Seri (19) Revitalisasi Budaya Kaili
Dimensi Puasa dalam Kombinasi Nilai Religiusitas dan Kearifan Budaya Masyarakat Kaili
Puasa bulan Ramadhan menjadi ritual Ibadah pada setiap komunitas beragama Islam dimanapun. Puasa merupakan rutinitas tahunan yang menampilkan kreativitas simbolik dengan paduan nilai-nilai sakralitas dan nilai-nilai kearifan lokal pada kaum Muslim di ruang sosialnya. Kreativitas simbolik tampil dalam modifikasi budaya lokal yang diadaptasikan dengan nilai-nilai religiusitas.
Jean Baudillard (2001) menegaskan bahwa kreativitas simbolik sebagai sebuah kreasi yang diberi muatan nilai-nilai tertentu dengan tujuan agar bisa dipahami dan digunakan dalam berkomunikasi.
Dalam ritual puasa Kesejukan nilai-nilai religiusitas dan nilai-nilai budaya terjalin dengan kekhasan yang diekspresikan pada ruang sosial masyarakat.
Budayawan perancis, Pierre Bourdieu (1988) mengatakan bahwa sejatinya manusia hidup dan berinteraksi dengan simbol-simbol. Simbol-simbol mendominasi seluruh aktivitas yang dijalankan seseorang atau sekelompok orang dalam kehidupan sehari-hari.
Keragaman nilai-nilai religiusitas dan nilai-nilai budaya lokal dimodifikasi dalam bulan puasa sesungguhnya mereprsentasi pengalaman spiritual, estetika, dan sosial pada tiap-tiap masyarakat. Modifikasi nilai-nilai pada konteks komunitas lokal telah merangsang kreativitas tersebut menjadi sebuah adonan kebudayaan yang bermanfaat.
Pada masyarakat kaili di lembah Palu pun juga menampilkan fenomena tersendiri pada bulan puasa, dimana ritual bulan puasa mengiringi kehidupan masyarakat sejak dulu dan telah menjadi bagian dari budaya setempat. Masyarakat mengisi bulan puasa dengan berbagai ritual yang terbentuk dari perpaduan nilai religiusitas dalam balutan tradisi budaya lokal.
Serangkaian tradisi menarik selama bulan puasa memiliki kekhasan yang sebagian diantaranya adalah hasil dari proses akulturasi budaya dengan bentuk antara lain :
1. "Mombaca Salama" . Tradisi ini adalah ritual membaca doa untuk menyambut bulan puasa dan lebaran sekaligus berkirim doa kepada arwah keluarga yang sudah meninggal. Tradisi ini dilakukan pada sore atau malam hari sebelum melakukan Tarawih pertama diawal bulan puasa. Biasanya tradisi ini diawali dengan "mosiara dayo", yakni berkunjung atau menziarahi makam keluarga dan leluhur yang telah lebih dulu meninggal.
Pada tradisi "Mombaca Salama" dan "Mosiara Dayo" bermakna pada proses membangun sebuah komunikasi simbolik. Tradisi ini adalah proses menyampaikan pesan bahwa arwah yang sudah meninggal sesungguhnya hanya wujud ketiadaan fisik, sebaliknya bahwa yang sudah meninggal sejatinya hanya berpindah tempat dan harus didoakan keselamatannya.
2. Ritual "Tarawe", adalah ritual ibadah dalam bulan puasa dengan melakukan shalat sunnat tarawih berjamaah dimesjid atau langgar. Keikut sertaan melakukan shalat tarawih berjamaah dilandasi kesadaran bahwa shalat Sunnat ini memberi makna pada ikatan relasi sosial yang kuat. Anggapan bahwa shalat sunat ini hanya ada di Bulan puasa dan ketidakhadiran saat berjamaah "tarawe", serasa mengurangi kelengkapan prosesi ritual selama bulan puasa. Shalat "tarawe" secara berjamaah menjadi simbol pengikat kohesi sosial dimana shalat "tarawe" menjadi sarana berkumpul dan bersilaturahmi dibulan puasa.
