Kamis, 31 Juli 2025

Edisi Kontemplasi... "NEW NORMAL", MENGGUGAT SITUASI SOSIAL KITA , TEPATKAH ?

Edisi Kontemplasi... 

"NEW NORMAL", 
MENGGUGAT SITUASI SOSIAL KITA , TEPATKAH ?

Diskursus "New normal" menggiring kita pada pertanyaan apa yang akan menjadi "Normal Baru (New Normal)" dalam situasi Pandemi Covids 19. 
Jika ini sebuah tindakan protokol kesehatan untuk penanganan covids 19, apakah konsep ini  terkait cara, teknik, dan strategi untuk mereduksi Pola Perilaku, Pola Hidup, Pola Kebiasaan, untuk membentuk  perilaku baru masyarakat atau bahkan masyarakat dipaksa adaptif pada "situasi baru". 

Kehidupan masyarakat terbentuk dari  Perilaku masyarakat yang kemudian membentuk kebiasaan yang ditentukan situasi lingkungan dan proses interaksi dengan di tunjang oleh pola pikir masing-masing individu. 

Konsep "New Normal" yang digunakan untuk penanganan Situasi pandemi covids 19, menjadi sebuah konsep yang "seolah-olah baru" untuk diadaptasi.
Konsep ini menjadi "debatable" karena sesungguhnya kita telah digiring  pada argumentasi bahwa terdapat arah kehidupan baru yang akan di tuju dengan kemampuan meminimalisir pengaruh covids 19 atas sebuah kehidupan baru masyarakat, meskipun "kehidupan  niscaya selalu bergerak pada situasi baru" dimana setiap orang pada akhirnya harus menjadi "the  guardian of the human life" jika seperti ini (kalau sekiranya kita  tidak terjebak pada  istilah ) proses kehidupan dalam perkembangan masyarakat seringkali sudah menunjukkan semangat akan adanya perubahan  karena perubahan sosial adalah sebuah keniscayaan yang senantiasa berproses.

Ketangguhan masyarakat di Palu, Sigi dan Donggala  atas terjadinya bencana alam 28 September 2018 sesungguhnya menampilkan sebuah contoh nyata bagaimana semangat  akan "situasi normal" telah membentk  sebuah realitas, jadi sesungguhnya apa yang "new" atau "baru", ataukah kita hendak mengadopsi kehidupan baru dari dunia antah berantah, 
Apa yang sesungguhnya yang hendak kita bentuk? Cara pandang barukah?,  strategi protokol kesehatan barukah?, atau pembentukan situasi baru atas sebuah realitas?...
Gejala ini menjadi indikasi bahwa apakah kita sedang dalam kondisi  tidak baik-baik saja ketika diperhadapkan pada situasi pandemi covids 19. 

Jika menilik situasi sosial  dalam  refleksi ruang interaksi sosial kita, riuh-rendah, pro-kontra, suka-tidak suka, setuju-tidak setuju menjadi cara pandang kita terhadap penanganan covids 19 yang idealnya  harus tetap mengandalkan kearifan lokal dalam kehidupan  alamiah. Situasi sosial haruslah terbentuk dari realitas budaya tentunya dengan bertumpu pada nilai budaya lokal.

Perkembangan masyarakat dari primitif ke agraris hingga menuju industrialis menjadi tanda alam bagaimana manusia dalam kelompok mampu bertahan hidup secara survival dan selalu dalam kendali  hubungan kosmologi...
Substansi dasar sisi kemanusiaan kita dalam proses interaksi sosial akan memunculkan secara alamiah  rasa solidaritas, empati,  soliditas bahkan anti sosial yang mengikat kohesitas sosial. 
Wallahu alam bissawab...

Consept the "New Normal" is debatable... 
Maybe this fact was utopis...
#keepstrongforthestruglleoflife.

Medio, 27 Mei 2020,
N I S B A H
Pemerhati Sosial  Budaya

Edisi Kontemplasi EMPATIKU UNTUKMU LEMBANTONGOA

Edisi Kontemplasi
EMPATIKU UNTUKMU LEMBANTONGOA

Lembantongoa wajahmu hari ini menjadi saksi atas luka kemanusiaan, pedih tertoreh pada jejak kematian yang tersajikan... 

