Seri (24) Revitalisasi Budaya Kaili
Tai Ganja simbol Penguatan
Santina pada To Kaili
Pengenalan Tai Ganja sebagai ornamen simbolik, sejauh ini bagi Masyarakat Sulawesi Tengah secara relatif kurang popular dalam ruang interaksi sosial. Demikian pula dengan Diksi Santina yang merupakan pengungkapan makna tentang satuan kekerabatan yang melingkari seseorang berdasarkan hubungan keluarga luas dalam satu residensial area yang menggunakan prinsip matrilokal.
Residensi matrilokal menjadi ciri pemukiman yang digunakan sebagai pembentuk hunian wilayah secara kultural. Residensi matrilokal ini merupakan cikal bakal yang kemudian berkembang dan digunakan sebagai penegasan wilayah adminstratif pemerintahan.
Pada Orang kaili, Residensi matrilokal secara substantif memberi pemaknaan bahwa orang kaili tdk bisa lepas dengan asal usul teritori kelahirannya. Dasar penggolongan sekerabat yang menjadi dasar genealogis leluhur di ikat oleh identitas matrilinealnya yang disebut dengan santina yang menunjuk pada garis keturunan secara turun temurun.
Pembentukan Latar belakang genealogis seseorang dimulai dari garis keturunan yang sama secara matrilineal. Seseorang akan terkoneksi dalam satuan kekerabatan yang berasal dari hubungan sedarah. Ketika lahir seseorang terikat dengan asal usul kekerabatan yang dibentuk secara arif dalam relasi satuan ekosistim dimana perempuan dengan peran reproduksinya menjadi simbol pengikat hubungan antar manusia dengan manusia dan antar manusia dengan alam.
Santina menjadi dasar penggolongan kekerabatan dalam satu wilayah hunian dengan ciri residensi matrilokal dalam bentuk ngapa,ngata, boya, soki, kinta. Residensi matrilokal bukan hanya sekedar teritori hunian tempat lahir tapi menampilkan prinsip nilai kekerabatan turun temurun dengan segala unsur nilai budaya yg melingkupinya terutama pada Tai Ganja sebagai simbol pengikat satuan kekerabatan yang berasal dari satu sumber kehidupan yang sama yaitu perempuan.
Peran perempuan secara dimensional sebagai kekuatan inti sumber kehidupan ditandai dengan fungsi perempuan sebagai penyemai kesuburan dan subyek yang melahirkan generasi . Dari perempuanlah awal kehidupan dimulai dengan menjalankan fungsi reproduksinya. Kekuatan perempuan dalam dimensi fungsi reproduksi serta pengelola dan pemelihara eksosistim inilah yang kemudian disimbolkan dalam Tai Ganja.
Filosofi dan pemaknaan Tai Ganja menjadi Dasar pembentukan Santina sebagai hunian residensi matrilokal dan pengelola Ekosistem kehidupan.
Tai Ganja secara simbolik memberi arti dan makna sebagai alat kelamin perempuan dengan seluruh fungsi reproduksi. Alat kelamin perempuan berkonotasi sebagai pusat kehidupan karena dari sanalah manusia lahir membentuk ekosistim kehidupan secara berkesinambungan.
Perempuan secara arif dimaknai sebagai subyek pembentuk dan pengendali kehidupan dalam dimensi peran dan fungsinya. Hubungan perempuan dengan alam digambarkan dalam dimensi fungsi reproduksi dan peran menjaga keteraturan alam dalam mengelola pemanfaatan sumber daya alam secara proporsional untuk kebutuhan dasar hidup manusia. Menjaga sumber daya alam yang dibutuhkan untuk pemenuhan kebutuhan manusia menegaskan bahwa perempuan menjadi kekuatan inti penyangga kehidupan karena pada perempuan kesinambungan kehidupan dan keseimbangan alam dapat terus berlangsung,
wallahu alam bissawab...Tabe
TANAHKU INDOKU...
UMMAKU LANGI...
TINAKU TINANGATA...
