lahir dilakukan upacara Nokeso/Noloso dan Nosombebulua. Rangkaian upacara ini lazim dilaksanakan pada golongan Madika. Pada upacara perkawinan terdapat perbedaan antara golongan keturunan Magau dan Madika dengan rakyat biasa. Pakaian yang dikenakan adalah pakaian adat dengan corak dan kualitas kain yang baik. Biasanya pengantin pada lapisan ini akan menggunakan pakaian dan asesoris adat yang telah disimpan lama secara turun temurun yang terbuat dari emas murni.

Pada masa pra Islam terdapat upacara pengobatan atau penyembuhan orang yang sakit dimana ada perbedaan antara upacara yang di berlakukan bagi Magau yang disebut Balia Maloso, sementara bagi masyarakat biasa berlaku Balia Bone Biasa. Perbedaan antara upcara kedua golongan ini ditandai pada kualitas dan kuantitas atribut yang digunakan.
Pada upacara kematian, perbedaan dengan golongan masyarakat biasa dengan golongan Madika (bangsawan) atau turunan Magau (raja) tampak pada peti jenazah yang di usung dalam keranda yang dihiasi dengan kain warna-warni (Tabere) dan ditandu dengan bambu kuning. Selain itu pada golongan ini prosesi pelaksanaan upacara kematian yang dilalui sangat banyak. Atribut golongan bangsawan (Madika) cirinya relatif sama dengan golongan Magau namun tidak boleh melampaui milik Magau, baik kualitas, jumlah, isi serta makna yang berbeda.

Perkawinan pada golongan keturunan Magau dan Madika disebut dengan adat Nosibolai/Nibolai sementara bagi golongan Ntodea atau rakyat biasa disebut dengan Nosiduta. Upacara perkawinan pada masyarakat Kaili ditentukan pada nilai mahar adat yang disebut Sunda. Adapun penentuan nilai mahar adat didasarkan pada status dan kedudukan sosial atau Anggu Nu Vati (Abdullah, 1975).
 
Nilai mahar baik kualitas, kauntitas dan jenisnya harus sesuai dengan status dan kedudukan serta keturunan seorang perempuan dalam lapisan tertentu. Dalam masyarakat ini dikenal ketentuan nilai mahar berdasarkan aturan adat yang berlaku yaitu bagi raja dan keturunannya (Vati Nu Madika) berlaku adat pitumpole, golongan bangsawan (Vati Nu Oge) berlaku adat Patampole atau Limampole, bagi golongan masyarakat biasa ( Vati Nto Dea) berlaku adat Sanjasio, sementara bagi golongan budak (Vati Nu Batua) tidak diatur berdasarkan ketentuan adat.

Ketentuan mahar tersebut merupakan syarat yang wajib disertakan untuk melengkapi Sambulugana (kepala mahar adat). Sambulugana ini merupakan syarat pertama yang harus disiapkan ketika terjadi peminangan pada semua tingkatan masyarakat baik raja dan keturunannya, bangsawan maupun golongan biasa. Adapun Sambulugana terdiri dari :
1. Sebuah tempat sirih (Sambulu) dari emas lengkap dengan isinya berupa sirih, pinang, gambir, kapur sirih, tembakau, yang setiap jumlahnya disesuaikan dengan tingkatan strata sosialnya. 2. Seekor domba atau kambing sebagai kepala (Balengga nu sambulugana).
3. Sebentuk cincin emas sebagai inti (Unto Nu Sambulugana).
4. Seperangkat pakaian perempuan lengkap dengan perhiasannya.
5. Buah-buahan yang jenisnya disesuaikan dengan tingkatan stratanya.

Kemungkinan terjadinya perkawinan dari golongan berbeda dapat saja terjadi dimana turunan magau atau golongan madika kawin dengan golongan To Dea. Melakukan perkawinan dengan turunan magau atau golongan madika menjadi satu kebanggaan karena derajat dan status sosial akan naik dan berada pada lapisan atas. Meskipun mereka yang telah terikat oleh hubungan darah karena terjadinya perkawinan antar lapisan, namun tetap ada pembedaan dalam pergaulan sehari-hari pada zaman dulu.

Hubungan antar lapisan pada masyarakat Kaili terbangun melalui hubungan kekerabatan, hubungan bertetangga, hubungan pekerjaan, dan hubungan kemasyarakatan. Hubungan kekerabatan dapat terjalin erat melalui pertalian darah dan perkawinan. Hubungan ini menegaskan adanya hubungan kuat yang terikat oleh perkawinan dapat menjadi ikatan keluarga yang satu. Tolong menolong dengan prinsip sintuvu posara menunjukkan adanya hubungan yang erat. Hubungan dalam bertetangga terjalin sangat akrab terutama jika berasal dari lapisan status sosial misalnya antara golongan sesama Madika yang sama namun hal ini tidak mengganggu hubungan yang terjalin dengan masyarakat biasa, karena lapisan sosial ini biasanya yang paling sering memberikan pertolongan jika ada pekerjaan yang diselesaikan.