Kenapa harus  ada lagi cara pandang  merendahkan.., 
Kenapa harus ada lagi sikap yang  menghinakan.., 
kenapa harus ada lagi perilaku  melukai.., 
Kenapa harus ada lagi perangai  kebiadaban.., 
Kenapa harus ada lagi tindak  kekerasan..,

Ketika kesejatian derajat manusia harus tampil dalam ruang untuk saling
membunuh....,
Maka tak ada lagi arti kasih sayang.., 
tak ada lagi arti rasa empati...,
tak ada lagi rasa solidaritas.., 
tak ada lagi rasa persaudaraan

kemana kesedihan ini akan kami bawa...  ketika jejak kekerasan akan menjadi penanda sejarah, akankah lekang rasa toleransi  atau akan  tergerus dalam lorong waktu 
Kami bertahan dalam mimpi "kedamaian"...

Medio, November 2020
N I S B A H

Menyoal Sikap Politik

Serial Penguatan.... 
Catan Bebas
Menyoal Sikap Politik dalam Bingkai Politik Identitas
Kontestasi pemilu serentak 2019 telah menggiring elemen bangsa yg bergerak secara parsial menuju ruang politik identitas. Ruang publik telah terisi peran-peran antagonis yang menampilkan eksploitasi issu sara sebagai salah satu ciri bangunan oligarki.
Politisasi agama, persekusi, sentimental, sebagai penanda atas tumbuhnya warna politik sektarian menggeliat seakan sulit terhindarkan.


Politisasi Agama terligitimasi dalam tindakan komersialisasi nilai-nilai pandangan agama yang menggelindig bagai bola liar liar dengan membentur sudut-sudut ruang sosial dengan kuatnya. Politisasi agama ecara spontanitas membentuk perilaku insidentil masyarakat dengan kekuatan penuh yang menggerakan masyarakat untuk melakukan tindakan anarkis bahkan secara ekstrim memberi stigma negatif atas sebuah situasi sosial.
Ijtima ulama, tablig akbar, dan kegiatan keagamaan lainnya, telah menjadi penanda bahwa agama masih menjadi pilihan issu yang menarik untuk diolah dan diracik sebagai penarik simpati masyarakat jelang kontestasi politik akbar 2019. Denominasi agama terlihat begitu seksi sebagai objek untuk di eksploitasi sebagai jualan yang bakal mendapat keuntungan besar. Sikap dan perilaku fanatis begitu menonjol mengalahkan rasa soliditas, solidaritas, bahkan sikap saling menghargai.

Dalam ruang sosial kita tidak segan saling menghina, mengejek dan bahkan saling merendahkan nilai kedirian dan persahabatan, mengingkari hati nurani dengan kesimpulan bahwa calon dukungan kitalah yang paling baik karena calon pilihan lawan adalah buruk. Justifikasi keburukan bahkan tanpa sungkan di ungkapkan dengan pandangan yang hominem jauh mengabaikan kearifan dan kebijaksanaan yang idealnya harus tersaji dalam pentas demokrasi yang sangat menghargai perbedaan.

Secara umum bukankah sangat wajar ketika kita berbeda dan tidak sama dalam sebuah pilihan dalam alam demokrasi. Kontestasi yang sehat idealnya dapat menggiring kita dalam sikap agar tidak saling menghina, mengolok-olok apalagi merendahkan nilai kedirian seseorang atau kelompok. Bahwa kitalah yang paling benar, paling baik, paling unggul justeru mengajarkan sikap keserakahan, dominasi, superior yang tentunya secara kasat mata menjadi pembelajaran bagi generasi berikutnya. Bahwa dalam politik adalah wajar dan sah-sah saja untuk saling menghina, mengejek dan merendahkan orang lain. Perilaku tersebut seolah-olah menjadi pembenaran atas sebuah proses dalam realitas politik.

Dalam situasi ini, nilai keanggunan dan kesahajaan menjadi terabaikan dalam proses demokrasi dan kontestasi, padahal tujuan kita sesungguhnya dalam bingkai proses kontestasi adalah menciptakan tatanan demokrasi yang lebih baik dengan mengedepankan sisi edukasi untuk generasi pelanjut. Menjadi Naif justufikasi pembenaran adalah milik kita yang seolah menafikkan bahwa siapapun yang akan menjadi pemenang tetap berada dalam kendali Tuhan sang Pencipta..
 

