Sabtu, 15 Juni 2024

Seri (25) Revitalisasi Budaya KailiAnalogi diametral Pagoli VS Transaksi Politik

Seri (25) Revitalisasi Budaya Kaili

Analogi diametral Pagoli VS Transaksi Politik 

"Pagoli" merupakan pranata sosial dalam sistem ekonomi masyarakat "Kaili" yang menguraikan tentang peran, posisi dan perilaku subjek   pembeli dan penjual dalam proses transaksi jual  beli hasil sumber daya laut dan pertanian. 
"Pagoli" sebagai subyek bertindak menjadi "tangan kedua" dengan serangkaian peran yang dimiliki untuk  mengatur dan menentukan nilai harga jual selanjutnya dalam transaksi jual beli hasil laut dan pertanian. 

Peran dan posisi  "Pagoli" pada masyarakat kaili, mendapat legitimasi dalam ruang transaksi jual beli sebagai sebuah proses yang yang sah dan  diakui dalam  menentukan jalannya sistem ekonomi pasar. Dalam pelaksaanaan transaksi jual beli pada konsep  "Pagoli" berlaku kontrol normatif mengenai hak-hak penjual dan pembeli yang bertumpu pada sistim nilai ekonomi masyarakat. Dalam transaksi, penjual dan pembeli tidak  berorientasi pada keuntungan pasar semata  tetapi juga kepada pola distribusi sumber-sumber pemenuhan kebutuhan primer masyarakat. 
Secara etik proses transaksional "Pagoli" tidak membenarkan adanya dominasi sepihak dengan memberi keuntungan sebesar-besarnya dan kerugian sebanyak-banyaknya baik kepada pihak pembeli maupun pada pihak penjual. Proses transaksional  idealnya  mengedepankan akses dalam distribusi hasil pertanian dan perikanan dengan kemanfaatan secara luas pada masyarakat. 

Menggunakan konsep  "Pagoli", sebagai analogi pembanding dalam mengurai  Politik transaksional dalam realitas politik, terdapat sisi diametral antara pagoli dengan politik transaksional. "Pagoli" termanifestasi sebagai sebuah sistem ekonomi yang mengejawantah secara konsisten sementara politik transaksional sebagai pola perilaku politik yang bersifat sporadik yang  akan muncul  saat momentum periodisasi kontestasi politik terjadi. Politik transaksional mengemuka ketika situasi kontestasi politik ditandai dengan terjadinya proses  memperdagangkan politik dengan segala hal terkait  kebijakan, kewenangan dan kekuasaan. 
Politik transaksional menjadi sebuah kredo yang tumbuh dan berkembang seiring menguatnya penerapan prinsip-prinsip demokrasi berlangsung di tengah masyarakat, dimana proses politik sarat dengan jual beli dan tukar-menukar jasa.  Politik transaksional  terjadi ketika  terjadi tawar menawar antara pelaku politik yang notabene adalah kontestan (calon) dengan konstituen yang diklaim dapat mewakili kepentingan politik. 

Menganalogikan pagoli dalam fenomena politik transaksional  dalam ruang kegiatan politik dapat menjelaskan berbagai pendekatan yang terjadi.  Adanya preferensi dengan pendekatan Kekeluargaan, kekerabatan dan  kedekatan dalam pertemanan dan persahabatan menjadi faktor pembentuk politik transaksional. 
Mengutip Boissevain, dalam Sulaiman Nizam (2002)  Politik transaksional, adalah hubungan pertemanan atau persaudaraan dalam setiap pendekatan untuk memenuhi permintaan.
Pada kondisi tertentu pendekatan politik transaksional meletakkan peran individu lebih dominan, dengan kecenderungan  tidak terikat kepada   peraturan   atau   sistem nilai tertentu. 
Fenomena politik transaksional sebagai sistem politik cenderung mengedepankan kepentingan pribadi dan golongan dalam ciri dan  sifat oligarkis. Kecenderungan politik transaksional  melahirkan situasi pro-kapitalis yang terkadang disertai sikap pengabaian terhadap hak-hak dasar masyarakat dalam menegaskan kepentingan fundamental.  
  