Boyaoge, 24 Agustus 2022
N I S B A H
Pemerhati budaya kaili
Senin, 12 September 2022
Seri (23) Revitalisasi Budaya Kaili
Seri (23) Revitalisasi Budaya Kaili
Paradoksal Tanasi dan Saronda
"Tanasi" dan "Saronda" dua Diksi populer pada masyarakat Kaili untuk menggambarkan kondisi paradoksal kematangan "buah" dan "masakan". Penggambaran Kondisi kematangan masing-masing memiliki perbedaan kualitas yang dihasilkan setelah melalui proses buatan alamiah dan non alamiah.
"Tanasi" adalah kondisi pada buah dengan kualitas kematangan yang tidak sempurna karena mengalami rasa pakat disertai adanya biji-biji kecil yang bercampur dengan daging buah sehingga menghasilkan rasa tidak enak ketika di makan.
Adapun "Saronda", secara diksional adalah hasil olahan masakan dengan ciri tampilan yang sudah matang namun ketika dicicipi masih terasa mentah meskipun saat makanan di masak menggunakan api relatif besar namun sebaliknya kualitas makanan yang dihasilkan menampilkan rasa yang tidak enak. Ketidak matangan masakan terjadi justeru disebabkan oleh nyala api yang digunakan terlalu besar tapi tidak disertai tingkat kepanasan yang mampu mematangkan masakan.
Dua kondisi kematangan buah dan makanan yang paradoksal menjadi analogi bagi perilaku seseorang dalam masyarakat. Bagi orang kaili dua kondisi tersebut memberi gambaran situasi kematangan psikologis yang berimplikasi pada tindakan sosial.
"Tanasi" merupakan analogi perilaku yang ditampilkan terkesan berlebihan dengan sikap "over acting" dimana tampilannya seolah-olah sudah mencapai kematangan dengan kualitas isi yang baik, meskipun indikasi tampilan hanya terlihat pada fisik atau luarnya saja.
Adapun "Saronda" menjadi analogi perilaku seseorang yang terkesan berlebihan dengan kualitas kematangan yang baik, tapi sesungguhnya masih belum mencapai kesempurnaan sikap dan perilaku yang bersahaja bahkan cenderung disertai adanya sikap sombong dan arogansi.
Dua analogi ini menjadi penanda atas sikap dan perilaku yang merasa lebih baik dari orang lain dan merasa paling mengetahuit segala sesuatu meskipun belum mencapai kematangan standar.
Paradoksal perilaku "Saronda" dan "Tanasi" tidak memberikan pengaruh positif dalam relasi sosial karena cenderung merugikan orang lain yang tertipu pada hasil yang telah berproses karena sifatnya manipulatif.
Secara filosofi "Saronda" dan "Tanasi" adalah paradoksal perilaku yang relatif lazim ditampilkan dalam interaksi sosial masyarakat. Paradoksal perilaku "Tanasi" dan "Saronda" sejauh ini telah menjadi penanda dalam perilaku yang berorientasi pada kepentingan pragmatis dan mampu mengurai prinsip-prinsip idealisme dalam komitmen yang terbangun dalam hubungan sosial yang terjalin.
Sepintas "Tanasi" dan "Saronda" menggambarkan kualitas kematangan perilaku artifisial yang bahkan mampu meruntuhkan nilai-nilai integritas.
Wallahu alam bissawab...
Semoga Allah selalu memberi Rahmat dan Hidayah bagi kita Semua...Barakallah
Boyaoge, 31 Mei 2022
N I S B A H
Pemerhati budaya kaili
Paradoksal Tanasi dan Saronda
"Tanasi" dan "Saronda" dua Diksi populer pada masyarakat Kaili untuk menggambarkan kondisi paradoksal kematangan "buah" dan "masakan". Penggambaran Kondisi kematangan masing-masing memiliki perbedaan kualitas yang dihasilkan setelah melalui proses buatan alamiah dan non alamiah.
"Tanasi" adalah kondisi pada buah dengan kualitas kematangan yang tidak sempurna karena mengalami rasa pakat disertai adanya biji-biji kecil yang bercampur dengan daging buah sehingga menghasilkan rasa tidak enak ketika di makan.