Wallahu alam bissawab

Medio, 14 Januari 2019

N i s b a h
Pemerhati Pemilu

Seri (25) Revitalisasi Budaya Kaili TO BIRA" DAN ABSURDITAS POLITIK

Seri (25) Revitalisasi Budaya Kaili
Serial IMAGINE OF POLITICAL...
"Mokuvavaka Reke Laeka".

"TO BIRA" DAN ABSURDITAS POLITIK

Inkonsistensi adalah sikap dan perilaku ambigu yang sering ditampilkan pada ruang sosial. Motifnya terjadi karena tekanan hasrat kepentingan yang kuat pada situasi sosial, politik, ekonomi, hukum yang bersifat pragmatis.

Pada " To Kaili" penggambaran untuk "sikap dan perilaku seseorang" yang "inkosisten" atas situasi dan pilihan terhadap suatu hal disebut sebagai "To Bira". Perilaku "To Bira" dianalogikan sebagai perilaku "Kutu loncat" yaitu dimana orang yg menggantungkan hidupnya dengan menumpang dari satu orang ke orang lain dengan sikap inkonsistensi.

Diksional "To bira" saat ini tidak lagi populer pada sebagian besar orang kaili sehingga penyebutan ini tidak lagi lazim digunakan pada situasi sosial saat mana terdapat perilaku "kutu loncat" ditampilkan.
Ketidakpopuleran penggunaan diksi "to bira " pada orang kaili berimbas pada tidak dikenalnya diksi ini pada sebagian masyarakat kaili, pun demikian halnya dengan sebagian kelompok masyarakat pendatang.
Secara umum ketidak populeran diksi "To Bira" terjadi karena tindak perilaku "to bira" relatif kurang termanifestasi dalam ruang interaksi sosial. Tindak perilaku ini tidak berada dalam dimensi yang diametral dengan sifat dan perilaku orang kaili yang teguh memegang prinsip atas sebuah hal atau keputusan yang terkait dengan situasi sosial.

Menarik untuk "menggunjingkan" perilaku "to bira" pada event pemilukada, karena perilaku " to bira" kerap muncul sebagai fenomena politik yang tampak absurd menandai proses kontestasi. Absurditas politik adalah kondisi ketika politik kehilangan makna dan esensinya sebagai alat perjuangan sosial (Yasraf Amir Piliang). Absurditas terjadi karena para elite dan aktor politik menempatkan kekuasaan sebagai tujuan utama, lalu mengabaikan esensi nilai dan ideologi dalam proses politik yang dijalankan.

Dalam kondisi seperti ini, aktivitas politik berjalan tanpa kepastian tujuan, komunikasi politik menjadi kabur, ideologi politik mengalami pendangkalan, dan etika politik terdegradasi ke titik kulminasi terendah. Situasi ini dapat mempengaruhi terbentuknya perilaku "kutu loncat" atau "to bira" yang dianggap diluar kepantasan (kuraeya) bagi orang Kaili.

Absurditas politik yang dilatari oleh fenomena maraknya para pelaku politik “kutu loncat” atau "to bira" menjadi ironi dan penanda bahwa praktik politik kita hari ini tengah berada pada situasi dekadensi.
Dekadensi politik mewujud dalam praktik politik yang tidak lagi berorientasi pada perjuangan sosial untuk membangun kepedulian sosial dan kepentingan hakiki masyarakat tetapi secara pragmatis diorientasikan pada aktivitas meraih kekuasaan (meskipun situasi ini sahih adanya). Dalam kondisi yang dekaden ini, proses politik cenderung membentuk pola relasi yang bertumpu pada praktik transaksional sehingga semakin tercerabut dari esensinya sebagai salah satu alat perjuangan sosial untuk mencapai kesejahteraan manusia.
#politikadalahkemanusiaan

Boyaoge, 22 Maret 2022
N I S B A H
Pemerhati Budaya Kaili

Seri (1) Revitalisasi Budaya Kaili BALIA

Seri (1) Revitalisasi Budaya Kaili

BALIA
(Coretan pendek memahami Balia dalam esensi pelaksanaannya)