Indikator keberhasilan politik transaksional terlihat  dari  kesuksesan politik dalam meraih kekuasaan dan memperoleh kesejahteraan ekonomi bagi pelaku politik dan kelompoknya. Sementara Pagoli sebagai sebuah pranata sosial dalam sistem ekonomi menempatkan kekuatan kuasa bukan semata meraih penguasaan ekonomi  dan mengakses sumber-sumber kemakmuran untuk pribadi dan kelompok, melainkan untuk memperjuangkan kepentingan ekonomi  masyarakat dengan pola distribusi kebutuhan dengan membuka akses masyarakat terhadap pasar.

Logika politik transaksional, secara tidak langsung telah ikut mempengaruhi jalannya kehidupan politik. Politik transaksional memang bisa memuluskan kepentingan para pelaku politik mencapai orientasi politiknya, tetapi proses politik transaksional secara relatif dapat mengakibatkan buruknya kualitas moral para pelaku politik karena mengandalkan  kekuatan modal uang dalam mencapai dominasi kekuasaan. Para pelaku politik berpikir pragmatis dengan menyederhanakan segala tujuan demi memenuhi kepentingan kekuasaan. 

Kontestasi politik dalam demokrasi Indonesia lebih mirip pertandingan antara kontestan  individu  dan figur ketimbang pertandingan antara agenda substantif atau program ideologis yang koherensif. Dalam situasi paradoksal,  kontestasi lima tahunan yang demokratis nyaris tanpa substansi dan makna yang signifikan. Pelaku politik sering kali menjadi penentu utama keberhasilan kontestan dalam memenangkan pemilihan ketimbang agenda  program. 
Menggunakan analogi  Pagoli sebagai sebuah sistem dalam proses transaksi ekonomi yang tidak semata mengandalkan keuntungan namun juga diarahkan untuk memperkuat pemenuhan kebutuhan sumber-sumber  ekonomi  masyarakat. Sementara politik transaksional sekedar membentuk  sistem kepemimpinan yang hegemonis dengan melayani kepentingan kelompok belum sepenuhnya diarahkan untuk melayani kepentingan masyarakat secara substansial.
Wallahu a'lam bissawab....

Boyaoge, 09 Mei 2024
N I S B A H
Pemerhati budaya Kaili

Senin, 25 September 2023

Seri (20) Revitalisasi Budaya Kaili

Seri (20) Revitalisasi Budaya Kaili

"Toniasa" dan Asa Sulawesi Tengah

"Toniasa" sebuah diksi pada masyarakat kaili untuk penyebutan bagi seseorang baik laki-laki maupun perempuan yang mendapat pengesahan status.
Penyebutan "Toniasa" lazim disematkan bagi seseorang yang akan melalui prosesi pengesahan status dalam periodisasi perkembangan umur untuk memasuki tahap dewasa. Bahkan pengesahan status bagi seseorang yang akan beralih status dalam perkawinan juga disebut sebagai "Toniasa", pun demikian dengan seseorang yang mendapat pengesahan status karena perpindahan dan peningkatan status, gelar atau jabatan tertentu dalam masyarakat.

Secara akronim Toniasa terdiri dari rangkaian kata "Tona" berarti "orang", "ni paka" berarti "dijadikan" dan "asa" berarti "sah atau terpilih". Jadi "Toniasa" berarti seseorang yang telah "terpilih dan disahkan" menjadi manusia dewasa dengan segala pemaknaan "kedewasaan" yang melekat dalam kediriannya, demikian pula jika seseorang yang akan memasuki masa perkawinan ataupun seseorang yang terpilih dan sah mendapat gelar, jabatan dan status sosial dalam masyarakat.

Secara sosiologis, pengesahan status penting untuk mempertahankan eksistensi sistim masyarakat karena fungsi status dalam masyarakat harus ditempati agar kesinambungan masyarakat dapat berlangsung (Davis dan Moore).