3. Tradisi "motinti gimba" adalah kebiasaan memukul bedug jelang berbuka puasa dan saat mengawali waktu makan sahur (mangande bobayana). "motinti gimba" merupakan cara untuk memberi isyarat atau tanda bahwa waktu berbuka dan sahur telah tiba. "Motonti Gimba" memberi makna pentingnya saling mengingatkan sesama dalam mentaati waktu-waktu tertentu yang mengikat prosesi ritual ibadah yang dilaksanakan. Pentingnya "motinti gimba" saat waktu sahur tiba dimaksudkan untuk membangunkan dan mengingatkan waktu sahur telah tiba agar tidak ada yang mengalami keterlambatan dalam bersahur atau "Nosalalu".
Saat ini, aktivitas "Motinti Gimba" sudah mulai ditinggalkan karena fungsi "gimba" sudah tergantikan dengan tekhnologi audio yang bersifat praktis.
4. Tradisi " mosisiara atau mesiara"adalah kebiasaan atau aktivitas saling mengunjungi saat lebaran telah tiba. "Mosisiara atau mesiara" menjadi sebuah keharusan yang dilakukan oleh siapapun. Mengunjungi kerabat diawali dengan mendatangi kerabat tertua terlebih dahulu yang dilakukan setelah shalat Idul Fitri. Kunjungan dimaksudkan sebagai bentuk penghormatan kepada kepada lingkup kerabat, pemberian dan permohonan maaf dl atas kesalahan yang diperbuat dan rasa syukur atas berkah yang diberikan tuhan selama menjalani hidup . "Mosisiara atau mesiara " adalah perwujudan silaturahmi saat lebaran yang akan berlangsung selama bulan syawal. Kegiatan ini biasanya ditandai dengan makan bersama dimana terdapat makanan khusus yang disediakan saat lebaran seperti "burasa", "mandura", "gogoso" dan jenis makanan khas kaili yang dibuat untuk mengiringi suasana lebaran.
5. Tradisi "Moroya-roya" adalah kebiasaan berkumpul untuk "berjalan-jalan dengan beberapa anggota keluarga besar untuk memperat hubungan persaudaraan sekaligus untuk mendapatkan hiburan (fungsi ekskursi). Dahulu tradisi ini dilakukan dengan menumpangi alat transportasi berupa"dokar" yang dipakai untuk berjalan- jalan mengitari atau mengunjungi rumah kerabat atau tempat rekreasi. Rasa gembira pada tradisi "moroya-moroya" merupakan ekspresi kemenangan karena telah berhasil melewati bulan puasa dalam suasana relgiusitas.
6. Pemberian "Hagala" adalah
tradisi membagi atau memberi uang kepada anak-anak sebagai simbol penyemangat (reward) karena mereka telah mampu melaksanakan puasa selama sebulan. Pemberian "Hagala" selalu dilakukan oleh orangtua kepada orang yang lebih muda dalam suasana gembira.
Pemberian "Hagala" juga bermakna pada pembentukan sikap peduli sesama untuk terbiasa saling membagi.
Tampilan tradisi di bulan Puasa pada masyarakat kaili menjadi gambaran bahwa puasa telah menjadi bagian dari budaya masyarakat dengan perpaduan ritual keagamaan dan nilai budaya lokal dalam ranah sosial dan spiritual. Fenomena ini menegaskan bahwa puasa dengan nilai religiusitasnya mampu berkelindan dengan spirit kebudayaan yang kontekstual.
Wallahualam bissawab...
Boyaoge, 8 Mei 2021
N I S B A H
Pemerhati Budaya Kaili
Jumat, 11 Juni 2021
Seri (18) Revitalisasi Budaya Kaili NEGASI SEKSISME pada TRADISI NOMPEJOMU di MASYARAKAT KAILI
Catatan kecil jelang "Hari Kartini"....