Adapun "Saronda", secara diksional adalah hasil olahan masakan dengan ciri tampilan yang sudah matang namun ketika dicicipi masih terasa mentah meskipun saat makanan di masak menggunakan api relatif besar namun sebaliknya kualitas makanan yang dihasilkan menampilkan rasa yang tidak enak. Ketidak matangan masakan terjadi justeru disebabkan oleh nyala api yang digunakan terlalu besar tapi tidak disertai tingkat kepanasan yang mampu mematangkan masakan.
Dua kondisi kematangan buah dan makanan yang paradoksal menjadi analogi bagi perilaku seseorang dalam masyarakat. Bagi orang kaili dua kondisi tersebut memberi gambaran situasi kematangan psikologis yang berimplikasi pada tindakan sosial.
"Tanasi" merupakan analogi perilaku yang ditampilkan terkesan berlebihan dengan sikap "over acting" dimana tampilannya seolah-olah sudah mencapai kematangan dengan kualitas isi yang baik, meskipun indikasi tampilan hanya terlihat pada fisik atau luarnya saja.
Adapun "Saronda" menjadi analogi perilaku seseorang yang terkesan berlebihan dengan kualitas kematangan yang baik, tapi sesungguhnya masih belum mencapai kesempurnaan sikap dan perilaku yang bersahaja bahkan cenderung disertai adanya sikap sombong dan arogansi.
Dua analogi ini menjadi penanda atas sikap dan perilaku yang merasa lebih baik dari orang lain dan merasa paling mengetahuit segala sesuatu meskipun belum mencapai kematangan standar.
Paradoksal perilaku "Saronda" dan "Tanasi" tidak memberikan pengaruh positif dalam relasi sosial karena cenderung merugikan orang lain yang tertipu pada hasil yang telah berproses karena sifatnya manipulatif.
Secara filosofi "Saronda" dan "Tanasi" adalah paradoksal perilaku yang relatif lazim ditampilkan dalam interaksi sosial masyarakat. Paradoksal perilaku "Tanasi" dan "Saronda" sejauh ini telah menjadi penanda dalam perilaku yang berorientasi pada kepentingan pragmatis dan mampu mengurai prinsip-prinsip idealisme dalam komitmen yang terbangun dalam hubungan sosial yang terjalin.
Sepintas "Tanasi" dan "Saronda" menggambarkan kualitas kematangan perilaku artifisial yang bahkan mampu meruntuhkan nilai-nilai integritas.
Wallahu alam bissawab...
Semoga Allah selalu memberi Rahmat dan Hidayah bagi kita Semua...Barakallah
Boyaoge, 31 Mei 2022
N I S B A H
Pemerhati budaya kaili
Seri (22) Revitalisasi Budaya Kaili
" NATUARI "
"Natuari", Sebuah diksi lokal, popular dalam bahasa Kaili yang menggambarkan pola perilaku seseorang dalam lingkungan pergaulan dengan sikap "serba segalanya", sok tahu, sok pintar, sok jago, pandir, yang disertai perilaku tidak menghargai batasan senioritas dan batasan umur.
Pola perilaku"Natuari" sering muncul dalam ruang interaksi pergaulan dan ruang interaksi politik dengan mengabaikan aspek etika bergaul atau adab kesopanan maupun kesantunan.
"menyepelekan lawan bicara", "memandang subjektif orang lain", tidak menghargai senior yang lebih tua, bahkan mengganggap rendah wawasan orang lain yang diikuti rasa percaya diri berlebih karena merasa memiliki kelas sosial tinggi, memiliki kemampuan ekonomi yang baik, bahkan diikuti perilaku "over acting" dengan dominasi personal pada ruang interaksi.
Pada masyarakat Kaili, tampilan perilaku "Natuari" menjadi ukuran terhadap penerimaan seseorang dalam pergaulan bahkan dapat menjadi indikator seseorang dapat diterima dalam satu kelompok atau komunitas pergaulan. Seorang berperilaku "Natuari" biasanya juga sukses melakukan panjat sosial dan butuh pengakuan diri sebagai penegasan terhadap status sosial yang dinapakinya.
Perilaku "Natuari" jika ditampilkan oleh seseorang dalam interaksi pergaulan akan cenderung membuat risih anggota kelompok kepentingan internal apalagi jika muncul sikap "sok tahu" maka anggota kelompok kepentingan internal diyakini akan menjaga jarak dan membentuk polarisasi hubungan disharmoni.