Pada masyarakat kaili, tradisi pengesahan status menuju "kedewasaan" melalui serangkaian proses upacara adat yang dimulai dengan "ra songi" yaitu prosesi mengurung diri pada satu ruang khusus dalam rangka membentuk sikap disiplin yang dilandasi rasa ikhlas dan sikap kesahajaan dalam mentaati seluruh aturan adat yang berlaku. Prosesi dilanjutkan dengan "Ni Keso" yaitu pembersihan diri dari sifat buruk dan selanjutnya diakhiri dengan upacara " No Loso" yaitu upacara pelantikan secara terbuka yang didahului dengan pemberian nasehat dan petuah dari para "totua nu ngata" agar "toniasa" dapat menjalankan tanggung jawab dengan baik dalam kehidupan masyarakat.

Upacara pelantikan menjadi prosesi terakhir bagi pengesahan terhadap "toniasa" yang dianggap telah mampu melewati tahapan ujian sekaligus penegasan bahwa keberadaannya sebagai "seseorang yang terpilih" dengan segala martabat kemanusiaaanya. Keterpilihan"Toniasa" memberi makna pada pencapaian kematangan emosional, kognitif dan intelektualitas dalam
jarak usia ideal dan karakter kepribadian yang kuat.

Adapun "Toniasa" dalam prosesi perkawinan lazim melewati serangkaian tahapan pra kawin yang disebut dengan " No Gigi" yaitu pembersihan badan dengan cara mencukur "rambut-rambut halus dibadan" yang disimbolkan sebagai pembersihan diri dari hal-hal buruk yang dapat berpengaruh pada pembentukan perilaku.

Kesuksesan seseorang yang terpilih untuk memperoleh jabatan atau kedudukan tertentu dalam masyarakat secara sinkronik, pun dapat di sebut sebagai "Toniasa".
Momentum Pemilihan Gubernur Sulawesi Tengah dapat dimaknai sebagai prosesi terpilihnya "Toniasa" untuk memimpin Sulawesi Tengah pada periode selanjutnya.

Terpilihnya "Toniasa" yang akan dilantik dan disahkan sebagai Gubernur yang akan memimpin Sulawesi Tengah lima tahun mendatang menghadirkan beragam ekspektasi. Pada "Toniasa" yang telah terpilih sebagai Gubernur, masyarakat Sulawesi Tengah mengantungkan harapan besar. Insya Allah "Toniasa" yang akan memimpin Sulawesi Tengah kedepan dapat menjadi "Tomaoge" yang mengayomi seluruh masyarakat Sulawesi Tengah", Insya Allah...

Toniasa kana Manjaliku Ka Tuvu Ntodea, Mompaka roso ngata ala mabuke nte sugi"
Barakallah...

Persembahan untuk "Toniasa" yang akan dilantik sebagai Gubernur Sulawesi Tengah periode 2021-2024....

Boyaoge, 15 Juni 2021
N I S B A H
Pemerhati budaya kaili

Senin, 12 September 2022

Seri (24) Revitalisasi Budaya Kaili

Seri (24) Revitalisasi Budaya Kaili

Tai Ganja simbol Penguatan
Santina pada To Kaili

Pengenalan Tai Ganja sebagai ornamen simbolik, sejauh ini bagi Masyarakat Sulawesi Tengah secara relatif kurang popular dalam ruang interaksi sosial. Demikian pula dengan Diksi Santina yang merupakan pengungkapan makna tentang satuan kekerabatan yang melingkari seseorang berdasarkan hubungan keluarga luas dalam satu residensial area  yang menggunakan prinsip matrilokal. 

Residensi matrilokal menjadi ciri pemukiman  yang digunakan sebagai pembentuk hunian wilayah secara kultural. Residensi matrilokal ini merupakan cikal bakal yang kemudian berkembang dan digunakan sebagai penegasan wilayah adminstratif pemerintahan.

Pada Orang kaili, Residensi matrilokal secara substantif memberi  pemaknaan  bahwa orang kaili tdk bisa lepas dengan asal usul teritori kelahirannya. Dasar penggolongan sekerabat yang  menjadi dasar genealogis  leluhur di ikat oleh identitas matrilinealnya yang disebut dengan  santina yang menunjuk pada garis keturunan secara turun temurun.

Pembentukan Latar belakang genealogis seseorang dimulai dari garis keturunan yang sama secara matrilineal. Seseorang akan terkoneksi dalam satuan kekerabatan yang berasal dari hubungan sedarah. Ketika lahir seseorang  terikat dengan asal usul kekerabatan yang dibentuk secara arif dalam relasi satuan ekosistim dimana perempuan dengan peran reproduksinya menjadi simbol pengikat hubungan antar manusia dengan manusia dan antar manusia dengan alam.