Seri (18) Revitalisasi Budaya Kaili
NEGASI SEKSISME pada TRADISI NOMPEJOMU di MASYARAKAT KAILI
Cara berpakaian adalah bagian integral dari sistim nilai budaya kehidupan masyarakat olehnya cara berpakaian berkembang seiring peradaban manusia. Cara berpakaian berhubungan erat dengan etika yang berbasis pada nilai- nilai kultural dan religiusitas dimana cara berpakaian tidak hanya dimaknai sebagai cara menutup tubuh atau melindungi tubuh dari pengaruh cuaca bahkan serangan binatang, akan tetapi terkait erat dengan "world view" masyarakat.
Cara berpakaian mendeskripsikan struktur kehidupan sosial, karena mampu mengekspresikan adat istiadat, pandangan hidup, peristiwa sosial , status sosial ataupun identitas sosial.
"Nompejomu" merupakan tradisi tampilan dari cara berpakaian perempuan pada etnis kaili. Penyebutan "nompejomu" populer digunakan oleh suku kaili sub etnis ledo karena tradisi ini memiliki penyebutan yang berbeda-beda pada beberapa sub etnik kaili yang ada.
"Nompejomu" adalah tradisi yang menggambarkan cara berpakaian yang ditampilkan oleh kaum perempuan dengan menggunakan dua sarung sekaligus yang mana salah satu sarung atau "buya" ( dalam bahasa kaili sub etnis ledo atau "topi" serta penyebutan lain pada beberapa sub etnis kaili) di "tedesi" atau dililitkan disekitar perut menutup kebawah hingga tumit, sementara satu sarung lainnya di gunakan untuk membungkus badan ("mombungu karo") yang dilakukan dengan cara meletakkan tepi sarung bagian atas menutupi kepala hingga diatas mata dan tepi sarung bagian bawah menutup muka hingga mata bagian bawah. Cara berpakaian ini populer juga disebut dengan "Nosalele".
Cara menutup badan dengan menggunakan dua sarung ini hanya menyisakkan mata yang tampak dari luar, cara berpakaian sarung seperti ini sepintas identik dengan model atau cara berpakaian syar'i yang menggunakan Hijab atau Cadar yang populer dan menjadi trend akhir-akhir ini dikalangan muslimah. Bahkan model berpakaian ala syar'i dipersepsikan sebagai ketentuan syariah dalam agama Islam.
Menilik tradisi berpakaian "nompenjomu" pada suku kaili dengan pola membungkus badan yang hanya menampakkan mata menunjukkan bahwa pada orang Kaili sesungguhnya telah memahami pentingnya menutup aurat perempuan pada masa itu. Kelaziman menutup Aurat atau titik tertentu pada sebagian anggota tubuh dimaknai sebagai sesuatu "nilai kepantasan" yang menjadi pengikat moralitas kehidupan berdasarkan norma yang hidup dan berkembang pada masyarakat Kaili.
Tampilan tubuh perempuan memiliki nilai sakralitas dalam konteks kehidupan sosial. Cara berpenampilan dengan menampilkan adab berpakaian adalan penegasan bahwa tubuh perempuan memiliki nilai keluruhan dan kehormatan.
Penggunaan media sarung sebagai penutup badan dalam tradisi "Nompejomu" sesungguhnya adalah salah satu negasi seksisme tubuh perempuan dalam pranata sosial masyarakat Kaili, ketika semangat adab berpakaian syar'i belumlah menjadi tren berpakaian dikalangan perempuan muslimah ketika itu. Tradisi "Nompejomu" telah membentuk inkulturasi yang merupakan penegasan nilai keluhuran masyarakat Kaili. Setidaknya tradisi ini mampu menjaga moralitas perempuan dalam interaksi sosialnya, karena ketaatan pada tradisi ini diikuti dengan penerapan sanksi adat jika terjadi pelanggaran terhadap tindakan mengganggu tradisi "Nompejomu"....
