Jumat, 06 Maret 2020

Seri (12) Revitalisasi Budaya Kaili"SAMBULU""

Seri (12) Revitalisasi Budaya Kaili

"SAMBULU"

Pada masyarakat Kaili, "Sambulu" secara harfiah merupakan bahan rempah yang terdiri dari daun sirih, pinang, Gambir, tembakau, kapur yang masing-masing dibungkus kertas minyak sebagai penghias ( dulunya dibungkus daun tertentu) berwarna kuning dan ditempatkan di dulang berkaki. Untuk daun sirih masing-masing dilipat dengan teknik dan bentuk khusus. Masing-masing bahan rempah ini lazim disediakan dalam jumlah ganjil misalnya tujuh, lima dan sembilan dimana jumlah tersebut merupakan makna dari simbol status sosial pelaku atau subjek yang menggunakannya serta saat mana "sambulu" dugunakan. 
Pemaknaan terhadap komponen "sambulu" masing-masing dapat diartikan sebagai :
1. Sirih melambangkan "urat" 
     yang berarti "ikatan 
      kekerabatan".
2. Pinang melambangkan 
     "daging" yang berarti 
     "penyempurnaan raga".
3. Gambir melambangkan 
     "darah" yang berarti 
     "semangat".
4. Kapur melambangkan "tulang" 
     yang berarti " keuatan".
5. Tembakau melambangkan 
     "bulu roma" yang berarti 
     "perasaan" atau 
     "keikhlasan". 

Sambulu secara simbolik merupakan syarat untuk memulai prosesi adat yang lazim dilaksanakan pada tradisi perkawinan atau membuka lahan persawahan serta ladang yang telah siap di tanami. 
Penyediaan sambulu dalam sebuah prosesi adat dimaknai sebagai sebuah ritual pembuka acara sekaligus menjadi penanda syarat sahnya sebuah prosesi adat dapat dimulai dan dilaksanakan.

Antropolog Anthony Reid bahkan mencatat pada beberapa masyarakat menggunakan sekapur sirih mulai
dari ritual kelahiran, inisiasi kedewasaan, perkawinan, hingga kematian serta praktik penyembuhan, hingga ritual persembahan kepada roh leluhur.
Demikian halnya pada masyarakat kaili seperangkat sambulu lazim dan populer disiapkan pada acara perkawinan. Sambulu dalam rangkaian acara perkawinan bahkan sudah disiapkan sejak awal proses peminangan dilakukan. 
Pada prosesi peminangan, jika musyawarah atau pembicaraan adat akan dimulai atau niat hendak disampaikan, maka pihak peminang (laki-laki) harus membawa "sambulu garo" yang merupakan komponen sambulu yang harus disertai "tai ganja pombeka nganga" yaitu "sambulu berjantung" disimbolkan dengan "emas adat". Ketika pembicaraan dari dua belah pihak terjadi dengan baik maka kedua belah pihak akan memakan sirih secara bersama-sama, jika pihak calon mempelai perempuan tidak menunjukan respon yang baik dengan tidak memakan sirih atau menyentuh "sambulu" maka sikap tersebut dimaknai sebagai sikap penolakan terhadap niat yang disampaikan (alasan penolakan biasanya terjadi karena tidak adanya "tai ganja pombeka nganga"). Setelah acara peminangan selesai seperangkat "sambulu garo" dapat dibawa pulang oleh pihak peminang (laki-laki) sebagai tanda bahwa peminangan berjalan baik dan pinangan diterima. 

Adapun "Sambulu Gana" adalah sepereangkat "sambulu" yang dibawa ketika prosesi perkawinan akan dilaksanakan, "Sambulu Gana" terdiri dari daun sirih, pinang, Gambir, tembakau, kapur yang ditempatkan di dulang berkaki, yang disertai "Gana" berupa satu ekor kambing dan "unto" sebentuk cincin emas. "Sambulu Gana"merupakan syarat adat yang harus disertakan ketika perkawinan akan dilaksanakan dan merupakan penanda bahwa ikatan kekerabatan telah terjalin, pada beberapa kelompok masyarakat pemaknaan atas
berpadunya sirih dan pinang menjadi simbol persetubuhan atau pernikahan. Buah pinang dianggap merepresentasikan unsur "panas" dan daun sirih merepresentasikan unsur "dingin".

Saat prosesi pembukaan lahan persawahan dan perladangan akan dilaksanakan, maka lazim di awali dengan penyiapan "sambulu" yang diserahkan kepada "Punggava"(penghulu tanah) untuk "nompanga" (memakan pinang) kemudian barulah "punggava" dapat menyemaikan bibit yang selanjutnya akan diikuti oleh para perempuan menyemai bibit sekaligus membersihkan rumput di lahan yang akan ditanami. Peran perempuan penting dalam prosesi pembukaan lahan dimana perempuan disimbolkan sebagai sumber atas kesuburan. Pentingnya "sambulu" dalam pembukaan lahan persawahan dan perladangan untuk menegaskan bahwa manusia telah memulai hubungan simbolik terhadap alam yang menyediakan kesuburan atas tanaman.