Santina menjadi dasar penggolongan kekerabatan dalam satu wilayah hunian dengan ciri residensi matrilokal dalam bentuk ngapa,ngata, boya, soki, kinta. Residensi matrilokal bukan hanya sekedar teritori hunian tempat lahir tapi menampilkan prinsip nilai  kekerabatan turun temurun dengan segala unsur nilai budaya yg melingkupinya terutama pada Tai Ganja sebagai simbol pengikat satuan kekerabatan yang berasal dari satu sumber kehidupan yang sama yaitu perempuan.

Peran perempuan secara dimensional sebagai kekuatan inti sumber kehidupan ditandai dengan fungsi perempuan sebagai penyemai kesuburan dan subyek yang melahirkan generasi . Dari perempuanlah  awal kehidupan dimulai dengan menjalankan fungsi reproduksinya. Kekuatan perempuan  dalam dimensi fungsi reproduksi  serta pengelola dan   pemelihara eksosistim inilah yang kemudian disimbolkan dalam Tai Ganja.

Filosofi  dan pemaknaan Tai Ganja  menjadi Dasar pembentukan Santina sebagai hunian residensi matrilokal dan pengelola  Ekosistem  kehidupan.
Tai Ganja secara simbolik memberi arti dan makna sebagai  alat kelamin perempuan dengan seluruh fungsi reproduksi. Alat kelamin perempuan berkonotasi sebagai pusat kehidupan karena dari sanalah manusia lahir membentuk ekosistim kehidupan secara berkesinambungan. 

Perempuan secara arif  dimaknai sebagai subyek pembentuk dan pengendali kehidupan  dalam dimensi peran dan fungsinya. Hubungan perempuan dengan alam  digambarkan dalam dimensi fungsi reproduksi dan  peran menjaga keteraturan alam  dalam  mengelola pemanfaatan sumber daya alam secara proporsional untuk  kebutuhan dasar hidup manusia. Menjaga sumber daya alam yang dibutuhkan untuk pemenuhan kebutuhan manusia menegaskan bahwa perempuan  menjadi kekuatan inti penyangga kehidupan karena pada perempuan kesinambungan kehidupan dan keseimbangan alam  dapat terus berlangsung,
wallahu alam bissawab...Tabe

TANAHKU INDOKU...
UMMAKU LANGI...
TINAKU TINANGATA...

Boyaoge, 24 Agustus 2022
N I S B A H
Pemerhati budaya kaili


Seri (23) Revitalisasi Budaya Kaili

Seri (23) Revitalisasi Budaya Kaili

Paradoksal Tanasi dan Saronda

"Tanasi" dan "Saronda" dua Diksi populer pada masyarakat Kaili untuk menggambarkan kondisi paradoksal kematangan "buah" dan "masakan". Penggambaran Kondisi kematangan masing-masing memiliki perbedaan kualitas yang dihasilkan setelah melalui proses buatan alamiah dan non alamiah.

"Tanasi" adalah kondisi pada buah dengan kualitas kematangan yang tidak sempurna karena mengalami rasa pakat disertai adanya biji-biji kecil yang bercampur dengan daging buah sehingga menghasilkan rasa tidak enak ketika di makan.

Adapun "Saronda", secara diksional adalah hasil olahan masakan dengan ciri tampilan yang sudah matang namun ketika dicicipi masih terasa mentah meskipun saat makanan di masak menggunakan api relatif besar namun sebaliknya kualitas makanan yang dihasilkan menampilkan rasa yang tidak enak. Ketidak matangan masakan terjadi justeru disebabkan oleh nyala api yang digunakan terlalu besar tapi tidak disertai tingkat kepanasan yang mampu mematangkan masakan.

Dua kondisi kematangan buah dan makanan yang paradoksal menjadi analogi bagi perilaku seseorang dalam masyarakat. Bagi orang kaili dua kondisi tersebut memberi gambaran situasi kematangan psikologis yang berimplikasi pada tindakan sosial.