Wallahu a'lam bishawab
Boyaoge, 21 April 2021
N I S B A H
Pemerhati Budaya Kaili
Seri (18) Revitalisasi Budaya Kaili
NEGASI SEKSISME pada TRADISI NOMPEJOMU di MASYARAKAT KAILI
Cara berpakaian adalah bagian integral dari sistim nilai budaya kehidupan masyarakat olehnya cara berpakaian berkembang seiring peradaban manusia. Cara berpakaian berhubungan erat dengan etika yang berbasis pada nilai- nilai kultural dan religiusitas dimana cara berpakaian tidak hanya dimaknai sebagai cara menutup tubuh atau melindungi tubuh dari pengaruh cuaca bahkan serangan binatang, akan tetapi terkait erat dengan "world view" masyarakat.
Cara berpakaian mendeskripsikan struktur kehidupan sosial, karena mampu mengekspresikan adat istiadat, pandangan hidup, peristiwa sosial , status sosial ataupun identitas sosial.
"Nompejomu" merupakan tradisi tampilan dari cara berpakaian perempuan pada etnis kaili. Penyebutan "nompejomu" populer digunakan oleh suku kaili sub etnis ledo karena tradisi ini memiliki penyebutan yang berbeda-beda pada beberapa sub etnik kaili yang ada.
"Nompejomu" adalah tradisi yang menggambarkan cara berpakaian yang ditampilkan oleh kaum perempuan dengan menggunakan dua sarung sekaligus yang mana salah satu sarung atau "buya" ( dalam bahasa kaili sub etnis ledo atau "topi" serta penyebutan lain pada beberapa sub etnis kaili) di "tedesi" atau dililitkan disekitar perut menutup kebawah hingga tumit, sementara satu sarung lainnya di gunakan untuk membungkus badan ("mombungu karo") yang dilakukan dengan cara meletakkan tepi sarung bagian atas menutupi kepala hingga diatas mata dan tepi sarung bagian bawah menutup muka hingga mata bagian bawah. Cara berpakaian ini populer juga disebut dengan "Nosalele".
Cara menutup badan dengan menggunakan dua sarung ini hanya menyisakkan mata yang tampak dari luar, cara berpakaian sarung seperti ini sepintas identik dengan model atau cara berpakaian syar'i yang menggunakan Hijab atau Cadar yang populer dan menjadi trend akhir-akhir ini dikalangan muslimah. Bahkan model berpakaian ala syar'i dipersepsikan sebagai ketentuan syariah dalam agama Islam.
Menilik tradisi berpakaian "nompenjomu" pada suku kaili dengan pola membungkus badan yang hanya menampakkan mata menunjukkan bahwa pada orang Kaili sesungguhnya telah memahami pentingnya menutup aurat perempuan pada masa itu. Kelaziman menutup Aurat atau titik tertentu pada sebagian anggota tubuh dimaknai sebagai sesuatu "nilai kepantasan" yang menjadi pengikat moralitas kehidupan berdasarkan norma yang hidup dan berkembang pada masyarakat Kaili.
Tampilan tubuh perempuan memiliki nilai sakralitas dalam konteks kehidupan sosial. Cara berpenampilan dengan menampilkan adab berpakaian adalan penegasan bahwa tubuh perempuan memiliki nilai keluruhan dan kehormatan.
Penggunaan media sarung sebagai penutup badan dalam tradisi "Nompejomu" sesungguhnya adalah salah satu negasi seksisme tubuh perempuan dalam pranata sosial masyarakat Kaili, ketika semangat adab berpakaian syar'i belumlah menjadi tren berpakaian dikalangan perempuan muslimah ketika itu. Tradisi "Nompejomu" telah membentuk inkulturasi yang merupakan penegasan nilai keluhuran masyarakat Kaili. Setidaknya tradisi ini mampu menjaga moralitas perempuan dalam interaksi sosialnya, karena ketaatan pada tradisi ini diikuti dengan penerapan sanksi adat jika terjadi pelanggaran terhadap tindakan mengganggu tradisi "Nompejomu"....
Wallahu a'lam bishawab
Boyaoge, 21 April 2021
N I S B A H
Pemerhati Budaya Kaili
Langganan:
Postingan (Atom)