Hubungan pekerjaan yang terjalin antar lapisan sosial berbeda pada masa pemerintahan kerajaan masih berlaku memperlihatkan hubungan yang berbeda. Hal ini terjadi karena lapisan masyarakat budak menjadi pekerja yang mengurus seluruh sawah, ladang dan peternakan milik Magau atau Madika. Golongan masyarakat biasa kadangkala juga memberikan bantuan kepada Magau atau Madika jika pelaksanaan upacara daur hidup dilaksanakan. Hal ini dilakukan sebagai simbol pengabdian dan rasa tolong menolong yang mendasari hubungan tersebut.

Pada masyarakat kebanyakan (To dea) juga terdapat pelapisan sosial samar yaitu kedudukan dan status sosial yang dimiliki seseorang atau sekelompok orang didasarkan pada keahlian dan keberanian yang dimiliki. Pada masyarakat Kaili keberadaan Sando atau Pagane (dukun atau ahli mantera) memiliki status sosial tersendiri dalam masyarakat. Dengan keahliannya yang dapat mengobati penyakit dan juga menentukan hari baik dan buruk untuk melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari. Sando atau Pagane dapat menentukan dimana dan saat mana sebaiknya membangun rumah, dan menempatinya. Demikian pula kapan saatnya untuk memulai masa tanam dan masa panen. Peranan Sando atau Pagane pada masa lalu sangat menonjol dan diakui masyarakat karena dapat menuntun kelompok masyarakat melakukan aktivitasnya.

Demikian pula halnya dengan seseorang yang diberi julukan Tadulako akan memiliki status sosial tersendiri dalam masyarakat. Hal ini terjadi karena seseorang yang memiliki julukan Tadulako dianggap memiliki keberanian dan kesaktian, ilmu kebal, dan pengetahuan akan ilmu bela diri serta keterampilan menggunakan alat perang. Mereka dihargai dan dihormati oleh masyarakat dan terkadang mereka diangkat sebagai pemimpin komunitas atau kelompok secara tidak resmi.

Gambaran mengenai stratifikasi sosial berdasarkan faktor keturunan dalam upacara siklus hidup, saat ini tidak lagi dominan dalam kehidupan masyarakat Kaili khususnya pada masyarakat biasa meskipun pada klan-klan yang notabene adalah keturunan raja (madika) atau golongan bangsawan prosesi dengan simbol-simbol ini masih dapat ditemui dengan jelas.

Seiring terjadinya perubahan dalam kehidupan sosial yang ditandai dengan makin heterogennya kehidupan masyarakat, maka pelapisan sosial tidak lagi semata-mata didasarkan pada faktor keturunan, keaslian maupun kekuasaan yang dimiliki seseorang tetapi juga dengan memperhatikan jabatan kepangkatan dalam pemerintahan, tingkat pendidikan baik formal dan non formal seperti intelektual, ulama, tokoh-tokoh adat maupun profesi lainnya dalam bidang pengetahuan. Namun jika seseorang yang memiliki kelebihan-kelebihan tersebut berasal golongan bangsawan dan masih keturunan raja maka kedudukan dan status sosialnya akan semakin tinggi.

Boyaoge, 6 september 2019
Pemerhati Budaya Kaili
NISBAH

Edisi Kontemplasi EMPATIKU UNTUKMU LEMBANTONGOA

Edisi Kontemplasi
EMPATIKU UNTUKMU LEMBANTONGOA

Lembantongoa wajahmu hari ini menjadi saksi atas luka kemanusiaan, pedih tertoreh pada jejak kematian yang tersajikan... 

Kenapa harus  ada lagi cara pandang  merendahkan.., 
Kenapa harus ada lagi sikap yang  menghinakan.., 
kenapa harus ada lagi perilaku  melukai.., 
Kenapa harus ada lagi perangai  kebiadaban.., 
Kenapa harus ada lagi tindak  kekerasan..,

Ketika kesejatian derajat manusia harus tampil dalam ruang untuk saling
membunuh....,
Maka tak ada lagi arti kasih sayang.., 
tak ada lagi arti rasa empati...,
tak ada lagi rasa solidaritas.., 
tak ada lagi rasa persaudaraan

kemana kesedihan ini akan kami bawa...  ketika jejak kekerasan akan menjadi penanda sejarah, akankah lekang rasa toleransi  atau akan  tergerus dalam lorong waktu 
Kami bertahan dalam mimpi "kedamaian"...

Medio, November 2020
N I S B A H