"Tanasi" merupakan analogi perilaku yang ditampilkan terkesan berlebihan dengan sikap "over acting" dimana tampilannya seolah-olah sudah mencapai kematangan dengan kualitas isi yang baik, meskipun indikasi tampilan hanya terlihat pada fisik atau luarnya saja.

Adapun "Saronda" menjadi analogi perilaku seseorang yang terkesan berlebihan dengan kualitas kematangan yang baik, tapi sesungguhnya masih belum mencapai kesempurnaan sikap dan perilaku yang bersahaja bahkan cenderung disertai adanya sikap sombong dan arogansi.

Dua analogi ini menjadi penanda atas sikap dan perilaku yang merasa lebih baik dari orang lain dan merasa paling mengetahuit segala sesuatu meskipun belum mencapai kematangan standar.
Paradoksal perilaku "Saronda" dan "Tanasi" tidak memberikan pengaruh positif dalam relasi sosial karena cenderung merugikan orang lain yang tertipu pada hasil yang telah berproses karena sifatnya manipulatif.

Secara filosofi "Saronda" dan "Tanasi" adalah paradoksal perilaku yang relatif lazim ditampilkan dalam interaksi sosial masyarakat. Paradoksal perilaku "Tanasi" dan "Saronda" sejauh ini telah menjadi penanda dalam perilaku yang berorientasi pada kepentingan pragmatis dan mampu mengurai prinsip-prinsip idealisme dalam komitmen yang terbangun dalam hubungan sosial yang terjalin.
Sepintas "Tanasi" dan "Saronda" menggambarkan kualitas kematangan perilaku artifisial yang bahkan mampu meruntuhkan nilai-nilai integritas.

Wallahu alam bissawab...
Semoga Allah selalu memberi Rahmat dan Hidayah bagi kita Semua...Barakallah

Boyaoge, 31 Mei 2022
N I S B A H
Pemerhati budaya kaili

Seri (22) Revitalisasi Budaya Kaili

" NATUARI "

"Natuari", Sebuah diksi lokal, popular dalam bahasa Kaili yang menggambarkan pola perilaku seseorang dalam lingkungan pergaulan dengan sikap "serba segalanya", sok tahu, sok pintar, sok jago, pandir, yang disertai perilaku tidak menghargai batasan senioritas dan batasan umur.

Pola perilaku"Natuari" sering muncul dalam ruang interaksi pergaulan dan ruang interaksi politik dengan mengabaikan aspek etika bergaul atau adab kesopanan maupun kesantunan.
"menyepelekan lawan bicara", "memandang subjektif orang lain", tidak menghargai senior yang lebih tua, bahkan mengganggap rendah wawasan orang lain yang diikuti rasa percaya diri berlebih karena merasa memiliki kelas sosial tinggi, memiliki kemampuan ekonomi yang baik, bahkan diikuti perilaku "over acting" dengan dominasi personal pada ruang interaksi.

Pada masyarakat Kaili, tampilan perilaku "Natuari" menjadi ukuran terhadap penerimaan seseorang dalam pergaulan bahkan dapat menjadi indikator seseorang dapat diterima dalam satu kelompok atau komunitas pergaulan. Seorang berperilaku "Natuari" biasanya juga sukses melakukan panjat sosial dan butuh pengakuan diri sebagai penegasan terhadap status sosial yang dinapakinya.
Perilaku "Natuari" jika ditampilkan oleh seseorang dalam interaksi pergaulan akan cenderung membuat risih anggota kelompok kepentingan internal apalagi jika muncul sikap "sok tahu" maka anggota kelompok kepentingan internal diyakini akan menjaga jarak dan membentuk polarisasi hubungan disharmoni.

Adab kesantunan dan kesopanan pergaulan pada "To Kaili" ditentukan dari cara seseorang menghargai dan merespon tindak perilaku seseorang, jika seseorang yang menampilkan perilaku "Natuari" muncul, maka mudah baginya di jauhi dalam lingkup pergaulan kelompok. Seorang yang "Natuari" dengan cepat akan di jauhi dan dianggap tidak memiliki rasa penghargaan kepada sesama anggota kelompok.