Esensi balia sebagai prosesi ritual adalah kegiatan berkomunikasi yang dilakukan oleh manusia dengan mkhluk gaib ( immateri ) yang diyakini adalah para leluhur mereka. Balia sebagai sarana komunikasi dimaksudkan untuk meminta kepada kekuatan immateri (leluhur/makhluk gaib) agar dapat menolong dari malapetaka atau menyembuhkan penyakit yg di derita manusia. Secara etimologi balia terdiri dari dua unsur kata yakni "bali dan ia" yang berarti "rubah/merubah dia" (seseorang yg mengalami sakit). Dalam prosesinya ritual balia lazim dilakukan selama 3-4 hari dengan menyuapkan sesajen terdiri pulut warna-warni, telur, ayam dan kambing., dimulai dengan syarat harus menyiapkan daun "go" (daun suci yg diyakini memiliki kekuatan) oleh seorang "bule" yg bertugas sebagai pendamping lima orang "sando dan tina nu balia" yg memimpin ritual balia. Daun go akan ditempatkan tepat di tengah arena balia yang diyakini menjadi kekuatan pengendali,prosesi balia diisi dengan nyanyian yang mengiringi tarian yg disebut dgn "Nondolu" dengan diiringi "gimba dan gong". Nondolu dilakukan secara berputat dengan mengitari sesajen dan sisakit yg di ikuti dengan prosesi menombak kaki kambing untuk diambil darahnya dan darah ayam. Prosesi ini nanti diakhiri dengan mandi ritual nompaura dan menginjak api dari daun kelapa kering yg dibakar sbg simbol keyakinan akan kekuatan baru yg dimiliki si sakit setelah srmbuh. Dalam pelaksanaannya balia pada masyarakat Kaili memiliki beberapa jenis dan tingkatan dalam pelaksanaannya dengan klasifikasi berdasarkan kelas sosial masyarakat yg mengalami persitiwa, situasi atau musibah yg terjadi. Adapun jenisnya : 1. Balia Bone, adalah tingkatan terendah dalam rangkaian upacara balia yg dimaknai sebagai prajurit kesehatan terbanyak dan terbesar seperti tumpukan pasir (bone) yg sanggup memadamkan api, tingkatan balia ini diperuntukan bagi masyarakat bawah dengan jenis penyakit ringan. Dlm pelaksanaannya tdk membutuhkan waktu lama dan peralatan yg banyak dan biasanya hanya dipimpin satu orang sando. 2. Balia Jinja Balia yg dilakukan dgn gerakan melingkar (round dance) dengan melibatkan banyak orang mulai dari sando, bale, si sakit dan diikuti dengan pengunjung yg hadir dengan mendedangkan secara bersama dondolu, dan rata2 mereka akan mengalami kesurupan. 3. Balua Tampilangi Diibaratkan sebagai adanya pasukan penyembuh yg bergerak cepat dari kayangan. Balia ini adalah kategori tingkatan tertinggi dengan kesakralan dan bernilai magis krn didalamnya termuat secara keseluruhan gerak dari balia bone dan balia jinja serta harus memenuhi syarat tahapan khusus dalam upacara penyembuhan dengan waktu pelaksnaan selama 3-4 hari dan tahapan pelaksanaan sebanyak dua bagian. Biasanya balia tampilangi diperuntukan bagi golongan bangsawan dengan memilih lokasi tertentu. Dalam pelaksanaan balia tidak lazim dilakukan di pesisir pantai krn balia lazim dilakukan masyarakat pedalaman yg tinggal di wilayah dekat dengan sungai sebagai tempat yg dituju untuk pelaksnaan nompaura atau mandi bersih. Musik ritual Balia tdk lazim menggunakan "Lalove". Prosesi Balia diawali dengan berkumpulnya para pelaku di bantaya dengan menyiapkan seluruh kebutuhan yg diperlukan dan menyepakati jenis balia yg akan dilakukan sesuai dengan jenis dan peruntukannya. Dalam kegiatan festival Nomoni, ada indikasi kegiatan ritual balia tidak dilakukan secara proporsional sesuai tingkatan dan peruntukannya tetapi di campur aduk dengan mengacaukan esensi ritual tsb sebagaimana mestinya. Satu catatan yang menarik untuk di renungkan dlm ritual balia di Festival Nomoni bahwa pelaku yang memimpin ritual adalah mereka yang ditunjuk mewakili wilayah Balaroa. Petobo dan jono oge padahal Ritual balia dilaksanakan di Besusu. Ada baiknya Balia Tdk perlu di visualisasikan dalam ritual myngkin lebih baik di simbolkan dalam gerak tari sehingga lebih memberi makna terhadap nilai seni.