Adab kesantunan dan kesopanan pergaulan pada "To Kaili" ditentukan dari cara seseorang menghargai dan merespon tindak perilaku seseorang, jika seseorang yang menampilkan perilaku "Natuari" muncul, maka mudah baginya di jauhi dalam lingkup pergaulan kelompok. Seorang yang "Natuari" dengan cepat akan di jauhi dan dianggap tidak memiliki rasa penghargaan kepada sesama anggota kelompok.
Gejala perilaku "Natuari" secara relatif memiliki kecenderungan kuat muncul dalam suasana kontestasi politik, bisa tampil sebagai kontestan, pendukung kontestan, dan tim eforia kontestan. Mereka tampil sebagai aktor yang seolah menguasai informasi atas issu politik yang aktual dan popular karena justifikasi latar sosial yang dimiliki yang menjadi kekuatannya (bisa gelar, kelas sosial, kekuatan ekonomi).
Perilaku "Natuari" terkadang bermetamorfosis menjadi pecundang dan oportunis karena rasa percaya diri "over dosis" menjadi modal dan kekuatan dalam interaksi pergaulan...
Medio, 30 januari 2020
N I S B A H
Pemerhati sosial-budaya.
"Natuari", Sebuah diksi lokal, popular dalam bahasa Kaili yang menggambarkan pola perilaku seseorang dalam lingkungan pergaulan dengan sikap "serba segalanya", sok tahu, sok pintar, sok jago, pandir, yang disertai perilaku tidak menghargai batasan senioritas dan batasan umur.
Pola perilaku"Natuari" sering muncul dalam ruang interaksi pergaulan dan ruang interaksi politik dengan mengabaikan aspek etika bergaul atau adab kesopanan maupun kesantunan.
"menyepelekan lawan bicara", "memandang subjektif orang lain", tidak menghargai senior yang lebih tua, bahkan mengganggap rendah wawasan orang lain yang diikuti rasa percaya diri berlebih karena merasa memiliki kelas sosial tinggi, memiliki kemampuan ekonomi yang baik, bahkan diikuti perilaku "over acting" dengan dominasi personal pada ruang interaksi.
Pada masyarakat Kaili, tampilan perilaku "Natuari" menjadi ukuran terhadap penerimaan seseorang dalam pergaulan bahkan dapat menjadi indikator seseorang dapat diterima dalam satu kelompok atau komunitas pergaulan. Seorang berperilaku "Natuari" biasanya juga sukses melakukan panjat sosial dan butuh pengakuan diri sebagai penegasan terhadap status sosial yang dinapakinya.
Perilaku "Natuari" jika ditampilkan oleh seseorang dalam interaksi pergaulan akan cenderung membuat risih anggota kelompok kepentingan internal apalagi jika muncul sikap "sok tahu" maka anggota kelompok kepentingan internal diyakini akan menjaga jarak dan membentuk polarisasi hubungan disharmoni.
Adab kesantunan dan kesopanan pergaulan pada "To Kaili" ditentukan dari cara seseorang menghargai dan merespon tindak perilaku seseorang, jika seseorang yang menampilkan perilaku "Natuari" muncul, maka mudah baginya di jauhi dalam lingkup pergaulan kelompok. Seorang yang "Natuari" dengan cepat akan di jauhi dan dianggap tidak memiliki rasa penghargaan kepada sesama anggota kelompok.
Gejala perilaku "Natuari" secara relatif memiliki kecenderungan kuat muncul dalam suasana kontestasi politik, bisa tampil sebagai kontestan, pendukung kontestan, dan tim eforia kontestan. Mereka tampil sebagai aktor yang seolah menguasai informasi atas issu politik yang aktual dan popular karena justifikasi latar sosial yang dimiliki yang menjadi kekuatannya (bisa gelar, kelas sosial, kekuatan ekonomi).
Perilaku "Natuari" terkadang bermetamorfosis menjadi pecundang dan oportunis karena rasa percaya diri "over dosis" menjadi modal dan kekuatan dalam interaksi pergaulan...
Medio, 30 januari 2020
N I S B A H
Pemerhati sosial-budaya.
Langganan:
Postingan (Atom)