Gejala perilaku "Natuari" secara relatif memiliki kecenderungan kuat muncul dalam suasana kontestasi politik, bisa tampil sebagai kontestan, pendukung kontestan, dan tim eforia kontestan. Mereka tampil sebagai aktor yang seolah menguasai informasi atas issu politik yang aktual dan popular karena justifikasi latar sosial yang dimiliki yang menjadi kekuatannya (bisa gelar, kelas sosial, kekuatan ekonomi).
Perilaku "Natuari" terkadang bermetamorfosis menjadi pecundang dan oportunis karena rasa percaya diri "over dosis" menjadi modal dan kekuatan dalam interaksi pergaulan...

Medio, 30 januari 2020
N I S B A H
Pemerhati sosial-budaya.

Sabtu, 31 Juli 2021

Seri (21) Revitalisasi Budaya Kaili

Seri (21) Revitalisasi Budaya Kaili

Resonansi spirit
Ane Ala... Alamo !
Ane Boli... Bolimo!

Adagium "Ane Ala...Alamo,
Ane Boli... Bolimo adalah sebuah prinsip nilai yang menegaskan tentang keteguhan dan konsistensi sikap yang dianut masyarakat Kaili.
Adagium "Ane Ala...Alamo,
Ane Boli...Bolimo memiliki arti bahwa "jika hendak di ambil segera ambil, tapi jika hendak ditinggalkan maka segera tinggalkan.

Dalam kehidupan orang kaili konsep ini menjadi falsafah hidup bagi masyarakat dalam membentuk tanggung jawab dan kesadaran kolektif. Pada orang kaili penting untuk menegasakan keteguhan dan konsistensi sikap dalam kehidupan karena menyangkut penegakkan nilai-nilai kepemimpinan, amanah, kejujuran dalam dimensi kebenaran.

Secara harfiah arti konsistensi bermakna pada sikap atas sesuatu yang tidak mudah berubah, senantiasa berperilaku dalam cara yang sama, terutama pada hal-hal yang positif. Sikap konsistensi seringkali ditandai adanya suasana keteraturan, harmoni, kontinuitas tetap, dan bebas dari kontradiksi. Konsistensi seringkali dikaitkan dengan sikap dan kebiasaan manusia, terutama yang berhubungan dengan sikap komitmen atas sebuah prinsip.

Pada orang kaili sikap konsisten yang mengejawantah dalam adagium " ane ala alamo, ane boli, bolimo" menandai sikap dalam pengambilan keputusan yang melekat dengan kebiasaan manusia. Prinsip ini terutama berkaitan dengan kepercayaan dan Komitmen dalam melaksanakan keputusan untuk pantang mundur ketika berhadapan dengan pilihan yang berdimensi tekanan. Berpendirian teguh dengan rasionalisasi pertimbangan atas sebuah prinsip dalam pengambilan keputusan dengan dilandasi semangat integritas sebagai  harga atas kesesuaian antara ucapan dan tindakan.

Prinsip inilah yang menandai kehidupan masyarakat kaili dalam menjalankan aktivitas sosial. Tindakan perilaku yang ditampilkan selalu meneguhkan sikap sungguh-sungguh sehingga terbangun rasa saling menghargai yang beresonansi dalam membentuk keteladanan. Bagi orang kaili keteguhan memegang prinsip ini dapat membentuk jiwa kesahajaan yang menjadi identitas karakter. Sikap inkonsistensi berlawanan dengan karakter orang kaili karena jika ditampilkan dapat membentuk rasa malu dan lunturnya rasa saling percaya.

Figur pemimpin dan tokoh masyarakat pada kehidupan orang kaili selalu dikehendaki dapat menampilkan citra dengan prinsip ini dalam menjalankan pola kepemimpinan di masyarakat. Personifikasi pemimpin dengan dengan kekuatan prinsip ini niscaya dapat memperkuat relasi jaringan komunikasi yang tentunya tetap berbasis pada regulasi yang ada karena pasti memiliki posisi tawar yang kuat. Pemimpin yang tampil dengan prinsip ini pasti akan memiliki kualitas personal yang baik. Tidak berlebihan kiranya jika seorang pemimpin yang menjabat gubermur Sulawesi Tengah saat ini sangat bangga meneguhkan prinsip ini dalam pelaksanaan manejemen pemerintahan, meskipun prinsip " ane ala alamo, ane boli bolimo" hanyalah sebuah adagium namun kiranya menjadi indikator kekuatan dan kualitas seorang pemimpin karena meletakkan prinsip ini dalam keunggulan nilai personal yang dibutuhkan untuk melayani kepentingan masyarakat di atas segalanya.