Boyaoge, 20 oktober 2018
Nisbah
Pemerhati Budaya Kaili

Minggu, 27 Juli 2025

Seri (28) Revitalisasi Budaya Kaili MAGAU BO TOMAOGE...(sebuah dirkursus)

Seri (28) Revitalisasi Budaya Kaili 

MAGAU BO TOMAOGE...
(sebuah dirkursus)

Penyematan atau Pemberian gelar terhadap Pemimpin berkorelasi dengan pelaksanaan prinsip kepemimpinan dan merupakan penanda atas status, posisi,  peran dan tanggung jawab yang diemban oleh seorang pemimpin dalam Masyarakat. Pelaksanaan kepemimpinan secara prinsip bermakna pada serangkaian kemampuan individu untuk memimpin, mengarahkan, dan memotivasi dengan disertai sifat-sifat kepribadian bijaksana dan berwibawa. 

Dalam konsep pelaksanaan kepemimpinan pada masyarakat Kaili  terdapat gelar Magau dan Tomaoge yang menjadi istilah penyebutan bagi seseorang yang menjadi pemimpin masyarakat. Gelar adat dalam kepemimpinan  pada masyarakat Kaili memiliki arti dan makna yang erat kaitannya dengan sistem tata nilai pranata sosial masyarakat Kaili. Penyebutan atau gelar adat Magau dan Tomaoge merupakan bentuk penghargaan dan penghormatan masyarakat Kaili terhadap seseorang yang dianggap memiliki pengaruh, jasa atau peran kepemimpinan yang dilaksanakan. Secara filosofis dan simbolis  gelar adat Magau dan Tomaoge mencerminkan nilai-nilai luhur masyaarakat Kaili sebagai sebuah entitas. 

Terminologi kata Magau berarti pemimpin Kerajaan dalam struktur adat pemerintahan Kerajaan yang melingkupinya. Secara harfiah kata Magau adalah Raja yang merupakan pemimpin pada masa pemerintahan Kerajaan yang memiliki gelar adat, gelar status dan gelar kedudukan dalam hirarki genealogis turun temurun. 
Adapun kata Tomaoge secara etimologi adalah frasa yang  terdiri  dua kata Toma yang berarti "Bapak atau Ayah”, dan Oge yang berarti "Banyak”, maka  secara harfiah Tomaoge adalah pemaknaan terhadap posisi seseorang sebagai
"bapak atau ayah bagi Orang Banyak atau Masyarakat”. Gelar Magau dan Tomaoge memberi arti dan makna atas adanya sebutan Gelar Adat bagi seseorang yang menjadi pemimpin di Masyarakat Kaili.

Magau adalah gelar bagi Raja yang dipilih,  diangkat dan diberi kepercayaan untuk menjalankan sistem kepemimpinan dalam struktur pemerintahan wilayah Kerajaan (Kagaua). Prosesi pengangkatan Magau diawali dengan pelaksanaan Nangada pada Libu Potangara Nuada yang dilakukan oleh Para Totua Nungata yang berada pada wilayah keadatan dan menjadi perwakilan masing-masing Ngata atau kampung dalam satu wilayah Kagaua (Kerajaan). Setelah Libu Potangara Nuada oleh Para Totua Nungata menyepakati sosok atau figur yang diangkat menjadi calon Magau  maka Libu Potangara Nuada Totua Nungata akan mengusulkan calon Magau kepada Libu Ntina, kemudian Libu Ntina Nangada untuk mengetahui dan memastikan bahwa calon Magau memiliki sifat, karakter, status derajat dan kualitas genealogis sebagai Bija Nu Magau No Vati Nu Madika. 