Simbolisasi "sambulu" dalam pemaknaannya adalah sebagai bentuk penghormatan dan penyambutan terhadap tamu ataupun orang yang dituakan atau bahkan menjadi penanda syarat sahnya sebuah peristiwa sosial yang mengandung penguatan terhadap nilai lokal dan sejatinya  dipahami secara baik dalam fungsi dan tujuannya bagi kesatuan sosial.

Boyaoge, 27 Pebruari 2020,
N I S B A H
Pemerhati Budaya Kaili

Seri (11) Revitalisasi Budaya Kaili "SUNDA"

Seri (11) Revitalisasi Budaya Kaili 

"SUNDA"

"Sunda" berarti "mahar" pada masyarkat Kaili. "Sunda" adalah "sejumlah harta" yang diberikan oleh pihak keluarga calon mempelai laki-laki kepada pihak keluarga calon mempelai perempuan ketika akan dilangsungkan prosesi perkawinan. Nilai harta yang diberikan didasarkan pada status sosial yang dimiliki keluarga penerima. 

Mahar atau mas kawin secara sosio-antropologis seringkali dijelaskan sebagai bentuk lain dari transaksi jual beli atas terjadinya perkawinan dan merupakan kompensasi atas kerugian yang diderita pihak keluarga perempuan atau sebaliknya pihak keluarga laki-laki karena kehilangan beberapa faktor pendukung dalam keluarga seperti kehilangan tenaga kerja, dan berkurangnya tingkat fertilitas dalam kelompok yang selanjutnya harus diganti dalam bentuk imbalan properti berdasarkan prinsip matrilineal dan patrilineal.
Mahar juga terkadang diartikan sebagai pengganti atas biaya atas kompensasi terhadap proses pengajaran ilmu ataupun kesaktian dari seorang guru  kepada orang lain pada kelompok masyarakat yang meyakini bahwa ilmu yang diajarkan memberi manfaat bagi kelompok masyarakat tersebut.

Pada masyarakat kaili yang menganut prinsip bilineal, pemberian mahar berupa "sunda" diatur berdasarkan status sosial keluarga perempuan dimana nilai "sunda" ditentukan berdasarkan "anggu nu vati" yaitu status sosial perempuan dalam masyarakat.
Menilik ketentuan nilai "sunda" pada masarakat kaili berdasarkan hirarki status sosial memiliki penggolongan dan jenis berbeda. Meskipun "sunda" sudah mengalami pergeseran nilai, tapi acuan penetapannya lazim mengacu pada penggolongan yang terbagi atas:
1. Golongan raja dan keturunannya (Vati Nu Madika) berlaku adat "Pitumpole" yang terdiri dari tujuh ekor kerbau, tujuh buah emas berbentuk kepiting, tujuh lembar kain mbesa , tujuh buah dulang berkaki, tujuh buah piring adat, tujuh buah mangkuk sayur berwana putih, dan tujuh piring bermotif daun.
2. Golongan bangsawan (Vati Nu Oge) berlaku adat "Patampole atau Limampole" yang terdiri dari lima ekor kerbau, lima buah emas berbentuk kepiting, lima kain mbesa, lima buah dulang berkaki, dan lima buah piring besar. 
3. Golongan masyarakat biasa ( Vati Nto Dea) berlaku adat "Sanjasio" yang terdiri dari satu ekor kerbau (tidak wajib), Sembilan kain mbesa, Sembilan buah piring besar, Sembilan mangkok sayur putih dan Sembilan dulang dapat ditambah dengan sebidang tanah dan kebun kelapa.
Syarat ketentuan harus disertai "mbesa" berupa kain tradisional karena diyakini kain ini memiliki nilai tinggi sebagai penanda status sosial. 

Pada masyarakat hukum adat kulawi, "sunda" atau mahar bahkan merupakan hak properti keluarga besar yang bersifat matrilinieal ( harta menjadi warisan ibu atau perempuan secara turun temurun) yang harus dibayarkan jika sudah diikrarkan dalam kesepakatan keluarga ketika terjadi perkawinan, jika tidak disanggupi untuk di bayar tunai maka menjadi hutang yang harus dibayarkan oleh keluarga mempelai laki-laki dikemudian hari.

Pada masyarakat Kaili, "Sunda" sebagai Hak properti keluarga besar yang bersifat matrilineal. "Sunda" memberi makna terhadap posisi dan kedudukan perempuan dalam standar nilai derajat sosial keluarga besar dan klan-klan tertentu.
"Sunda" sebagai pengikat hubungan sosial karena telah menjadi penentu fase jalinan hubungan sosial dalam ikatan antar keluarga. 
"Sunda" menjadi sebuah pengesahan atas sebuah hubungan yang bermakna pada penghormatan nilai kemanusiaan .
"Sunda" menjadi penegasan bahwa ikatan relasi sosial pada kelompok masyarakat terbentuk tidak hanya berdasar karena adanya kebutuhan antar individu dalam pertukaran perilaku, tapi secara esensi "Sunda" bahkan memberi garansi bahwa relasi sosial memiliki kekuatan makna yang mengikat terhadap kesatuan sosial agar fungsi-fungsi sosial terpelihara.

Terminologi "sunda" dalam konteks ini tentunya jauh melampaui sekedar istilah "mahar" yang akhir-akhir ini secara ambigu sering digunakan dalam kontestasi politik.

Boyaoge, 9 Pebruari 2020,
N I S B A H
Pemerhati Budaya Kaili