Wallahu alam bissawab...

Boyaoge, 30 Juli 2021
N I S B A H
Pemerhati budaya kaili

Jumat, 11 Juni 2021

Seri (19) Revitalisasi Budaya Kaili Dimensi Puasa dalam Kombinasi Nilai Religiusitas dan Kearifan Budaya Masyarakat Kaili

Seri (19) Revitalisasi Budaya Kaili

Dimensi Puasa dalam Kombinasi Nilai Religiusitas dan Kearifan Budaya Masyarakat Kaili

Puasa bulan Ramadhan menjadi ritual Ibadah pada setiap komunitas beragama Islam dimanapun. Puasa merupakan rutinitas tahunan yang menampilkan kreativitas simbolik dengan paduan nilai-nilai sakralitas dan nilai-nilai kearifan lokal pada kaum Muslim di ruang sosialnya. Kreativitas simbolik tampil dalam modifikasi budaya lokal yang diadaptasikan dengan nilai-nilai religiusitas.
Jean Baudillard (2001) menegaskan bahwa kreativitas simbolik sebagai sebuah kreasi yang diberi muatan nilai-nilai tertentu dengan tujuan agar bisa dipahami dan digunakan dalam berkomunikasi.

Dalam ritual puasa Kesejukan nilai-nilai religiusitas dan nilai-nilai budaya terjalin dengan kekhasan yang diekspresikan pada ruang sosial masyarakat.
Budayawan perancis, Pierre Bourdieu (1988) mengatakan bahwa sejatinya manusia hidup dan berinteraksi dengan simbol-simbol. Simbol-simbol mendominasi seluruh aktivitas yang dijalankan seseorang atau sekelompok orang dalam kehidupan sehari-hari.

Keragaman nilai-nilai religiusitas dan nilai-nilai budaya lokal dimodifikasi dalam bulan puasa sesungguhnya mereprsentasi pengalaman spiritual, estetika, dan sosial pada tiap-tiap masyarakat. Modifikasi nilai-nilai pada konteks komunitas lokal telah merangsang kreativitas tersebut menjadi sebuah adonan kebudayaan yang bermanfaat.

Pada masyarakat kaili di lembah Palu pun juga menampilkan fenomena tersendiri pada bulan puasa, dimana ritual bulan puasa mengiringi kehidupan masyarakat sejak dulu dan telah menjadi bagian dari budaya setempat. Masyarakat mengisi bulan puasa dengan berbagai ritual yang terbentuk dari perpaduan nilai religiusitas dalam balutan tradisi budaya lokal.
Serangkaian tradisi menarik selama bulan puasa memiliki kekhasan yang sebagian diantaranya adalah hasil dari proses akulturasi budaya dengan bentuk antara lain :

1. "Mombaca Salama" . Tradisi ini adalah ritual membaca doa untuk menyambut bulan puasa dan lebaran sekaligus berkirim doa kepada arwah keluarga yang sudah meninggal. Tradisi ini dilakukan pada sore atau malam hari sebelum melakukan Tarawih pertama diawal bulan puasa. Biasanya tradisi ini diawali dengan "mosiara dayo", yakni berkunjung atau menziarahi makam keluarga dan leluhur yang telah lebih dulu meninggal.
Pada tradisi "Mombaca Salama" dan "Mosiara Dayo" bermakna pada proses membangun sebuah komunikasi simbolik. Tradisi ini adalah proses menyampaikan pesan bahwa arwah yang sudah meninggal sesungguhnya hanya wujud ketiadaan fisik, sebaliknya bahwa yang sudah meninggal sejatinya hanya berpindah tempat dan harus didoakan keselamatannya.