Kelayakan sifat, karakter status derajat dan kualitas genealogis yang diputuskan dalam Nangada Libu Ntina akan menentukan seorang yang dapat dikukuhkan dan dilantik menjadi Magau dalam Pemerintahan Adat Kagaua. Peran Libu Potangara Nuada Totua Nungata  dan Libu Ntina  sangat menentukan dalam proses Penetapan Magau yang akan menjadi Pemimpin dalam Pemerintahan Kagaua.

Adapun Tomaoge adalah gelar adat yang diberikan kepada pemimpin sebagai bentuk penghargaan dan penghormatan ketika berada pada posisi sebagai Pimpinan dalam struktur Pemerintahan Wilayah Administratif. Pemberian gelar adat Tomaoge dilaksanakan sebagai wujud kesepakatan untuk menegaskan status pemimpin dalam kedudukannya pada wilayah keadatan. 

Tradisi pemberian gelar adat Tomaoge menjadi kelaziman setelah pemerintahan kekuasaan adat tidak lagi berlaku. Pemberian gelar adat Tomaoge merupakan  bentuk transisi personifikasi Magau yang merupakan Pemimpin dalam wilayah kekuasaan adat bergeser ke Pimpinan dalam struktur pemerintahan Wilayah Administratif. Meskipun secara historis status gelar adat Tomaoge sesungguhnya tidak terdapat dalam struktur  Libu Nu Madika  (struktur kekuasaan adat Kerajaan). 

Ketentuan adat terkait tata cara dan prosesi pemberian  gelar adat Tomaoge merupakan  prosesi penyematan atau pemberian gelar adat yang dilaksanakan oleh Libu Mbaso Potangara Nuada yang direpresentasi oleh beberapa Dewan Adat Patanggota dan Dewan Adat Pitunggota yang terdapat di beberapa wilayah keadatan Lembah Palu meliputi Palu, Sigi-Dolo, Sigi-Sibalaya, Kulawi, Banawa, Parigi, Loli, dan Tavaili.  

Dalam Libu Mbaso Potangara Nuada yang  diwakili oleh Dewan Adat Patanggota dan Dewan Adat Pitunggota  di Lembah Palu kewenangan atas keputusan Penyematan atau Pemberian gelar adat kepada seorang Tomaoge dapat dilaksanakan. Prosesi pemberian Gelar  Adat Tomaoge berdasarkan tata nilai keadatan merupakan wujud penghormatan terhadap tradisi dan budaya leluhur yang berlaku pada Masyarakat Kaili.

Magau dan Tomaoge merupakan dua gelar  adat yang diberikan kepada pemimpin dalam masayarakat Kaili di Sulawesi Tengah meskipun berada dalam derajat dan kualitas yang berbeda. Gelar adat bagi pemimpin mencerminkan peran, tanggung jawab, serta kedudukan seseorang dalam struktur  sosial dan budaya Masyarakat. Dalam filosofi kepemimpinan yang melekat pada gelar adat Tomaoge dan teristimewa Magau secara inheren melekat sifat-sifat Tomalanggai, Tobaraka, dan Tomanasa yang bermakna pada kualitas keluhuran Sikap, Tindakan, Kebijakan dan Kewibawaan yang terbentuk dari nilai kepemimpinan pada Masyarakat Kaili. 

Gelar adat  Magau dan pemberian Gelar adat Tomaoge tidak sekedar pencantuman  atau sebutan melainkan simbol yang menunjukan eksistensi, pengakuan, kehormatan dan fungsi pemimpin dalam menjaga tatanan masyarakat secara sosial dan budaya. Gelar adat menjadi penanda adanya fungsi dan peran pemimpin yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat. Gelar Adat  juga mereprsentasikan status dan kedudukan sosial dalam struktur Masyarakat yang menunjukan adanya tingkatan kehormatan dan kebangsawanan sekaligus simbolisasi atas adanya pengakuan terhadap keberadaan seorang pemimpin dalam Masyarakat.
Wallahu a'lam bissawab...

Boyaoge, 28 Juli 2025
Nisbah
Pemerhati  Budaya Kaili