2. Ritual "Tarawe", adalah ritual ibadah dalam bulan puasa dengan melakukan shalat sunnat tarawih berjamaah dimesjid atau langgar. Keikut sertaan melakukan shalat tarawih berjamaah dilandasi kesadaran bahwa shalat Sunnat ini memberi makna pada ikatan relasi sosial yang kuat. Anggapan bahwa shalat sunat ini hanya ada di Bulan puasa dan ketidakhadiran saat berjamaah "tarawe", serasa mengurangi kelengkapan prosesi ritual selama bulan puasa. Shalat "tarawe" secara berjamaah menjadi simbol pengikat kohesi sosial dimana shalat "tarawe" menjadi sarana berkumpul dan bersilaturahmi dibulan puasa.

3. Tradisi "motinti gimba" adalah kebiasaan memukul bedug jelang berbuka puasa dan saat mengawali waktu makan sahur (mangande bobayana). "motinti gimba" merupakan cara untuk memberi isyarat atau tanda bahwa waktu berbuka dan sahur telah tiba. "Motonti Gimba" memberi makna pentingnya saling mengingatkan sesama dalam mentaati waktu-waktu tertentu yang mengikat prosesi ritual ibadah yang dilaksanakan. Pentingnya "motinti gimba" saat waktu sahur tiba dimaksudkan untuk membangunkan dan mengingatkan waktu sahur telah tiba agar tidak ada yang mengalami keterlambatan dalam bersahur atau "Nosalalu".
Saat ini, aktivitas "Motinti Gimba" sudah mulai ditinggalkan karena fungsi "gimba" sudah tergantikan dengan tekhnologi audio yang bersifat praktis.

4. Tradisi " mosisiara atau mesiara"adalah kebiasaan atau aktivitas saling mengunjungi saat lebaran telah tiba. "Mosisiara atau mesiara" menjadi sebuah keharusan yang dilakukan oleh siapapun. Mengunjungi kerabat diawali dengan mendatangi kerabat tertua terlebih dahulu yang dilakukan setelah shalat Idul Fitri. Kunjungan dimaksudkan sebagai bentuk penghormatan kepada kepada lingkup kerabat, pemberian dan permohonan maaf dl atas kesalahan yang diperbuat dan rasa syukur atas berkah yang diberikan tuhan selama menjalani hidup . "Mosisiara atau mesiara " adalah perwujudan silaturahmi saat lebaran yang akan berlangsung selama bulan syawal. Kegiatan ini biasanya ditandai dengan makan bersama dimana terdapat makanan khusus yang disediakan saat lebaran seperti "burasa", "mandura", "gogoso" dan jenis makanan khas kaili yang dibuat untuk mengiringi suasana lebaran.

5. Tradisi "Moroya-roya" adalah kebiasaan berkumpul untuk "berjalan-jalan dengan beberapa anggota keluarga besar untuk memperat hubungan persaudaraan sekaligus untuk mendapatkan hiburan (fungsi ekskursi). Dahulu tradisi ini dilakukan dengan menumpangi alat transportasi berupa"dokar" yang dipakai untuk berjalan- jalan mengitari atau mengunjungi rumah kerabat atau tempat rekreasi. Rasa gembira pada tradisi "moroya-moroya" merupakan ekspresi kemenangan karena telah berhasil melewati bulan puasa dalam suasana relgiusitas.

6. Pemberian "Hagala" adalah
tradisi membagi atau memberi uang kepada anak-anak sebagai simbol penyemangat (reward) karena mereka telah mampu melaksanakan puasa selama sebulan. Pemberian "Hagala" selalu dilakukan oleh orangtua kepada orang yang lebih muda dalam suasana gembira.  
Pemberian "Hagala" juga bermakna pada pembentukan sikap peduli sesama untuk terbiasa saling membagi.

Tampilan tradisi di bulan Puasa pada masyarakat kaili menjadi gambaran bahwa puasa telah menjadi bagian dari budaya masyarakat dengan perpaduan ritual keagamaan dan nilai budaya lokal dalam ranah sosial dan spiritual. Fenomena ini menegaskan bahwa puasa dengan nilai religiusitasnya mampu berkelindan dengan spirit kebudayaan yang kontekstual.
Wallahualam bissawab...

Boyaoge, 8 Mei 2021
N I S B A H
Pemerhati Budaya Kaili